[CERPEN] Payung Milik Perempuan yang Berliur Seperti Anjing

Ia bersama payungnya, menanti seseorang datang

 

Air hujan membasahi ujung sepatu.

Hujan semakin deras. Memaku-maku aspal jalan yang warnanya masih sangat hitam. Perempuan itu masih berdiri di tepi jalan, dekat toko roti. Ia tidak maju tidak juga mundur, hanya diam. Mata perempuan itu mengarah pada setiap kisi-kisi yang terbentuk oleh air yang jatuh dari langit. Matanya tak sedetikpun menatap langit, ia hanya menatap jalanan yang sepi.

Tangannya semakin erat mengenggam gagang payung yang sudah mulai berkorosi. Bau besi berkarat masuk ke hidungnya yang sudah terbiasa. Di telapak tangannya, menjejak warna cokelat dari besi yang sudah luntur. Serta remahan batang keropos  yang mulai jatuh satu-satu. Jari-jari yang membingkai payung sudah mulai keropos dimakan usia. Dua dari sepuluh jari membengkok, sehingga menimbulkan bentuk yang tidak simetris. Kain parasut yang membungkus, warnanya sudah mulai memudar. Di beberapa titik mulai berlubang, menyebabkan satu dua tetes hujan masuk membasahi ujung rambutnya. Payung yang digunakannya pun terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar tinggi, hingga punggungnya tak luput dari serbuan air hujan.

Tubuh perempuan itu, goyang ke depan, ke belakang. Tangannya meremas terusan yang ia gunakan. Rambutnya terurai tak keruan, menusuk di lipatan lehernya. Satu, dua kali perempuan itu menggaruk ujung hidungnya.   

Perempuan itu sepakat dengan payung yang digenggamnya untuk tetap berdiri di samping toko roti. Ia menunggu Tuan Holden yang biasa datang dari kelokan. Kelokan yang dipandangnya, hanya berjarak dua puluh meter dari tempat ia bercokol. Kelokan itu tidak terlalu tajam dan tidak terlalu ramai orang. Di sisi sebelah barat, terdapat pohon beech yang tumbuh tinggi dengan warna yang masih sangat hijau. Beberapa pembatas jalan yang terbuat dari besi yang dicat berwarna kuning, mulai copot satu-satu, sebagian besi patah, dan ada juga yang mulai bengkok.

Begitu tuan Holden melihatnya, ia akan langsung berlari kecil menghampiri. Kemudian perempuan itu akan menyambutnya. Tuan holden, dengan napas yang mulai tersengal, tampak kelelahan seusai bekerja di restoran ayam cepat saji. Tuan Chase Holden, kini tak semuda waktu Marry Berumur lima tahun. Garis halus yang dulu mengihasi wajahnya, lama-kelamaan mulai tegas dan dalam. Namun, mata Tuan Holden sama sekali tidak berubah; selalu tampak biru jernih dan menenangkan. 

Saat terakhir kali ia berlari kecil dari kelokan, tampak patah-patah dan sedikit gemetaran. Ia pula menahan perih dari uluh hatinya, atau dari jantungnya, ia tidak paham, dan ia tidak peduli. Yang ia tahu, harus segera sampai. Karena kaki ayam yang ada di dalam bungkusan plastik, harus segera ia serahkan untuk putri kecilnya, Maribette Holden.

 “Orang aneh.”

“Otak macet.”

“Dasar gila!”

“Menjijikan, pergi sana!”   

Itu yang dikatakan orang-orang saat melihat Marry. Di depan toko roti, di gang dekat toko sepeda, bahkan di restoran ayam cepat saji tempat tuan Holden bekerja, semua mengenal Marry.

Di saat seperti itu, Marry tidak pernah tinggal diam. Dengan sekuat tenaga Marry akan mengigit punggung tangan, jari kelingking, lengan, bahkan paha, orang-orang yang mencibirnya. Kemudian yang terjadi saat luka telanjur parah, Tuan Holden akan memberikan uang pembiayaan untuk luka perawatan. Selanjutnya, bisa-bisa Tuan Holden akan berlutut dan meminta maaf kepada mereka yang telanjur koyak kulitnya.

“Dia adalah Marry, gadis kecilku yang baik hati.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Itu yang dikatakan tuan Holden kemudian, kepada orang-orang, termasuk kepada Nyonya Cliff yang marah besar saat mengetahui kulit punggung telapak tangan anaknya koyak. Setiap Tuan Holden mengatakan demikian, semua orang beranggapan tuan Holden dan anaknya sama-sama kurang waras.

Tuan Holden tidak pernah marah kepada Marry ataupun Tuhan, juga kepada tuan berambut merah pemilik restoran cepat saji, yang hendak muntah ketika melihat Marry duduk di emperan restorannya dengan air liur yang menetes seperti anak anjing. Ketika itu juga tuan berambut merah melarang Marry ataupun anjing duduk di emperan restoran miliknya.

“Marry, sayang. Tunggu aku di sini. Tepat pukul tiga sore.”

Sejak saat itu, Marry tidak pernah menghampiri tuan Holden di tempat kerjanya. Marry  selalu menunggu Tuan Holden muncul dari kelokan. Tepat pukul tiga sore, Marry akan bersiap-siap menjemput tuan Holden, dan juga kaki ayam yang selalu dibawanya. Pertama, ia akan berganti pakaian yang terbaik, kemudian ia akan memakai alas kaki yang semakin hari semakin tipis; karena Marry selalu menyeret kakinya di aspal jalan. Kemudian Marry akan jalan melewati gang sempit, membaui oli dari mesin hidrolik bengkel mobil, melewati orang yang siap-siap berlari saat mengetahui Marry sedang berjalan menuju toko roti.

Semenjak ia hampir mati dibunuh oleh jutaan jarum dari langit, jika sudah mengendus bau hujan, ia selalu membawa payung. Payungnya berwarna merah muda, sama warnanya dengan pipi Marry ketika mencium bau kaki ayam yang dibawakan tuan Holden. Ketika payungnya terbuka lebar Marry akan merasa aman di bawahnya.

Marry tidak pernah menyukai hujan. Baginya hujan seperti jutaan jarum yang mampu menembus kulit hingga tulang-tulang. Marry juga sangat membenci lampu neon yang ada di dalam rumahnya. Ia akan menjerit jika ia melihat benda-benda yang sangat ia benci tiba-tiba menyentuh tubuhnya. Marry juga akan memuntahkan makanan apa saja yang tidak disukainya. Marry pun sangat membenci orang-orang yang mengajaknya berbicara ketika Marry ingin sendiri.

Marry hanya diam. Tidak menyanyi, atau matanya berpendar ke penjuru arah. Marry hanya memandang kelokan. Mulutnya terbuka, hingga mampu masuk satu jari telunjuk. Jika bosan Marry akan memainkan lidahnya, maju mundur melewati bingkai mulut. Mengaduk-aduk air yang ada di mulutnya. Kemudian tanpa disadari, dagu Marry sudah basah oleh air liurnya. Marry kembali lagi mencium aroma karat yang semakin menyengat. Di telapak tangannya menjejak warna cokelat tua bekas karat. Marry tetap diam memandang kelokan.

“Marry, sayang. Tetaplah di sini, sampai aku datang. tepat pukul tiga sore.”

Itu yang selalu diingat oleh Marry, saat seminggu lalu, dua bulan lalu, satu tahun lalu, lima tahun lalu. Marry menunggu Tuan Holden yang tidak kunjung menampakkan diri di ujung kelokan. Marry selalu lupa, sejak nyeri di dada Tuan Holden semakin hebat, saat itu juga Marry kehilangan ayah tercintanya.

 

 

 

 

 

 

 

Yossi Yaumil Rachman Photo Writer Yossi Yaumil Rachman

Mencintai segala sesuatu tentang petrichor, senja, chupa chups dan kamu...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya