[CERPEN] Diary Tentang Damar

Masa-masa sulit dalam mencintaimu, tergores dalam diary-ku

 

Aku sudah lama melupakan sebuah nama. Nama yang katanya paling indah sejagat raya, paling memesona, paling istimewa, dan paling menggetarkan hati. Nama yang konon mendengarnya saja akan mendiamkan ombak di laut, membuat berhenti burung-burung di langit, dan membuat semua panorama berubah 180% menjadi sketsa hitam putih. Seseorang memang telah berlebihan mengatakannya padaku. Dia yang amat mencintai satu nama. Dia yang tergila-gila dan terpesona setengah mati. Dan dia yang siang malam tak henti menyebut-nyebut nama itu. Sampai-sampai membuatku ikutan gila, ikutan menyebut nama itu sambil berteriak, “Musnahkan Damar, Hapuskan Damar, Turunkan Damar”

Bertahun-tahun kemudian nama itu benar-benar musnah. Lenyap bagaikan ditelan bumi. Orang yang menyebut-nyebut nama itu sepertinya telah lelah, lelah karena yang dipanggil tidak datang-datang. Sesekali aku yang iseng sempat mengejek nama itu di depan cermin kamar mandi. “Damar yang malang, Damar yang hilang dimakan belalang...” Setelah nama Damar hilang sama sekali di rumahku, kami sepertinya bisa hidup dengan tenang. Hidup dengan damai dan sentosa. Tidak ada lagi seseorang yang gila, atau seseorang histeris saking bosannya mendengar nama itu disebut. Semua nampak kembali normal dan terkendali sebelum kisah lama tentang Damar kembali mencuat.

Gara-garanya adalah mertuaku. Wanita berusia 56 tahun yang masih energik dan powerfull. Sore itu dia datang setelah bertahun-tahun lamanya tidak mengunjungi kami. Abang memanfaatkan momen tersebut dengan membersihkan kamar lama kami serapi mungkin agar nanti mamanya bisa nyaman selama di rumah kami. Aku dan ketiga adikku yang perempuan ikutan membantu. Karena melihat suamiku yang begitu antusiasnya membersihkan kamar, aku dan adikku akhirnya harus mengalah pergi dan membiarkannya di kamar sendiri sampai mertuaku datang dan mereka mengobrol lama di kamar.

Sampai malam hari tidak ada hal-hal aneh yang terjadi. Kami makan bersama-sama dengan mama. Sebelum akhirnya mama mengeluarkan itu. Ya itu, sebuah buku berwarna pink berpita lusuh dengan gembok kecilnya yang sudah dibobol. Dibobol? Siapa yang sudah membobolnya? Mamakah? Buku itu diletakkannya di tengah-tengah meja. Sambil berdehem untuk semua, dia mulai bertanya pada kami semua. Dan saat itulah perasaanku tidak enak.

 “Mama tahu ini sudah berlebihan, juga sangat tidak berhak untuk bertanya ini pada kalian. Terutama kamu Rin, sebagai kakak tertua dan rumah ini adalah punyamu. Mama memang tidak pantas untuk bertanya ini. Tapi mama sudah terlanjur membacanya. Sudah terlanjur mengetahui semuanya.

Dan barangkali ada seseorang disini yang bisa menjelaskan maksud dari tulisan-tulisan ini. Damar. Kalian semua mungkin tahu Damar sekarang di mana. Kalian juga paham apa maksud Mama sekarang. Mama ingin seseorang menjelaskan. Bukan, mama tidak perlu penjelasan. Mama hanya ingin tahu siapa yang sudah menulis buku ini.”

Langit-langit ruang makan terasa pekat yang tebal. Aku melihat Shinta, Fanessa, dan Glorin adikku memasang wajah tegang. Mungkin jika bisa melihat wajahku sendiri maka wajahku lah yang lebih tegang dari mereka. “Mama ingin tahu siapakah di antara kalian yang menulis buku ini? Siapakah yang sudah mencintai anakku?”

Kalian mungkin bertanya-tanya tentang Damar. Meski seseorang pernah mencintainya sepenuh hati, tapi ada hal lain perlu kita semua tahu tentang Damar. Damar adalah adik kandung suamiku. Dia jenius, rupawan, dan humoris. Kupikir tidak ada seorang cewek pun yang tidak suka pada Damar. Termasuk ketiga adikku. Mereka seperti saling berebutan perhatian Damar.

Masa-masa jaya Damar ternyata tidak lama. Karena akhirnya Damar harus mengalami hal buruk dalam hidupnya. Penyakit gila keturunan harus ditanggungnya. Benar-benar menyedihkan memang. Tapi kami semua tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyembuhkannya. Jadilah sekarang Damar diasingkan ke sebuah rumah sakit di pinggiran kota. Sebulan sekali mama rutin mengunjunginya. Melihat keadaannya dan memeriksa apa yang kurang untuk kebutuhannya. Dan sejak penyakit itu mengambil alih hidupnya aku dan suami tidak sekalipun menjenguknya. Pernah beberapa kali aku mengajak abang untuk menjenguk, tapi ditolak dengan berbagai alasan. Kupikir abang hanya malu dengan keadaan adik bungsunya itu.

Sebenarnya penemuan buku tersebut telah membuka luka lama lagi di rumah ini. Saat pertama kali Damar datang dan menarik perhatian. Dengan ketampanan dan gaya bicaranya yang khas telah menarik perhatian siapa saja. Tapi aku tidak tahu apakah mereka masih mencintai Damar setelah tahu dia gila. Sekarang ketika mama menemukan buku itu, mama semakin semangat dan bergairah. Bagaimana tidak, itu artinya dia ingin Damar menemukan jodohnya. Jodoh yang mencintai anaknya. Dan sekarang pertanyaan siapa yang menulis buku itu akan segera terjawab.

“Diary itu kan...” Glorin membuka suara pertama

“Kamu tahu yang menulisnya?” Mama tampak semangat

“Eh, aku anu...eee tidak tahu.”

“Tidak tahu? Lalu siapa yang tahu? Coba siapapun katakan pada mama.”

Siang itu tidak siapapun yang mengaku. Dan abang mencoba membujuk mama untuk berhenti. “Tidak ada gunanya, Damar sedang sakit.”

 “Tidak berguna? Katamu tidak berguna? Apakah kamu ingin terus melihat adikmu seperti itu?”

 “Ma, Damar tidak layak menikah.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

 “Aku tahu, dan memang benar, anakku tidak bisa menikah. Dia akan sulit menjalani hidup bersama istrinya. Tapi, mama ingin ada keajaiban padanya. Mama kira ada perempuan yang mencintainya. Mencintainya dengan sepenuh hati. Setidaknya meskipun tidak menikah, perempuan itu bisa menjaga Damar. Dia bisa menjaga Damar setelah mamamu meninggal nanti.”

“Hentikan Ma!” sontak kami terkejut. Abang tidak pernah setegas itu. Dia selalu berbicara lembut dan hati-hati. Tapi kali ini, abang sudah berlebihan.

 Maka siang itu mama menangis dan langsung mengemas baju-bajunya. Percuma saja Shinta, Fanessa, Glorin, dan aku sendiri yang sudah mati-matian membujuknya. Dia tetap pergi meninggalkan rumah. Sementara abang mengurung diri. Aku bahkan tidak berani mendekatinya. Mata abang seperti menahan sesuatu. Menahan bendungan yang hampir jebol. Dan aku belum pernah melihat mata seperti itu hampir 5 tahun pernikahan kami.

Dua malam kemudian setelah menahan diri cukup lama, akhirnya aku memberanikan diri. Mencoba mengklarifikasi kejadian dua hari sebelumnya. Mencoba membuat Abang kembali normal. Maka dengan bujuk halus dan canda aku mulai mengatakannya.

“Bang, bisakah kita bicara?”

Abang diam dan hanya menoleh dengan malas. Tiupan angin malam dari jendela yang dibuka lebar-lebar sebenarnya cukup membuat dingin. Tapi saat itu entah kenapa suasana terasa begitu panas. Bahkan aku bisa melihat keringat mengalir dari leher abang.

“Kita harus bicara, Bang. Abang sudah dua hari diam dan tidak ingin bicara. Sebenarnya ada apa bang? Kenapa abang hmmm...kemarin bisa berkata seperti itu pada mama? Bukankah mama hanya bertanya? Mama sama sekali tidak salah. Dia hanya ingin terbaik untuk Damar, apakah abang merasa cemburu karena selama ini kasih sayang mama lebih banyak untuk Damar?”

Aku sama sekali tidak sadar dengan apa yang telah kuperbuat. Tapi pertanyaan barusan telah membuat pertahanan abang roboh. Dia yang bertahun-tahun telah menahan. Dia yang bertahun-tahun hanya diam dan melihat. Dan malam ini pertahanan itu runtuh juga.

***

“Bang aku pamit dulu ya.”

“Kamu mau kemana dik.”

“Aku mau belanja dulu bang. Lihat-lihat bunga baru di toko Cantika, siapa tahu ada yang menarik.”

 “Kamu kan sudah melihatnya minggu lalu? Kenapa sekarang pergi lagi.”

 “Eh, aku belum puas, Bang. Lagian sekarang lagi masuk barang baru. Jadi aku berangkat sekarang ya. Dah abang sayang...”

Setelah pamit dengan buru-buru aku langsung tancap gas dengan mobilku ke suatu tempat yang selalu kukunjungi. Sebuah tempat yang menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Tempat yang diam-diam kukunjungi hampir setiap minggunya. Tempat itu adalah sebuah penampungan untuk rehabilitasi orang yang jiwanya terganggu. Tanpa menyadari ada seseorang yang ternyata selama dua bulan ini mengikutiku diam-diam. Orang yang telah membobol buku diariku. Orang yang membaca semua rahasiaku selama ini. Orang yang masih diam dan memilih untuk mengawasi. Orang akhirnya tahu, bahwa istrinya mencintai adiknya yang sedang sakit jiwa. Tapi orang itu tidak mengamuk dan meraung-raung. Orang itu justru membangun pertahanan yang kokoh.

Hingga akhirnya meski pertahanan itu jatuh. Aku tahu saat itulah Tuhan membuka hati ini. Melepaskan beban cinta bertahun pada seseorang yang tidak berbalas. Maka inilah dia sekarang, suamiku. Laki-laki yang akhirnya mendapatkan cintaku. Terima kasih abang.

 

 

yenny anggraini Photo Verified Writer yenny anggraini

Berusaha menjadi lebih baik

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya