[CERPEN] Janji Ayah

Karena semua hidup dan nafasnya untuk kami

 

Siang ini sangat panas. Teriknya bisa membakar kulit sampai gosong. Beberapa daun kering nampak bertebangan dibawa angin. Kota ini sudah lama tidak turun hujan. Musim kemarau yang panjang. Sampai-sampai hampir setiap hari terjadi kebakaran. Mengingat itu Mama mertuaku selalu rajin memperingatkan, "Jangan lupa matikan kompor, hati-hati dengan sambungan listriknya, dan jangan tinggalkan dapur kalau lagi masak." Peringatan itu keras sampai-sampai mama menulis dan menempelnya di pintu kulkas.

Sebenarnya waktu kecil dulu aku juga punya orang yang super was-was seperti mama mertua. Dia adalah ayah. Pahlawan dalam keluarga yang super hebat. Kami berlima sudah lama kehilangan mama. Bahkan adik-adikku tidak pernah melihat wajah mama kecuali pada foto buram satu-satunya yang sudah lusuh disimpan ayah. Jadilah sejak kecil kami hanya mengenal ayah sebagai sentral dalam keluarga.

Ayah memiliki postur tubuh yang unik. Yaitu pendek dan sedikit bungkuk. Kulitnya hitam legam dan berwajah sangar. Jika dia marah kami anak-anaknya sangat takut. Dan jika ada yang membuat keributan di kampung maka ayahlah yang akan menyelesaikan. Saat dewasa aku baru tahu bahwa ayah memiliki sikap tegas dan wibawa yang luar biasa. Meski hidup kami pas-pasan dengan pekerjaan ayah yang hanya serabutan tetapi kami berlima bisa tumbuh menjadi anak-anak yang ceria. Tidak ada gurat sedih dan kisah pilu dalam keluarga. Tidak ada sebelum ayah pergi.

"Ter, cepat masukkan kerang di sini. Cepat, Ter nanti ayah datang." Aku yang didesak sama abang Galih merasa sangat gugup. Kami baru saja pulang dari sungai. Membawa banyak kerang untuk dijual. Sebenarnya ayah tidak pernah melarang kami untuk mencari uang. Tetapi berbeda jika kami ke sungai. Karena sungai di kampung kami ini sangatlah berbahaya. Setiap tahun selalu ada korban yang jatuh dan terseret arus. Ayah berulang kali mengingatkan kami untuk tidak sekalipun bermain ke sana. Jangankan mandi di sungai, datang untuk melihat-lihat saja tidak boleh. Aku pernah bertanya pada ayah suatu hari.

"Hanya memandang daun-daun pohon yang berayun-ayun lembut digerakkan angin, atau mendengar gemelisik air yang mengalir di bebatuan. Kami hanya sekedar menonton pemandangan yang sudah disajikan tuhan," kataku sambil sok berpuitis.

"Tidak ada anak-anak ayah di pinggiran sungai bahkan di dekat-dekat sungai, apalagi di dalam sungai. Jika kalian membantah, lihat saja akibatnya!" Peringatan ayah memang tidak main-main dan meskipun kami sangat bandel untuk menurut. Karena diam-diam seseorang dari kami berlima sudah sangat sering bermain disana.

Selama ini ayah memang tidak pernah tahu kalau bang Galih suka ke sungai. Ayah hanya tahu kalau bang Galih tidur-tiduran sepanjang siang di gubuk perkebunan. Aku yang perempuan paling tua dalam keluarga itu sering memperingatkannya. Tapi tidak berhasil. Seperti di siang itu saat aku sengaja mencarinya ke sungai,

"Bang Galih...banngggg...." Aku berteriak di atas bebatuan. Bang Galih sedang berada di pinggir sungai seberang. Sedang asyik dengan kerangnya. Melihatku, dia memberi kode untuk menunggu. Sebenarnya dari kelima anak ayah hanya aku dan bang Galih yang sering berbuat ulah. Lihat saja sekarang, kami berdua berada di tempat yang dilarang keras sama ayah. Bang Galih tetap diam-diam mencari kerangnya dan aku yang diam-diam tahu kebiasaan bang Galih dan merahasiakan. 

"Dapat banyak bang?" Tanyaku pada abang yang sekarang sudah berada di dekatku. Cepat sekali abang menyeberang sungai. Sepertinya dia sudah ahli melakukannya. 

"Nih, liat!" Sambil nyengir lebar dia memperlihatkan sekarung kerang di tangannya.

"Woii banyak, bang!" Aku pun ikut senang. Nantinya kerang ini akan dijual ke warung nasi. Uangnya tentu saja untuk membeli perlengkapan sekolah kami. Kemarin adik bungsu sudah merengek minta dibelikan pensil warna. 

"Alhamdulillah, Bang bisa beli pensil warna untuk adek," kataku sambil kami berjalan pulang.

Abang tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya diam saja sepanjang jalan. Sepertinya abang sedang memikirkan sesuatu. Dan saat itu aku belum tahu apa-apa. 

Dua hari setelah pencarian kerang di sungai (abang hanya mencari kerang sekali dalam seminggu agar ayah tidak tahu) aku melihat adik merengek-rengek minta dibelikan pensil warna. Mendengar itu aku langsung mencari bang Galih.

Selama ini bang Galih tidak pernah melupakan kebutuhan sekolah kami. Dia yang selalu bekerja pagi hari di sebuah warung nasi dan bekerja serabutan di siang hari hanya untuk mencukupi kebutuhan sekolah kami termasuk jajan sekolah. Tapi kenapa kali ini bang Galih lupa membeli pensil warna untuk si bungsu?

**

Sungai siang itu terasa sangat jernih. Dengan suara gemericik  airnya yang terdengar menenangkan. Dahan-dahan kayu yang panjang jatuh dengan lembut dan dimainkan air. Suara-suara kicauan burung yang saling berkejaran di atas pohon. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Saat itu kakiku sudah menginjak bebatuan besar. Hendak melangkah lebih dekat lagi. Tapi urung. Lebih memilih memperhatikan sekitar. Sepi. Tidak ada siapa-siapa. Aneh. Tapi aku yakin. Orang yang kucari pasti ada disini. 

"Bang Galih..." Nyaring suaraku bergema terpantul tebing sungai yang tinggi. Tidak ada yang menyahut. Hampir menyerah melihat sekitar. Matahari naik semakin tinggi. Menambah rasa gerah. Reflek aku lebih mendekat ke air. Mencari tempat paling nyaman di antara bebatuan besar. Meloncati satu per satu batu. Sampai-sampai aku tak sadar sudah sampai di tengah-tengah sungai. 

Aku mulai duduk di batu paling besar di tengah-tengah sungai. Menjulurkan kakiku ke dalam sungai. Brrrrrrzzz dingin. Kemudian mencelupkan tanganku ke air. Aku seperti baru jatuh dari langit. Benar-benar menyenangkan sekali. Air ini memberikan sensasi segar yang tak terkirakan dalam cuaca panas seperti ini.

Oh, Tuhan kemana sajakah aku selama ini.?Yang delapan belas tahun tinggal di kampung ini tetapi tidak sekalipun merasakan dinginnya air sungai. Aku benar-benar telah rugi. Rugi karena telah mendengar kata-kata ayah kalau sungai ini berbahaya. 

Buktinya apa coba? Lihatlah aku yang masih baik-baik saja sekarang. Sungai ini tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah pikiran dari masyarakat itu sendiri yang terlalu berlebih-lebihan dalam menguraikan kejadian. 

"Terrri..AWAS!!!" Aku menoleh pada teriakan itu. Ayah. Ternyata ayah sudah berdiri di pinggiran sungai sana dengan wajahnya yang cemas. 

Aku yang melihat ayah tidak kalah cemas. Terlepas darimana ayah bisa tahu aku di sini, ternyata teriakan ayah barusan adalah pertanda bahaya. Aku segera melihat sekitar dan langsung bergidik ngeri. 

"Tuhan tolooooong!! Ayah tolooooong Teri!" Badanku lemah. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana lagi. 

Ayah yang berdiri di pinggir sungai dengan gesit berloncatan di atas batu. Aku bisa melihat rasa tegang di wajahnya. Dan itu adalah wajah ayah yang terakhir. Sebelum akhirnya aku dan keempat saudaraku kehilangan ayah.

**

Jika kalian pernah mendengar nama Balum Bili, maka kalian pasti sudah tahu bahwa monster sungai ini sangat terkenal dan sudah dipercaya turun temurun. Balum bili berbentuk pasir yang mengambang atau kadang-kadang bentuknya menyerupai sebuah tikar. Orang yang terkecoh dengan bentuknya tidak akan menyadari bahaya yang sedang mengintainya.

Balum Bili akan membawa korban ke dasar sungai sampai benar-benar dilepaskan kembali saat korban sudah kehilangan nyawanya. Maka aku yang saat itu seharusnya cepat menyadari bahaya di sekitarku. Cepat merespon teriakan ayah. Atau memang sama sekali tidak menginjakkan kaki di sungai. Karena apa yang dikatakan ayah itu memang benar. Kami yang salah.

Hari ketujuh setelah pemakaman ayah barulah semua terkuak tentang alasan kenapa ayah menyuruh anak-anaknya untuk menjauhi sungai. Karena sebenarnya bukan sungainya yang berbahaya. Atau juga bukan karena adanya Balum Bili. Bukan. Meski tujuannya sama tetapi bukan karena ayah takut anak-anaknya akan mati di sungai. Ayah sama sekali tidak pernah takut dengan apapun. Cobaan seberat apapun entah mengapa menjadi ringan baginya. Dan setelah sekian tahun hidup bersamanya barulah seseorang menceritakan semuanya. Adalah Cek Amat sahabat ayah. Dia yang tahu alasan kenapa ayah bersikeras melarang anak-anaknya ke sungai.

"Ayahmu bukan pendidik yang akan mengajarkan anak didikannya menjadi penakut dan lemah. Ayahmu yang aku tahu adalah penantang segala rintangan. Dia adalah harimau di kampung ini. Terlepas dari itu semua, ayahmu sekarang sudah bertemu dengan ibumu. Wanita yang sangat dicintainya. Dan wanita itulah sebab muasal larangan itu."

Kami berlima saling pandang. Sama sekali tidak berani bertanya. Kami memilih menunggu Cek Amat melanjutkan ceritanya.

"Ibu kalianlah yang sudah melarang ayahmu untuk membawa anak-anaknya ke sungai. Ibu kalianlah yang jauh-jauh hari sebelum kepergiannya telah mewanti-wanti ayahmu untuk berjanji tidak akan mengizinkan anak-anaknya untuk pergi ke sungai. Dan sekarang ayah sudah bertemu dengan ibu disana. Dia sudah menepati janjinya. Janji seorang pria sejati kepada wanita yang dicintainya. Yaitu janji menjaga anak-anaknya dari ganasnya monster sungai itu."

Kami berlima tanpa dikomando sudah menangis bersama. Janji ayah itu pasti. Pasti bahwa dia akan menjaga janji itu sampai mati. Perngorbanannya untuk menolongku dari mangsa Balum Bili justru telah membawanya pergi. Tapi kali ini tangisku sedikit mereda, saat mengingat wajah terakhirnya saat melepas tanganku. Ayah tersenyum. Dia tersenyum penuh kemenangan. Karena janjinya sudah tunai.

***

yenny anggraini Photo Verified Writer yenny anggraini

Berusaha menjadi lebih baik

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya