[CERPEN] Perihal Abang

Jika mereka benar dan aku salah, tapi kenapa hatiku bahagia?

 

"Hai, aku ingin tahu, bagaimana pendapatmu soal yang dikatakan  orang-orang tentangmu.Tentang kamu yang  jelek, berhidung bangir besar, berambut keriting, pendek, hitam, dan bergigi kuning." Dia diam dalam lelapnya. Begitu lelah setelah seharian bekerja.

"Kamu yang jauh dari rupawan. Jauh dari kategori tampan. Apalagi jika disandingkan dengan mantan-mantanku dulu." Suamiku masih saja tidur. Nyenyak dengan dendang mimpi dalam lelahnya. Tidak mendengar suara hatiku. Suara gelisah.

***
"Bang kita belok saja di depan ya."

"Lho kok belok? Rumahnya kan ke depan lagi."

"Eh, eee... itu bang tadi adek telepon katanya dia tidak di rumah."

"Kok, tiba-tiba sih dek." Dahi suamiku berkerut.

"Katanya lagi diluar kok, bang," aku berusaha memberi alasan. Salahku memang yang tidak mengatakan sebenarnya pada Abang. Bahwa keluargaku itu, sering menjelek-jelekkannya. Seperti minggu kemarin aku ke rumah Kak Vania, dia tertawa mengejek setelah melihat foto Abang. Katanya sudah tualah, matanya berkeriputlah, jenggotnya inilah, mukanya itulah, aku yang mendengarnya saja sangat panas hati. 

"Jangan marah, memang benar lihat nih. Kelihatan sangat tua."

"Aduh... sayang sekali sih kamu, cantik tapi dapat suami jelek berjenggot gitu. Kan aku sudah bilang jangan yang itu. Coba dulu kamu terima cintanya Seno pasti kan gak kayak gini."

Aku menjawabnya dengan kaku, meski ingin marah dan membela. Tapi lidahku kelu. Tak dapat berkata. Sebulan kemudian aku pun memutuskan tidak ke kondangan pesta. Gara-garanya abang ingin ikut. Dia ingin aku segera memperkenalkannya pada semua saudara saudaraku.

"Dek kapan abang kenal sama saudara-saudara di sana jika kamu tidak pernah mengajakku bertemu? Mereka pun tidak pernah ke rumah kita. Apa kalian sering bertengkar?"

"Ush, abang apa-apaan sih, mana mungkin kami bertengkar bang. Kami itu sepupu jadi mana bisa bertengkar. Lagian rumah kita jauh bang. Wajar kan mereka tidak pernah ke sini?"

"Hmmm abang kira...kamu tidak dianggap saudara dek, hahaha."

"Jahat!" Tanganku sudah siap menerkam suamiku sebelum dia lari. Tapi bukannya aku yang menerkamnya justru dirinyalah yang sekarang menerkamku. Dengan wajah lucu dengan mulutnya yang dimonyongin dia mengaum ke telingaku.

"Aummmm..."

Aku berusaha melepas genggamannya dan berlari ke kamar. Abang menyusulku sampai kepalanya kejedot pintu yang kututup. Dia mengaduh tetapi tidak berhenti mengejarku. Kami saling menerkam di kamar. Seperti itulah keseharian kami. Hangat dan penuh cinta.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku tidak tahu kenapa semua menghina pilihanku. Kata mereka aku dan abang tidak cocok. Kata mereka nasibku sangat disayangkan. Sungguh Tuhan, jika pilihanku salah dan yang dikatakan mereka benar, kenapa hatiku sangat bahagia? Jika pilihanku benar, dan apa yang dikatakan mereka salah kenapa hatiku malu mengakui? Apakah sekerdil itukah aku dalam menerima abang? Pria yang sangat mencintaiku, memanjakanku, dan mengasihiku. Bukankah yang seperti ini tidak kutemui pada mantan-mantanku?

Kabar tentang suamiku yang jelek seperti wabah penyakit yang menyebar. Di setiap tempat di rumah-rumah, di warung kopi, di tukang jual sayur, atau emak-emak penjaja kue pagi. Semua seperti tahu tentang aku dan suami. Kata mereka sayang sekali. Khawatir suamiku ikut mendengarnya, aku tidak pernah mengajaknya pulang ke kampungku. Jadilah abang yang tidak pernah kenal dengan sepupuku, om dan tanteku, juga nenek dari adik angkatku, juga saudara ipar disana. Kenapa? Karena hatiku masih lemah mengakui, bahwa dia suamiku. 

Apakah aku lemah? Apakah aku begitu egois? Menyembunyikannya selalu hanya akan membuat abang curiga. Tapi selama ini abang selalu mengerti. Dia selalu menerima apa yang kukatakan. Abang tidak pernah protes. Dia selalu menurut apa yang aku katakan. Tapi aku, apa yang telah aku berikan untuk abang?

"Dek berapa lama kita sudah menikah?" Tanya abang sore itu. Kami sedang piknik ke pantai. Meski berdua tapi jika sama abang rasanya selalu rame.

"Hmm kira-kira hampir setahunlah, bang," kataku sambil menyeruput es kelapa.

"Hmm, pantas Kak Vania memberikan kita ucapan selamat."

"Ucapan selamat? Tanyaku heran," sejak kapan Kak Vina ngomong sama abang?

"Iya dek kak Vina mengucapkan selamat anniversary. Kamu tidak diucapin? Tuh, kan abang bilang juga apa, kamu tidak dianggap saudara," Abang jahil menggodaku. 

Mukaku langsung cemberut tapi bukan karena mendengar candaan abang. Melainkan Kak Vina. Kenapa dia hanya mengucapkan anniversary pada abang. Kenapa aku tidak? Dan sejak kapan Kak Vina akrab dengan abang? Rasa penasaranku semakin besar sampai akhirnya aku bertanya langsung pada Kak Vina. 

"Maafin kakak dek. Kakak menyesal mengatakannya."

"Lho kok minta maaf sih kak, emang kakak salah apa?" Tanyaku dengan polosnya.

"Dek kamu tidak tahu apa kesalahan kakak? Kakakmu ini tidak tahu diri. Kakak telah menghina suamimu, telah menjelek-jelekkan pada orang lain. Tapi nyatanya sekarang saat kakak jatuh bangkrut seperti ini, hanya suamimulah yang membantu kakak. Kakak benar-benar minta maaf. Kakak bahkan tidak berani mengatakannya langsung pada suamimu."

Mendengar itu aku jadi tersenyum. Benar saja selama ini tidak ada yang salah dari abang. Dia tetap lelakiku yang hebat. 

Sekarang mataku terbuka, aku tidak lagi malu karena fisik abang yang tidak rupawan. Karena sejatinya hati abanglah yang sangat rupawan.

***

 

yenny anggraini Photo Verified Writer yenny anggraini

Berusaha menjadi lebih baik

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya