[CERPEN] Mencari Kambing Hitam

Sebuah kehilangan yang misterius...

 

Kabar hilangnya kambing jantan Ajengan Atah Adol akan muncul tak lama setelah kabar duka adanya warga Kampung Katotolonjong yang meninggal. Seolah satu paket. Jika ada keluarga yang kehilangan anggota keluarganya, berselang kemudian, sang ajengan akan kehilangan kambingnya.

Jumlah kambing yang hilang tergantung jenis kelamin orang yang meninggal. Bila yang meninggalnya perempuan, maka akan hilang seekor kambing dari kandang. Bila lelaki yang meninggal, maka dua ekor kambing yang raib. Dan bila yang meninggalnya berasal dari keluarga miskin, bisa dipastikan kambing yang hilang akan bertambah satu atau dua ekor. Selalu kambing jantan dewasa yang lenyap. Jantan yang sehat, gemuk, dan tanduknya kuat. Bukan jantan yang cacat, kurus, dan tanduknya keropos.

Entah kenapa Ajengan yang memiliki empat istri itu selalu saja kecolongan. Padahal ia memiliki banyak pegawai peternakan, baik dari kalangan internal pesantren maupun warga sekitar yang diberdayakan. Letak peternakannya pun berada di dalam komplek Pesantren Adoliyah. Memang berada paling belakang. Namun di kelilingi sungai beraliran deras, jurang yang menganga, dan bukit pinus. Mustahil si pencuri memiliki ilmu terbang hingga tak perlu membawa kambing curiannya menyeberangi sungai, melompati jurang, juga menerobos lebatnya hutan pinus.

Meski berulangkali kehilangan kambing, namun sang ajengan begitu murah hati. Beliau tidak melaporkannya pada pihak berwajib. Tidak juga berburuk sangka. Justru, di hadapan Jamaah Altuturut Mundingiyah, sang pemimpin pesantren itu mendoakan si pencuri.

“Semoga lekas bertobat dan dibukakan pintu rejeki agar ia tidak mencuri lagi.”

“Aamiin,”

“Semoga barang yang dicuri diganti dengan rejeki berlipat.”

“Aamiin,”

“Semoga kita tidak termasuk orang yang merugi.”

“Aamiin,”

Doa semacam itu makin sering dipanjatkan Ajengan Atah Adol pada pengajian yang dipimpinnya di malam Rabu dan malam Minggu. Malam Jumat memimpin yassinan, sedangkan malam Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu, digunakan untuk memenuhi jadwal undangan mengisi pengajian di tempat lain.

Jadwal tersebut tidaklah mutlak. Relatif bisa berubah bergantung keadaan, terutama ketika ada warga yang meninggal. Ajengan Atah Adol selalu memimpin tahlilan sekurang-kurangnya tujuh hari. Beliau beserta Jamaah Altuturut Mundingiyah, juga warga lain, akan mendoakan yang meninggal semoga diterima amal ibdahnya, lapangkan dan diterangkan di kuburnya. Tidak merasa dahaga karena telah dikirim doa, diringankan timbangan keburukannya, serta diberatkan amalan baiknya.

Ajengan Atah Adol pun kerap diundang untuk memimpin tahlilan sampai seratus hari. Namun biasanya undangan itu muncul di luar kampung. Sebab kebanyakan warga Kampung Katotolonjong berasal dari kelas ekonomi bawah. Jangankan untuk melakukan tahlilan seratus hari, melaksanakan aqiqah pada yang meninggal pun terasa berat.

“Kondisi ibuku makin memburuk. Sudah tidak bisa makan ataupun minum. Aku takut beliau meninggal dalam waktu dekat.” Kasmin mengusap wajahnya yang penuh kesusahan usai menumpahkan kekhawatirannya pada Darman dan Odang.

“Tidak perlu takut Kang Min. Kematian itu sudah diatur dari sananya,” Darman mencoba menenangkan.

“Aku itu ikhlas, Kang Man. Tapi itu, kambing buat aqiqahnya ibu. Belum buat tahlilan, amplop berekat, penganan, dan besek. Kamu tahu sendiri, kita sudah dua bulan menganggur setelah proyek pembangun hotel di kota, selesai.”

Odang ingin menimpali. Lidahnya baru bergerak setelah melihat Bahar lewat. “Lihat Kang Bahar. Dia juga tidak repot mengadakan tahlilan. Juga tidak sembelih kambing buat aqiqah bapaknya. Kamu ikutin saja dia.”

“Tidak, saya tidak mau!” Kasmin langsung menolak. Air mukanya kini bercampur dengan kemarahan dan cibiran. “Kamu tahu sendiri tanggapan warga seperti apa. Bahar tidak sayang sama ayahnya dengan tidak menyembelih kambing aqiqah. Katanya aqiqah dilakukan tujuh atau empat belas hari setelah kelahiran, bukan setelah meninggal. Dia juga samain jenazah ayahnya sama bangkai kucing. Sudah dikubur, ya sudah! Tidak minta kita mendoakan almarhum. Tidak, aku tidak mau jadi anak durhaka. Apalagi aku ini asli warga kampung sini, sementara Bahar itu pendatang. Masih wajar beda juga!”

Darman dan Odang mangut-mangut menyetujui perkataan Kasmin. Keduanya saling tatap, lalu tiba-tiba jatuh sebuah ide di kepala mereka.

“Kita tunggu saja ada orang yang menaruh kambing di sekitar rumahmu. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini.” Darman kembali mencoba menenangkan Kasmin.

“Betul,” Odang menyahut. “Kamu tahu Kang Kosim ‘kan? Dia itu lebih bingung dari kamu. Tapi, ketika bapaknya meninggal, tahu-tahu ada empat ekor kambing di kebun belakang rumahnya. Dua untuk aqiqah, dan dua dia jual buat mengadakan tahlilan tujuh hari. Semoga nasib kamu juga sama.”

“Tapi, apa boleh berharap pada pencuri?” Kasmin masih gelisah.

Darman dan Odang bertatapan. Bingung.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

* * *

Sebelum munculnya fenomena hilang kambing setelah adanya kabar duka, bisnis Ajengan Atah Adol dalam jual beli kambing maju pesat. Melalui keuntungan dari bisnis itulah, prestasinya melebihi pencapaian sang ayah, yaitu mendirikan pesantren. Ayahnya, Ajengan Atah Warah, baru merancang pendirian pesantren dengan mendirikan masjid dan madrasah sebagai pusat kegiatan.

Setelah munculnya fenomena tersebut, tidak berarti membuat sang ajengan bersedih hati, meski tidak ada yang membeli kambingnya ketika ada warga yang meninggal. Karena ada order dari kampung lain.

Kadang pencuri itu membuat warga merasa diuntungkan, seperti yang dirasakan oleh Kasmin. Berselang sepuluh menit setelah pengumuman berita duka Mak Sukinah melalui pengeras suara di masjid, ada suara mengembik di sebelah rumahnya. Dua ekor kambing jantan ditemukan diikat di pohon jambu. Kasmin pun menghela napas. Ia bisa melaksanakan aqiqah dan tahlilan. Dua hal yang identik dengan kehadiran Ajengan Atah Adol dan Jamaah Altuturut Mundingiyah.

Duka tetaplah duka. Sejenak Kasmin merasa lega, selebihnya ia kembali terhimpit beban. Seekor kambing yang ia jual ke rumah potong hewan, uangnya cukup untuk tiga hari tahlilan. Kasmin bingung bukan kepalang mencari dana buat empat hari berikutnya.

“Jika saya mengutang pada tetangga, nanti kesannya tidak enak. Takut berkahnya hilang.” Kasmin mengeluh pada Darman dan Odang.

“Bagaimana kalau kita coba mengutang ke Kang Bahar? Dia tidak pernah ikut tahlilan. Orangnya juga tidak pernah bicara macam-macam.” Darman mengajukan saran.

Kasmin tidak lantas menanggapi. Ia melirik ke arah Odang. Matanya seakan meminta Odang untuk memberi saran lain. Namun pria itu malah garuk-garuk kepala.

“Ya sudah, kita coba pinjam uang ke Bahar. Tapi, kalian ikut bantuin ngomong ya?”

Darman dan Odang mengangguk mantap. Keduanya pun mengantar Kasmin ke rumah Bahar, rumah yang berbeda dengan rumah penduduk lainnya. Dibangun dengan paduan bata merah dan kayu. Halamannya luas dengan bunga-bunga yang semerbak. Perabotan dalamnya juga artistik. Pekerjaan Bahar bukan sebagai petani, pedagang, kuli serabutan, atau gembala kambing Ajengan Atah Adol. Bahar seorang seniman.

“Ini uangnya, semoga bisa membantu.” Tanpa banyak kata, Bahar memberikan sejumlah uang yang dibutuhkan Kasmin. “Untuk menghemat, saran saya, sebaiknya order saja beseknya dari warung nasi. Terima jadi. Tidak perlu keluar duit buat beli rokok, kopi, penganan, buat yang bantuin masak. Selain hemat, juga praktis.”

Ketiganya merenung sesaat, sebelum mengangguk menyetujui saran Bahar.

“Tapi ingat, pesannya harus menghitung waktu. Jangan sampai beseknya datang terlambat, juga jangan sampai disimpan terlalu lama. Keduanya berbahaya.”

Ketiganya kembali mengangguk. Mengobrol santai di luar konteks, lalu pamit.

* * *

Kabar menggemparkan datang dari Kampung Katotolonjong. Puluhan orang keracunan setelah menyantap besek yang diberikan usai menghadiri tahlilan hari kelima almarhumah Mak Sukinah. Puskesmas tidak sanggup menangani banyaknya korban. Para korban pun dirujuk ke RS PKU. Nahas, tujuh orang meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Yang meninggal kesemuanya laki-laki, dan selama hidupnya berada di bawah garis kemiskinan. Di antara duka yang menyelimuti warga Kampung Katotolonjong, terbersit kekhawatiran akan sebuah fenomena yang kerap muncul usai adanya berita duka;hilangnya kambing Ajengan Atah Adol. Bila satu orang yang meninggal—dengan menilik jenis kelamin dan latar belakang ekonomi—biasanya ada empat ekor kambing yang hilang. Bila dikalikan, berarti dua puluh delapan ekor kambing jantan yang akan hilang.

Kali ini Ajengan Atah Adol tidak ingin kecolongan lagi. Setelah salat Isya berjamaah, sambil menunggu jenazah-jenazah dipulangkan, bersama beberapa santrinya, beliau mengawasi kandang kambing yang terletak di belakang komplek Pesantren Adoliyah. Mereka mengamati setiap gerakan yang mencurigakan. Pencuri itu pasti akan melewati mereka. Sebab mustahil lewat belakang, di mana daerah itu dikelilingi oleh sungai beraliran deras, disambung jurang yang menganga, lalu bukit pinus yang lebat.

Ketika sedang khusyuk mengawasi, mereka dikejutkan dengan suara gemuruh yang membuat bumi bergetar. Mereka beristigfar, bertakbir, dan merapalkan doa-doa. Getaran itu berhenti. Mereka sempat mengucap hamdalah. Namun beberapa saat kemudian, mereka merasakan ketakutan yang belum pernah mereka rasakan, ketika mata mereka melihat malam mendadak menjadi begitu gelap.

Mereka menengadah ke langit. Bulan tertutupi oleh sepotong bukit yang melayang. Para gembala berlarian menjauh. Kambing-kambing mengembik begitu riuh. Lalu dengan seketika, bukit itu terhempas menindih kandang kambing. Puluhan kambing tertimbun tanah.

“Bukitnya terbelah, bukitnya terbelah…” teriak salah seorang gembala, di antara kesenyapan yang menyayatkan duka dan penyesalan.

* * *

 

Majalaya, 23 Maret 2016

 

Yadi Karyadipura Photo Writer Yadi Karyadipura

Menulis bukan hanya merekam jejak atau mengenang masa lalu, tapi juga refleksi atas keadaan saat ini, dan apa yang bisa dilihat di masa depan. Yadi Karyadipura juga dipakai untuk nama akun facebook, twitter, dan instagram.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya