[CERPEN] Titik Nadir Kesendirian

Seperti suara dawai yang mengiringi senandung pilu hati yang terluka

 

Purnama Dzulhijjah memantul di permukaan air danau. Kabut tipis memeluk pepohonan sekitar Cisanti. Sesekali terdengar dahan-dahan yang berderak digoyang angin malam. Seperti suara dawai yang mengiringi senandung pilu hati yang terluka. Lirik-lirik kepedihan yang lahir dari embusan napas terakhir.

Akhirnya aku menyendiri. Dua lelaki setengah baya yang sedari tadi memancing, pergi tergesa-gesa sambil mengerutu baru mendapatkan dua ekor ikan sepat. Keduanya saling menghibur dengan mengumbar rasa takut bertemu Si Layung.

Manusia memang ditakdirkan untuk tidak sependapat. Ada yang begitu ingin melihat ikan yang besarnya menandingi paus bungkuk. Sekadar penasaran, atau memiliki tujuan tertentu. Ada juga yang begitu takut hanya dengan mendengar namanya, Si Layung.

Kata sebagian orang, jika kau mendapati ikan merah raksasa itu menatapmu, kau tidak akan bisa menghindari mulutnya, yang akan menganga, lalu melahapmu. Kau akan mati tanpa meninggalkan jasad. Lenyap seketika dari muka bumi.

Aku sedikitpun tak merasa takut. Duduk sendirian di tepi danau yang tak jauh dari tugu 0 KM Citarum, aku justru merasa tenang. Hatiku akhirnya bisa berdamai dengan keresahan. Ketenangan dan kedamaian, dua hal yang telah lama menghilang dari diriku. Jiwaku telah dibakar oleh rasa sakit. Begitu kuat api kepedihan itu menggelora, hingga tak kutemukan keteduhan dalam shalat dan zikir.

Aku memusar doa dan zikir, mengharap belas kasih Tuhan Yang Maha Pemurah, agar aku mendapatkan pekerjaan, tulisanku dimuat, dan merestuiku mempersunting Yuni, kembang desa di lereng Gunung Halu.Tapi kehidupan semakin rumit. Selain belum lagi mendapatkan pekerjaan baru setelah diberhentikan secara sepihak di kantor pertanahan, tulisanku pun jadi jarang dimuat. Pernah dalam lima minggu, satu pun tak muncul di media. Pada minggu berikutnya, honor kecil tak mampu membungkam langgam lapar ususku.

Aku telah tersasar di labirin problema yang berliku.  Tersebab upayaku telah melewati batas. Sebelumnya aku bersama golongan yang mengharamkann tawasulan.

Tapi tiga bulan belakangan ini, setiap pekan aku bertawasul di makam wali, dan kuburan-kuburan yang dikeramatkan. Lantas ditambah dengan ritual mandi di air keramat, baik berupa sumber mata air, atau air terjun. Memiliki banyak rumus wirid dan bermacam barang pusaka.

Tapi semua urusan yang kuharapkan selalu lancar, justru kian rumit. Langkahku kian berat. Jalan yang kutempuh semakin penuh rintangan. Aku mengenang perjalanan ke Gunung Halu, melawati perkampungan, yang diawali di Kampung Cilame. Niat merangkum perjalanan, justru berputar dari kampung ke kampung. Jalan rusak penuh lubang, menerjang tanjakan dan turunan, melibas tiap belokan, dan sempat tersasar di hutan pinus Karyamukti.

“Mengambil jalur Ciririp,” aku berbisik pada Yuni. Kekasih yang setia meski karena terbatas jarak, lebih sering komunikasi melalui BBM dan telepon. Gadis lesung pipi kuning itu pun menerima keadaanku yang tak jelas berpenghasilan.

“Aku sudah tidak sabar menunggu kedatanganmu, Kang …” jawab Yuni sambil ternyum manis. Tiga jam kemudian, di matanya yang berbinar bahagia, terselip kecewa karena pertemuan itu dirasa tidak berlangsung lama.

Keluarganya menjamuku dengan baik. Orangtuanya mengijinkanku memintal benang-benang asih bersama Yuni. Namun pertemuan itu tidak memecah kerinduan yang telah membatu selama seratus hari tidak bertemu. Tapi setelah pertemuan itu, timbul rasa yang menggelora. Kerinduan yang makin kentara. Cinta yang kian menyelusup ke dalam kalbu.

Apel. Silaturahmi. Setelah lebaran, entah kapan lagi ada kesempatan. Pertemuan yang jarang terjadi karena sebagai penulis lepas, honor yang didapat tidaklah menentu. Aku belum punya SIM. Sudah tiga bulan plat nomor motorku kadaluwarsa. Masa arus mudik dan balik yang meniadakan razia, membuatku berani membawa motor melewati batas kabupaten. Lebaran memberiku kesempatan untuk bertemu dengan orangtua Yuni.

“Tidak mengapa belum bekerja juga. Bisa memanfaatkan keterampilan menulis pun itu sudah bagus. Semoga ke depannya dapat pekerjaan yang layak.” Tanggap Pa Supendi setelah mendengarkan kisahku. Lalu cerita lain menyambung bersama kepulan asap rokok.

“Apakah Majalaya itu jauh?” tanya Bu Ipah usai acara makan bersama. Mengobrol santai saling mengakrabkan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Seandainya upaya mengurai benang kusut permasalahan hidup seperti cerita perjalanan ke Gunung Halu via jalur Ciririp, mungkin aku tidak akan termenung di tepi Danau Cisanti. Melewati jalan terjal nan berliku yang memberi kebahagiaan di ujungnya. Tapi jika kisah bahagia sepulang dari Gunung Halu itu bisa sedikit diperpanjang, aku pun tidak akan meratapi nasib diri yang menyedihkan di tepi danau buatan ini.

Harapan dan kenyataan yang selalu bertolak belakang. Harapan indah yang selalu tak terlaksana. Sementara rasa takut yang muncul dari hati terdalam, selalu tampil dengan sosoknya yang begitu menyeramkan. Upaya yang telah melewati batasan, menjadi ciri akan berakhirnya sebuah cerita.

Danau Cisanti menampung tujuh aliran air dari tujuh mata air. Malam ini, tujuh sumber mata air itu akan menenggelamkan semua kesedihanku. Bukan dengan cara mandi di mata air Citarum dan Cikahuripan di dalam area petilasan Dipati Ukur. Tidak perlu bertawasul dulu di makam panjang. Tapi dengan cara bertemu dengan Si Layung.

Kekecewaan yang besar telah menggerakanku ke Danau Cisanti. Fakta-fakta yang menyesakan membuatku sulit bernafas. Cara Pak Supendi menghargai—apa yang beliau sebut—keterampilan, sama dengan yang lainnya, honor menulis tidak bisa disebut penghasilan. Dan kata ‘semoga’ yang terucap dari bibirnya yang dilintangi kumis tipis, hanya berlangsung sementara. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Pertanyaan Bu Ipah tentang letak Majalaya, rupanya menyembunyikan keinginannya yang tak ingin punya menantu, yang bertempat tinggal terlalu jauh. Cimahi pun jauh dari jangkauan ingatannya, apalagi kota kecil di selatan Kabupaten Bandung.

Yuni yang akrab dengan semua teman facebooknya, terutama kerap ngobrol dengan lelaki lain yang selalu menyeret kami pada pertengkaran. Aku sudah menduganya. Banyak manusia tua yang menginginkannya menjadi menantu. Tidak sedikit pula lajang dan duda yang serius mendekatinya. Hingga muncul seorang lelaki yang menggusur keberadaanku di hati Yuni. Perempuan bibir tipit yang gemar memuntahkan kekesalan, rasa jenuh dan kecewa di facebook, selalu banjir tanggapan. Dan sebagian dari mereka berupaya mengakhiri kebosanan itu.

Rustam, nama lelaki yang lebih dulu melamar Yuni. Orang yang sering berbalas komentar, ngobrol di inbox. Ketika tahu aku mengunjungi rumah Yuni, pria kurus itu melakukan hal yang sama keesokan harinya. Seminggu kemudian datang lagi bersama keluargnya. Membahas serius rencana pernikahan. Rustam sudah lima tahun bekerja di restoran apung Dermaga Bongas. Lebih dari mampu untuk memberikan maskawin yang layak, dan menanggung semua biaya pesta pernikahan.

Rustam tinggal di Cililin, tetangga Gunung Halu. Dalam sebulan, dua keluarga sepakat merencanakan pernikahan pada tanggal 14 Dzulhijjah. Besok. Sementara aku, dalam waktu yang sama, bergulat dalam kubangan kekecewaan karena tak satu pun tulisanku muncul di media, belum mendapatkan pekerjaan. Raga dan jiwa ini telah dilumat kesedihan yang mendalam, dan amarah yang menggebu.

Purnama Dzulhijjah. Semakin terang seiring merambatnya waktu ke puncak malam. Bayangan purnama pun hampir terbentuk sempurna di permukaan air danau. Air danau yang tenang. Tiada riak dan gelombang. Sempurna untuk mendinginkan hati dan pikiran. Aku tak ingin beranjak dari tepi Danau Cisanti.

Meski kabut menutupi pepohonan sekitar danau. Tugu 0 kilo meter Citarum pun diselimuti gumpalan asap berbentuk kapas tebal. Jalan setapak sudah tak terlihat. Aku tak akan memilih jalan pulang meski kabut telah sirna. Sudah kututup perjalanan hidup ini, dan waktunya membuka jalan pulang yang lain.

Untuk apa harus kutinggalkan ketentraman ini, demi menjalani kehidupan yang penuh pergulatan. Seperti jabang bayi yang nyaman bersemayam di rahim sang ibu, lalu mengembara di kehidupan yang jungkir balik setelah terlahir ke dunia. Sudah cukup bagiku menyaksikan beragam menu kemunafikan yang disajikan sebagai tumbal keselamatan.

Sudah terlalu sering aku merasakan sakit dan kecewa karena pengkhiatan yang tersembunyi dalam janji. Cinta yang hanya dihitung dengan bilangan harta. Cinta yang lahir dari kebeningan hati sudah tidak dihargai. Aku tidak ingin merasakan semua itu lebih lama lagi.

Asap mengepul di permukaan air danau. Muncul gelembung di bagian tengah danau. Lantas muncul garis tengah. Garis yang membesar di kedua sisinya. Terus membesar ke pinggir hingga seluruh air danau terlihat mengeluarkan gelembung dan asap seperti air mendidih.

Aku yang sedari tadi duduk langsung berdiri melihat pemandangan aneh itu. Mataku mematut pada sesuatu yang muncul di dalam air danau. Di bawah sinar purnama, samar-samar terlihat warna merah yang besar. Besarnya menandingi ikan paus. Ikan merah yang begitu besar. Si Layung!

Si Layung muncul. Si Layung mendatangiku. Aku! Aku yang ingin membersihkan diri dari kekecewaan dan amarah dengan cara tenggelam di danau, aku yang ingin melenyapkan semua kepedihan dan luka yang amat dalam. Si Layung menemuiku. Aku merasakan kegembiraan yang amat sangat.

Tanpa melepaskan sepatu, aku turun ke air danau. Dingin seketika merayapi tubuhku meski tinggi air mencapai betis. Aku berjalan. Air danau semakian dalam dan berlumpur. Kutatap Si Layung yang kian tampak ke permukaan. Ikan merah itu membuka mulutnya. Hey, Layung! Aku ingin menghilang. Lenyapkan semua kepedihan, kekecewaan, dan luka ini. Aku ingin menghilang tanpa jejak! Layung, makan aku!

* * *

Yadi Karyadipura Photo Writer Yadi Karyadipura

Menulis bukan hanya merekam jejak atau mengenang masa lalu, tapi juga refleksi atas keadaan saat ini, dan apa yang bisa dilihat di masa depan. Yadi Karyadipura juga dipakai untuk nama akun facebook, twitter, dan instagram.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya