Sally dan Tetangga Dokternya: from Atlanta to New York

Tiga tahun silam, Sally meninggalkan New York, Ethan, dan pekerjaannya. Tiga tahun kemudian, Sally kembali ke New York bersama Willy

Pagi itu Sally mendengar suara gedubrakan di lorong apartment tempat ia tinggal. Sally membuka pintunya untuk mengecheck dan ia dikagetkan dengan dua orang pria yang sedang memasukkan dus dan furniture ke dalam apartment tepat disamping apartment Sally.

“Hi” kata pria pertama sambil melepas topinya.

“Kenalkan namaku Willy, aku penghuni baru di apartment 206.”

Sally buru-buru melambaikan tangan sembari berkata “Hi, Sally, 208.”

“Sorry, berisik, soalnya kita cuma punya waktu hari sabtu pagi-pagi buat masukin barang. O ya, kenalkan ini Ian. Kita berdua dokter di Emory Hospital.” Kata Willy ke Sally.

“Oh.. saya kerja di downtown Atlanta” sahut Sally pelan.

“Silakan melanjutkan, saya cuma mau check siapa yang di luar” kata Sally sebelum menutup pintu.

Sally sedikit cemas kalau kalau dua dokter ini bakal gaduh, karena suaranya bisa terdengar sampai di tempat dia. Sudah 6 bulan, apartment 206 kosong, sebelumnya dihuni oleh sepasang suami istri tapi mereka sudah pindah. Sally suka keheningan karena menurutnya itu menenangkan hati. Tapi, dua dokter ini?

Keesokan harinya.     

Knock knock knock. Sally lari tergopoh-gopoh keluar dari kamar mandi untuk segera membukakan pintu. Ia terkejut melihat dokter tetangganya di depan pintu dia sambil membawa kopi. “Hi... ada yang bisa saya bantu?”tanya Sally. “Ha ha ha ha... ga, cuma mau kasih kopi. Aku beli dua rencananya buat Ian, tapi dia udah keburu pergi. Jadi yang ini buat kamu. Minum kopi?” tanya Willy ke Sally.

“Hmm, ya, tapi thanks deh, udah minum kok. Lagian saya buru-buru mau pergi” kata Sally.

 “Nah, bawa aja kopinya sekalian” sahut Willy sambil meletakkan kopi ke tangan Sally.

Beep Beep.. “Eh, maaf, aku harus ke rumah sakit sekarang. Bye Sally!” Willy langsung lari menuju elevator dengan 1 kopi di tangannya. Sally melihat lagi gelas plastik kopi dari Willy lalu membawanya masuk.

“Kamu itu tunggu apa lagi?? Sanaaa, cari teman, kok diam terus sih!!” kata Mama kepada Sally di telepon.

“Orang emang ga mau cari teman cowok, disuruh cari teman cowok.... Emang nikah itu enak?? Kan masih mau kerja... masih mau jalan-jalan... Emak itu gimana sih” protes Sally ke Mama.

“Tapi, kamu itu kebanyakan kerja!” sentak Mama di telepon.

“Ok, ok, cari teman cowok, ntar aku kenalin deh ke Mama. Puas??” sahut Sally di telepon. “Eh, ma, udah ya, aku mesti balik ke lokasi dekor nih. Ada wedding reception sore ini. Bye!”

“Ok. Hati-hati.” Kata Mama.

Sally balik ke apartment dalam keadaan lesu. Hari ini hari yang berat buat Sally. Dari diomelin mama di telepon sampai ada satu crew Sally yang salah order bunga padahal hari ini acaranya. Syukurlah semuanya bisa terselesaikan dengan baik. Ting suara pintu elevator terbuka dan “Hi Sally!” Willy melambaikan tangan kepada Sally.

“Hi” kata Sally

“Silakan” kata Willy sambil menahan tombol elevator untuk Sally. “Aku mau balik lagi ke rumah sakit. By the way, kamu besok malam free? Mau makan Thai food di dekat sini?”

“Hmm, ok. Jam berapa?” tanya Sally

“7:30 ya, ntar aku ketok pintu kamu.”

“Ok, sounds good. See you tomorrow, then”

“See you.”

Sudah lama sekali Sally tidak keluar berdua atau pun makan malam bersama dengan seseorang. Biasanya dia selalu order makanan lewat telepon, makan di kantor, atau makan ramai-ramai dengan teman sekantor. Maybe it’s about the time to get to know someone, pikir Sally dalam hati.

Willy menekan tombol pintu 208 satu kali, dan Sally langsung membuka dan menyapanya. Mereka kemudian berjalan bersama ke restaurant Thai yang tidak jauh dari apartment tempat mereka tinggal. Sally kaget karena ternyata Ian adalah adik Willy yang sedang menempuh program spesialis kedokteran anak di Emory University. Willy sendiri seorang dokter bedah jantung, dan ternyata Willy menempuh pendidikan kedokterannya di Columbia University di New York. Mereka berdua pindah apartment karena lokasi yang baru ini lebih dekat dengan hospital. Percakapan mereka malam itu tentang New York tentunya.

Sally dan Willy jadi sering makan malam bersama sejak hari itu. Kadang-kadang mereka makan bertiga dengan Ian juga. Sally mulai mengenal karakter Willy yang sangat friendly, dewasa, dan sayang keluarga. Willy rajin banget menelpon rumah untuk mengecheck keadaan papa mamanya. Willy dan Ian juga sering workout di gym sama-sama. Sally berpikir, mungkin ini awal yang baik untuk kehidupan sosialnya. Sally sendiri tidak pernah menyangka, dia bakal punya dua teman dokter.

HP Sally tiba-tiba berdering, Sally langsung mengangkat tanpa mengecheck siapa yang telepon.

“Sal, kamu ngapain Christmas ini?” tanya Willy ke Sally

“Hah, Christmas? Ehm, belum tahu sih. Pikirnya sih mau ke Philadelphia, ke tempat temanku. Emang kenapa?” tanya Sally

“Oh, dari Philadelphia ke New York mau ga? Aku mau ke New York tanggal 23 Desember. Kamu bisa nyusul, ntar Christmas di New York. Gimana?” tanya Willy.

“Mau ngapain di New York? Mahal lagi hotelnya.”

“Yeee.. pelit. Aku ada teman di sana, Dia tinggal di 89th street, Upper West. Ga perlu di hotel.”

“Trus di New York mau ngapain? Christmas tutup semua.”

“ke gereja lah, kan Natal. Ha ha ha, eh, sorry, kamu nasrani kan?”

“Iya. Trus?”

“Trus, kita potluck dinner. Aku ada teman yang bikin potluck dinner. Kita ke sana rame-rame. Ntar kamu aku kenalin ke teman-teman ex-Columbia. Besoknya kita putar-putar New York. Maybe bisa ke Battery Park tempat dulu kamu tinggal. Aku jarang banget ke sana. Jauh soalnya dari kampus.”

“Bisa sih. Tapi jangan lama-lama ya. Tanggal 27 desember udah mesti balik kerja nih.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ok. Gpp.”

Sally menghela napas sehabis menutup telepon. New York. Sally sudah meninggalkan New York dengan segala kenangannya tiga tahun yang lalu.

Philadelphia - New York

Sally senang sekali bisa bertemu dengan Emma di Philadelphia. Emma memperkenalkan teman prianya kepada Sally. Sally juga bercerita kepada Emma tentang Willy dan rencananya untuk merayakan natal di New York bersama dengan Willy.

Tanggal 24 Desember pagi-pagi, Emma mengantar Sally ke terminal bus yang akan membawa Sally ke New York. “Jaga diri. Sukses untuk semuanya” bisik Emma sambil memeluk Sally sebelum berpisah.

 “Ok” kata Sally.

Willy menelepon Sally, “Hey, sampai mana?”

“Mana aku tahu. Ini kanan kiri pohon... Ntar aku info kalau udah mau masuk New York.”

“Google Map dipakai donk!”

“Eh, itu bikin boros baterai. Ogah.”

“Pelit! Ok, ntar kamu kabarin aku ya.”

Sally kaget dan terbangun dari tidurnya. Orang yang duduk di sebelahnya, memberitahunya bahwa bus mereka sudah sampai di New York. Sally spontan kaget. Dia belum menelepon Willy. Dia mengecheck hpnya. HP Sally mati. “Oh, no!” pekik Sally.

New York.

Sally turun dari bus dengan tas ranselnya. Dia tengok kanan kiri, mencoba mengingat-ngingat arah untuk ke jalan 7th avenue. Tiba-tiba dia mendengar suara Willy.

“Saaallllll!!!”

Sally melambaikan tangannya. Willy berjalan ke arah Sally.

“Kamu... katanya mau telepon.... HP mati.... triple parah sih.”

“Sorrryyy... ketiduran... lupa charge di dalam bus...” kata Sally

“Untungnya aku ingat kamu naik bus apa. Jadi bisa check” sahut Willy dengan nada setengah gemas dan jengkel.

“He he he” balas Sally.

“Non, kamu traktir aku makan” pinta Willy ke Sally.

“Ok, ok, bos. Kita makan sekarang.”

Mereka berdua makan di Korean Town dan lanjut menuju ke apartment teman Willy di Upper West.

Di dalam subway, Willy memberitahu Sally bahwa ada perubahan acara. Acara potluck dinnernya diganti potluck lunch. Yang harusnya ke gereja di hari natal, diganti malam natal. Yang harusnya ke St. Patrick Cathedral diganti ke St. Francis Xavier di Union Square. Sally cukup kaget mendengar bagian ini karena Sally pernah bercerita ke Willy bahwa dia suka sekali dengan gereja ini. Bagus interiornya. Tidak seramai di St. Patrick. Sally tidak bertanya apa-apa kepada Willy. Hidup Sally sudah cukup terbalik-balik semenjak apartment no 206 dihuni oleh Willy dan adiknya, Ian.

Christmas Eve- New York

Willy dan Sally menghadiri misa malam natal di gereja tempat dulu Sally selalu pergi sewaktu ia tinggal di New York. Willy menggunakan sweater biru tua dengan kerah tinggi dan dilapisi coat hitam panjang lengkap dengan sarung tangan dan penutup telinga. Sally memandang Willy tanpa berkedip selama 3 detik. Setelah dilihat-dilihat. Cakep juga tetangga dokter dia ini. Sally sendiri mengenakan gaun biru tua selutut, ditutup dengan overcoat hitam panjang, sepatu boot hitam, dan topi hitam. Willy dan Sally berjalan bersama dalam keheningan.

Tiga tahun silam, di suasana natal, Sally meninggalkan New York, Ethan, dan pekerjaannya. Tiga tahun kemudian, Sally kembali ke New York bersama Willy untuk merayakan Natal. Sebuah impian yang sebenarnya sudah ada di benak Sally sejak kecil. Merayakan Natal dengan someone special. Berdua. Impian yang gagal. Sekarang ada di genggamannya. Willy? Sosok yang datang, tidak diminta, tidak diharapkan. Tapi Willy yang sekarang duduk bersamanya di gereja untuk merayakan Natal. Sally dan Willy tidak berbicara sampai acara misa Natal selesai. Willy tiba-tiba menarik tangan Sally, sewaktu Sally hendak berdiri dari kursinya. “Duduk dulu” pinta Willy.

“Kenapa?”

“Pacaran yuk. We. Us. Together. Let’s move our friendship to the boyfriend-girlfriend status” pinta Willy sambil melihat Sally.

“Kita baru aja kenalan, Wil”

“Ga apa apa.”

“Eh??” response Sally

“Jadi?” tanya Willy.

“Ok” kata Sally

“Cuma gitu?” tanya Willy sambil tertawa

“Nah, kamu maunya gimana?”

“Kalimatnya dipanjangin dikit donk. Masa cuma ok. Ga romantis kamu.”

Willy dan Sally kemudian tertawa bersama.

“Selamat natal tetangga.” Kata Sally sambil memeluk Willy.

M. W. S Photo Writer M. W. S

"Less is More" Ludwig Mies van der Rohe

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya