[CERPEN] Bintang dan Hujan

“Bintang dan hujan memang beda. Tapi hakikatnya mereka sama. Keduanya berasal dari langit”

 

Malam ini aku termenung, menunggu sesuatu yang tak pasti. Resah sekali rasanya. Mungkinkah dia datang? Sudah setengah jam aku menunggunya. Ingin rasanya aku pulang, tapi bimbang. Tak mungkin aku meninggalkan hal yang kutunggu dan tentunya kucinta.

            Berbagai macam posisi duduk telah kucoba. Sesekali aku berbaring. Tidak kotor. Lagi pula aku tidak takut kotor. Empuk karena dilapisi rumput yang tak terlalu lebat. Aku kembali pada posisi duduk dengan kaki ditekuk empat puluh lima derajat. Kedua tangan kubiarkan santai menyentuh bumi.

            Kupandangi langit hitam itu. Hitam dan benar – benar pekat. Tapi aku bingung, langit itu mendung atau tidak. Mengapa tidak ada bintang? Padahal dari tadi aku menunggunya. Sudah menjadi kebiasaanku dan memang kesukaanku setiap malam di sini. Di Lapangan sepak bola ini, dekat dengan rumahku. Apalagi kalau bukan untuk memandangi indahnya bintang – bintang malam.

            Belum lepas pandanganku dari langit. Antara kesal dan sabar itu beda tipis. Tiba – tiba aku merasa setetes air jatuh di hidungku. Aku menunduk, apa artinya? Setetes air tadi disusul dengan tetesan – tetesan lainnya yang semakin banyak dan cepat datangnya.

                        “Hujan!” Pekikku.

             Aku terkesiap, terpaksa meninggalkan tempat ini. Berlari secepatnya menuju rumahku agar tidak kehujanan. Semakin deras hujan itu, semakin cepat pula membasahi bajuku. Percuma juga aku berlari secepat apapun, tetap saja kalah dengan kecepatan hujan.

            Napasku terengah ketika telah sampai di depan rumah. Hujan masih ada tapi hanya rintik. Sial, giliran aku sampai di rumah hujannya melunak. Seolah hujan menantangku untuk melawannya.

                        “Dari mana aja kamu?” Bunda menginterogasiku.

                        “Dari lapangan, Bun.”

                        “Ngapain aja? Kenapa sampe basah kuyup gitu?”

            Aku memilih untuk diam. Pertanyaan yang tak bisa aku jawab.

                        “Ya udah, cepat mandi terus ganti tu baju”

            Aku hanya bisa diam dan manut. Melawan sama saja dengan mencari mati. Tentu akan lebih panjang ceramah dari bundaku. Hujan masih hadir dalam alunan rintikannya. Aku masih mengintip dari balik tirai jendela kamarku. Akankah bintangku hadir? Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Aku semakin kedinginan walau telah berganti baju. Rasa kantuk mulai menjalari mataku.

            Merebahkan diri di kasur dan kutarik selimutku. Untuk hari ini bintangku positif tidak datang. Panas dingin makin terasa di sekujur tubuhku.

                        “Semoga kita bisa bertemu besok. Selamat malam Bintang.”

            Itu kata terakhir sebelum aku terlelap.

* * *

            Mentari mulai menyapa. Pagi yang cerah datang. Gelap telah diusir oleh terangnya semangat di pagi ini. Semua orang bersiap memulai aktivitasnya. Termasuk bunda juga Suci, saudaraku. Tepatnya Suci adalah saudara kembarku. Aku hidup tanpa ayah sejak dua tahun yang lalu. Ayahku pergi meninggalkan kami karena penyakitnya. Kami sepakat untuk tidak mengungkit hari hitam itu. Tentunya untuk menghindari jatuhnya air mata lagi.

                        “Dina, bangun! Kamu gak sekolah?”

            Bunda menegurku. Beliau mungkin tak mengerti tentang keadaanku. Kalau saja aku bisa bangun, pasti dari tadi aku sudah berangkat sekolah. Tulangku rasanya remuk. Badanku panas dingin dan menggigil, lemas sekali.

                        “Badanmu panas, gak usah masuk aja dulu.”

Ucapannya menghalus setelah meneyentuh keningku. Aku hanya bisa mengaguk pelan. Hanya itu sisa tenagaku untuk menjawab pertanyaan bunda.

                        “Kemarin kamu kehujanan sih, udah dibilangin kalo hujan neduh aja dulu. Udah basah, cucian gak kering – kering, sakit lagi. Kalo sakit siapa yang repot? Bunda, kan!”

            Begitulah ocehan bundaku. Sudah kuhafal betul apa yang akan dikatakannya ketika aku berada di posisi ini. Mungkin orang lain menganggap perkataan bunda tadi sebagai ungkapan kasih sayang seorang ibu. Entah, tapi untukku tidak. Aku merasa dianaktirikan meski kenyataanya bunda melahirkanku sebelum Suci.

            Aku merasa kesepian. Kurasa akulah yang paling kehilangan saat ayah pergi. Ayah lah yang menjadi teman hidupku selama ini. Tak ada yang lain, sekalipun di sekolah. Tidak ada yang mau berteman denganku. Mungkin mereka menganggapku aneh dan penyakitan. Aku rentan sakit, apalagi jika kehujanan dan saat punya masalah. Itulah yang membuatku membenci hujan. Bahkan ayahku menghembuskan napas terakhirnya saat hujan.

            Alasan lain yaitu, bunda selalu memarahiku ketika kehujanan. aku benci sekali hujan. Aku heran mengapa remaja lain begitu suka dan kuat akan hujan. Mereka memadu kasih saat hujan. Mereka bermain dengan hujan. Mereka bahagia saat hujan. Hujan pun menjadi judul sebuah lagu. Lihat saja Suci. Dia bisa berlama – lama dengan hujan. Tidak sedikitpun bunda memarahinya. Dia kuat, tidak jatuh sakit ketika kehujanan.

            Orang lain, terutama bunda dan Suci menganggapku aneh. Apalagi kalau bukan karena kesukaanku. Apa salahnya aku suka bintang? Mereka menganggapku naif. Mereka pikir, untuk apa menggilai bintang, padahal tak bisa diraih. Apalagi bintang hanya datang pada malam hari. Masa bodoh. Bintang adalah sahabatku setelah ayah.

            Dulu aku sering melewatkan malam bersama ayah untuk menikmati bintang. Aku dan ayah saling bertebak nama dan rasi bintang. Bahkan ayah membelikanku peta langit. Tentunya untuk lebih mengetahui gugusan bintang di antariksa. Kamarku saja terlihat seperti space. Dipenuhi peta langit dah hiasan glow in the dark berbentuk bintang – bintang.

            Tak seperti kembar pada umumnya yang tidur sekamar. Dina dan Suci tidak. Kami punya kepribadian yang bertolak belakang. Jika aku suka bintang dan musik jazz. Dia suka hujan dan japanese rock. Suci juga jago grafiti. Darah seninya mengalir dari ayah. Aku terkadang merasa iri. Aku dekat dengan ayah. Tapi sedkitpun tak mewarisi darah seni ayah.

                                                                        ***

             Telah lama aku terbalut dalam selimut. Kuputuskan untuk bangun dan mandi. Rumah ini sepi, hanya aku di sini. Bunda sedang kerja dan Suci sekolah. Ada atau tidaknya mereka bagiku sama saja. Tetap saja aku merasa kesepian.

           Setelah mandi, aku merasa lebih segar. Ingin sekali pergi ke luar. Bosan rasanya berada di rumah seharian. Aku berharap malam segera datang. Apalagi kalau bukan untuk bintang. Itulah yang membuatku lebih menyukai malam hari daripada siang. Siang itu panas dan ramai. Sedangkan malam hari lebih sejuk dan damai.

           Aku duduk di beranda rumah. Waktu masih menampilkan angka 11.00. Jam sekarang biasanya anak sekolahan belum pulang, apalagi bagi orang kantoran. Untuk sekian menit aku duduk di sini. Tidak ada rencana untuk melakukan sesuatu. Kuputuskan untuk kembali ke kamar sejenak demi mengambil tabletku. Rasanya lebih baik jika aku browsing tentang prakiraan cuaca. Sebagai persiapan agar tidak terjadi hal seperti semalam. Aku ingin menikmati bintang tanpa hujan.

          Ketika telah di kamar, langsung kusambar tablet kesayanganku. Baru selangkah menuju beranda, suara yang tak kuharapkan datang.

            “Urgh, kenapa harus hujan lagi?”

           Kesal sekali. Aku undur untuk duduk di teras. Tetap kulanjutkan niatku, browsing prakiraan cuaca untuk nanti malam. Sayang sekali, sinyal buruk karena hujan. Tak ada yang bisa kulakukan lagi. Aku kembali berpeluk pada selimut. Satu jam berlalu, hujan masih berlangsung. Tiba – tiba suara ramai namun samar oleh hujan kudengar. Rasanya berasal dari luar. Aku bergegas menuju sumber suara itu.

            “Ha, ha, ha...”

          Suara tawa Suci dan teman – temannya. Mereka sedang bermain sepak bola. Ya, sepak bola dalam hujan. Mereka bahagia, tanpa ada yang sakit. Aku duduk memandangi mereka. Tak bisa bergabung. Aku takut sakit lagi. Lagipula, mana mau mereka dengan hadirnya aku. Dengan posisiku sekarang saja mereka anggap aku tak ada. Suci dan kawannya cuek tak peduli padaku.

Dukk...

            “Aww..!”

           Tendangan Suci yang kuat melesat mengenai pelipisku. Aku hanya bisa meringis dan mengaduh. Kupegangi pelipisku yang sakit dengan kedua tangan.

            “Kenapa Na, Sakit?"

       Aku hanya mengaguk dan menahan rasa sakit.

            “Makanya kalo sakit di dalem aja! Ngapain sih di sini, ganggu aku main aja. Udah sana, balik ke kamarmu!”

         Sekali lagi, aku hanya menurut. Ini benar – benar sakit. Apakah kami tak mempunyai kontak batin? Apa dia tidak merasa kesakitan juga? Aku kembali pada kasurku. Menangis di balik selimut. Air mataku terus jatuh seiring jatuhnya air langit. Semakin deras air mataku mengalir hingga aku letih menangis. Aku mulai mengatur nafas yang sudah tak karuan. Ini klimaks dari tangisanku. Perlahan, aku terlelap.

                                                            ***

              Saat membuka mata, aku melihat sesuatu yang aneh. Di manakah aku berada? Kurasa inilah rumahku, namun lebih luas dan indah. Kuperhatikan sekeliling isi rumah ini. Aku tersenyum, benar – benar bagus. Siapa yang telah merenovasi rumah ini? Siapapun dia, terima kasih banyak.

           Lalu aku ingat sesuatu. Tadi sebelum aku tidur, Suci ada di depan rumah bermain sepak bola dalam hujan. Hujan sudah berhenti. Aku penasaran, apakah Suci masih di sana? Aku pun melangkahkan kaki menuju depan rumah. Tidak seperti tadi, rumahku sekarang lebih luas. Membuatku butuh waktu dan jarak lebih untuk menuju beranda.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

          Akhirnya sampai. Kubuka pintu rumahku. Tidak ada Suci, pula kawan – kawannya. Sekali lagi aku dikejutkan oleh perubahan rumah ini. Halaman depan rumah menjadi lebih luas, seperti lapangan sepak bola sesungguhnya. Bersih juga indah.

         Aku suka perubahan rumah ini. Tapi mengapa tak seorangpun di sini? Aku mengitari satu per satu isi rumah ini. Sampai akhirnya aku letih dan berselonjor di depan sebuah pintu. Aku berpikir sejenak. Pintu apa itu? Baru kuingat, itu pintu menuju sisi belakang rumah.

          Penasaran mengalahkan rasa lelahku. Tapi aku ragu, kuurungkan kembali tanganku. Ini adalah pintu sisi belakang yang biasa sebagai tempat pembuangan sampah. Tepatnya, belakang rumahku adalah sungai yang dijadikan tempat pembuangan sampah. Aku kembali mengumpulkan keyakinan untuk membukanya. Semua sisi sudah kulihat, kenapa tidak untuk ini?

           Aku terkejut ketika melihatnya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengitari rumah ini? Tadi di halaman depan, hari masih terang. Tapi di sini gelap. Aku teringat sesuatu. Kalau ini malam, berarti ada bintang. Kuhadapkan wajahku pada langit. Itu bintang! Aku tersenyum. Bahagia sekali. Dihadapanku sekarang bukanlah sungai tempat pembuangan sampah. Ini sebuah taman yang berhiaskan lampu – lampu yang indah. Juga bintang – bintang malam sebagai sumber cahaya utama.

        Aku berbuat seperti biasanya. Duduk di atas rerumputan yang lembut dan memandangi indahnya sang bintang. Bintang – bintang bertebaran di langit. Dari sekian banyak bintang, aku yakin Tuhan telah siapkan satu yang kan jadi milikku. Aku menunjuk satu dari sekian bintang.

“Klek.”

       Terdengar suara pintu yang tadi kubuka. Aku terkesiap melihat sosok itu. Seorang pria paruh baya yang begitu kukenal.

Mungkinkah?

            “Ayah?”

          Aku mencoba menegur orang itu. Pria itu semakin mendekat, hingga akhirnya duduk di sampingku. Aku tak percaya, apa ini mimpi? Semoga saja tidak. Biarlah hanya aku, ayah dan bintang di sini.

            “Dina.”

      Ayah menyapaku dengan senyum lembutnya.

            “Iya?”

      Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Tuhan, biarlah begini selamanya. Aku bahagia dengan ini.

            “Apa kamu masih benci hujan?”

            “Dari mana Ayah tahu?”

            “Aku ayahmu, Na!”

        Ayah membuatku speechless. Beliau melanjutkan ucapannya sambil memandang langit malam.

            “Hujan itu anugerah Tuhan. Tak seharusnya kita membencinya. Justru bagaimana cara agar kita dapat melunakkanya. Agar dapat lebih berarti bagi manusia.”

            “Maksud Ayah?”

       Ayah tak menjawab. Kami dibekap keheningan. Aku hanya bisa menunduk merenungi kalimat dalam ayah.

            “Bintang dan hujan memang beda. Tapi hakikatnya mereka sama. Keduanya berasal dari langit.”

Aku semakin bingung. Apa makna tersirat dari omongan ayah? Mengapa malah membandingkan bintang dan hujan?

            “Kembalilah pada dirimu, Na. Tersenyumlah!”

      Kupalingkan wajah ini sepenuhnya pada ayah. Mencoba tuk mencerna perlahan.

            “Coba persatukan bintang dan hujan. Bersatulah kamu dengan Suci.”

             Mataku hampir copot mendengar hal itu. Tadi saja, Suci menyakitiku. Kenapa sekarang ayah menyuruhku bersatu dengan Suci? Belum sempat aku menyampaikan protes pada ayah. Tiba – tiba hujan deras datang. Menghapus semuanya. Bintang – bintang pun pudar. Dan yang paling kusayangkan, ayah perlahan menghilang dalam hujan ini. Semua berubah menjadi terang. Malam telah kalah.

                                                ***

             Silau hingga memerintah mataku untuk membukanya. Serba putih. Mana kebahagiaanku tadi? Mana rumahku yang luas dan indah? Mana taman belakang rumah? Mana Ayah? Mana bintang? Di manakah aku berada?

            “Dina?”

      Sosok yang mirip denganku itu menyebut namaku.

            “Ci, aku di mana?”

            “Maafin aku, Na! Gara – gara aku, kamu sakit.”

            “Apakah ini rumah sakit?”

            Suci mengangguk atas jawaban iya-nya. Tapi ada yang menggelitik rasa penasaranku. Mengapa Suci menangis tersedu? Apakah dia menangis untukku? Kurasa tidak. Itu bukan tangisan rasa bersalah. Itu seperti tangisan kehilangan. Apa iya?

            “Kenapa kamu nangis, Ci?”

       Suci mengatur napasnya, mencoba tenang untuk menjawab tanyaku.

            “Kita akan terus bersama. Iya kan, Na?”

         Aku mengangguk, namun itu tak memuaskan rasa penasaranku.

            “Kenapa Ci? Kenapa kamu nangis?”

            “Kita harus bersatu Na, cuma itu daya kita. Tak ada lagi yang akan menuntun langkah kita. Kita harus berpegangan tangan.”

           Tangisnya semakin meninggi. Aku masih menunggu kelanjutan katanya.

           “Bunda,..., bunda sudah pergi, Na!”

          Mata dan hatiku perih mendengarnya. Air mataku pun deras mengalir mengiringi air mata Suci.

          “Gimana bisa?”

           “Bunda kecelakaan, motornya tergelincir. Tepat saat aku menyepakkan bola pada pelipismu.”

           Tepat sekali. Waktu itu sedang hujan. Untuk kesekian kalinya aku kehilangan saat hujan. Tak ada lagi komunikasi diantara kami. Hanya suara isakan tangis dari aku dan Suci.

            Selama tujuh belas tahun, mungkin inilah kebersamaan kami yang pertama. Aku sendiri tak tahu apa arti kebersamaan itu. Orang lain bahagia dalam “bersama”. Tapi aku, kebersamaan Dina dan Suci berada dalam duka. Baru kusadari, aku terbangun dari mimpi indah. Inilah maksud dari pesan ayah.

            Aku akan memulai hidup dari nol. Bersama saudara kembarku. Meski kami berbeda, mencoba untuk berpegangan tangan. Menaklukkan dunia ini berdua. Bintang dan hujan yang mencoba hidup tanpa langit.

 

Tsurayya Maknun Photo Writer Tsurayya Maknun

Suka menulis, membaca dan traveling.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya