[CERPEN] Masih Sama

Dia masih menatapku, dengan tatapan yang sama.

Aku melihatnya di seberang sana, tepat di hadapanku. Kami terhalang oleh lalu lalang manusia yang sibuk dengan aktivitas masing – masing. Tepat saat ini matanya menatapku. Tapi aku ragu, apakah dia menatapku ataukah orang di sekitarku. Kuperhatikan sekitarku. Hanya orang lalu lalang, sedangkan matanya statis menatap tepat ke arahku. Jadi benarkah dia melihatku? Dia bisa melihatku, entahlah. Setidaknya aku bahagia bisa bertemu dengannya lagi, meski dalam keadaan sekarang. Dia masih menatapku, dengan tatapan yang sama. Tidak berubah, bahkan setelah sekian lama aku tak bertemu dengannya. Lima tahun yang lalu.

Adaptasi. Dulu waktu sekolah dasar, aku belajar tentang adaptasi adalah cara makhluk hidup menyesuaikan dengan lingkungannya. Saat itu yang dicontohkan adalah hewan dan tumbuhan. Seperti pohon jati yang meranggas saat kemarau. Tapi kemudian aku menyadari bahwa manusia juga membutuhkan adaptasi. Termasuk sekarang, ketika aku berhadapan dengan lingkungan baru. Masa – masa indah SMA yang hangat di memori masih membekas untukku. Sempat berpikir bahwa kuliah akan lebih menyenangkan dari SMA. Ternyata aku masih belum bisa membuktikan ekspektasiku.

Ketika aku berjuang untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, kutemukan sebuah titik temu. Ada alasan untuk bertahan. Meski awalnya tanpa sengaja. Aku sejatinya bukan lah orang yang super kutu buku. Aku pemalas, jujur saja. Tapi alasan satu – satunya setiap hari berada di perpustakaan adalah karena aku tak tahu apa yang harus kulakukan selain itu. Hanya ini tempat ternyaman. Duduk di sofa lembut atau lesehan, semua tersedia. Dan aspek terpenting adalah adanya akses wifi. Karena kebiasaan ini lah aku bertemu dengannya.

Hari ini setelah kelas memuakkan itu berakhir, seperti biasa aku menuju perpustakaan kampus. Tapi aku agak sedikit tak terima. Seseorang menempati tempatku biasanya. Sepertinya aku tahu orang itu. Dia yang biasanya duduk di seberang sana. Tapi hari ini dia menempati tempatku. Ini tak adil, setidaknya bagiku.

“Permisi”

Dia mendongakkan kepalanya, berpaling sejenak dari bukunya karena panggilanku. Mata tajamnya disipitkan seperti sedang berpikir. Sedetik kemudian dia melepas kacamata full frame nya.

“Iya, ada apa ya?”

Sejujurnya aku tak berani memberontak. Apa lagi dia laki – laki. Tubuhnya lumayan besar, secara fisik aku jelas kalah. Aku terpatung sesaat, kemudian menyadari bahwa dia masih menunggu jawabanku. Akhirnya aku mengalah. Tak mungkin protes padanya perihal tempat duduk, terlalu sepele.

“Aku boleh duduk di sini juga?”, akhirnya jawaban ini yang keluar dari mulutku.

“Terserah”, dia menjawab singkat lalu kembali pada bukunya.

Mungkin ini jalan terbaik. Entah apa yang terlintas di pikiranku. Ini agak aneh. Aku tahu dia sering ke perpustakaan juga dan kami sering bertemu. Tapi kami tak saling mengenal. Bahkan saat duduk berdekatan seperti ini menjadi sangat asing. Aku biasanya membaca buku random, tanpa tahu isinya, hanya sebagai kedok alasan berada di perpustakaan. Biasanya buku – buku yang kuambil tak pernah bertahan 15 menit, sisanya aku hanya bermain laptop. Browsing, menulis, dan melakukan apapun yang kusuka dengan media laptop. Tapi hari ini karena aku kelewat parno dan kikuk, laptopku tak sempat aku buka. Akhirnya dengan terpaksa membaca buku yang tadi kutemukan di rak yang bahkan aku tak tahu apa kategorinya.

Aku merasa ada sepasang mata menatapku. Entah ini benar atau hanya perasaan parnoku saja. Perasaanku, seorang yang sedang duduk berdekatan denganku inilah sedang menatapku. Aku mencoba pelan – pelan memberanikan diri menatapnya juga, benarkah?

Sial, mata tajam itu mengarah padaku. Aku langsung kembali pada bacaan di bukuku. Sekeras apapun usahaku mencoba fokus pada buku, tetap saja sel batang mataku mampu menangkap tatapannya yang masih terarah kepadaku. Sekali lagi, aku memberanikan diri menatapnya. Sayangnya aku salah persepsi. Ternyata dia menatap buku yang aku baca, bukan menatapku.

“Dunia Forensik?”

Pertanyaannya langsung menembak, tanpa basa basi. Aku kelagapan menghadapi pertanyaannya. Masalahnya, aku bahkan tak pernah peduli buku apa yang aku baca. Dengan situasi seperti sekarang, aku terpaksa membaca kata demi kata dalam buku ini. Tetap saja aku tak tahu apa judul bukunya. Tadi sempat melihat sampulnya, berwarna gelap, sayangnya aku gagal mengingat apa judulnya. Aku berusaha menyelamatkan diri dari kekikukan ini.

As you see

Sayangnya pernyataan singkat bernada ketus yang keluar sebagai jawabanku. Entahlah, untung aku sempat melihat tulisan judul buku di dekat nomor halaman. Parahnya, dia seolah makin tertarik dengan apa yang aku baca. Sial, aku bukan maniak buku yang selalu mendiskusikan dan mendebatkan isi dari sebuah buku. Haruskah aku memahami buku yang bahkan baru kubaca 15 menit yang lalu?

“Aku juga tertarik sama ranah forensik. Kamu dari prodi apa?”

 “Psikologi”

“Psikologi?”

Dia mengulang pernyataanku menjadi sebuah pertanyaan. Ada sebentuk raut heran dalam wajahnya. Kedua alisnya bertaut. Aku masih memperhatikannya, menunggu respon atas pertanyaannya yang menggantung. Adakah yang salah dengan jurusanku? Memang ini bukan pilihanku, hanya saja tes nasional itu menempatkanku pada prodi ini.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Harusnya aku kenal, kamu angkatan berapa?”

“2010”

“Hei, aku juga anak psikologi angkatan 2010”

Hening. Bibirku membentuk huruf o. Mataku masih menatapnya. Bukan karena dia juga anak psikologi. Tapi bagaimana bisa dia sama  sekali tak mengenalku padahal setiap hari aku melihatnya. Sebegitu tidak populerkah aku? Memang aku jarang berada di fakultas. Tapi setidaknya dia bisa mengenali wajahku. Dan aku baru saja ingat bahwa selain aku jarang berada di fakultas, aku juga tidak mengikuti ospek yang baru saja selesai. 3 bulan kemarin aku terbaring di rumah sakit untuk menjalani perawatan bronkitis yang kambuh.

“Salam kenal, aku Ryan”,Dia mengulurkan tangannya.

Sejak tangan kami saling berjabat, di situlah semua kedekatan bermula. Sebut saja kami bersahabat. Meski banyak orang bilang tak ada persahabatan murni antara laki – laki dan perempuan. Kenyataannya sesuai dengan apa yang kami pelajari. Dengan intensitas pertemuan yang sering, dan intimasi yang terjalin setiap hari tentulah ada keterlibatan perasaan di dalamnya. Aku tak pernah memberi nama pada hubungan kami. Begitu pula dia. Kami hanya menjalaninya dengan membiarkan semuanya mengalir.

Ada hal yang berbeda ketika aku mulai mengenalnya lebih dekat. Ternyata dia adalah orang yang ekstrovert, mudah bergaul dengan siapa saja. Ryan memiliki banyak teman dari berbagai kalangan. Kadang aku merasa terasingkan ketika dia sedang berkumpul dengan teman – temannya.  Tapi dia pandai membuatku merasa nyaman dengan kumpulan temannya. Ketika aku mulai jengah dengan topik yang dibicarakan kumpulan itu, dia menggenggam tanganku erat dan menatapku lembut. Dengan bahasa tubuh seperti itu, seolah dia menyampaikan “tenang ada aku di sini, semuanya akan baik saja”.

Lama – kelamaan aku mulai terbiasa dengan teman – teman Ryan.  Memang aku tak mudah akrab kecuali jika didekati secara personal. Aku menjadi nyaman berkumpul dengan teman – teman Ryan, meski dengan syarat dia harus ada di sampingku. Dengannya aku memulai petualangan baru. Aku yang semula berniat hanya menjadi mahasiswa kupu – kupu, malah menantang kesempatan dengan mendaftar sebagai anggota BEM fakultas. Ryan menantangku, kami sama – sama mendaftar. Ajaibnya, kami sama – sama diterima sebagai anggota BEM, meski berbeda divisi. Tentu saja ini menjadi langkah awal bagiku untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Dia membantuku menemukan secara langsung makna adaptasi yang kupelajari saat SD.

Semua masih berjalan sama. Sayangnya, ada hal yang  harus memisahkan kami. Ryan adalah mahasiswa cerdas yang mampu menyelesaikan kuliahnya selama 3,5 tahun. Meski dengan segudang aktivitas, dia tetap bisa meraih skrip nilai yang dipenuhi huruf pertama dalam alfabet. Setelah diwisuda, dia berpamitan padaku untuk kembali ke kampung halamannya. Dia juga menyemangatiku untuk segera menyelesaikan skripsi. Itu hari terkahir aku bertemu dengaannya. Setelah itu tak ada kabar. Bahkan tak seorang pun tahu kapan Ryan kembali ke kampung halamannya.

Tatapannya masih sama seperti dulu, tajam dan teduh. Pandangan matanya tak bergeser sedikit pun. Dia melangkah menuju posisiku. Dan aku sedikit tercengang ketika dia berjalan. Dia mampu melewati lalu – lalang manusia dengan mudah, tanpa batas. Dia seperti bayangan. Entah mengapa dengan cepatnya dia sudah berada tepat di hadapanku. Masih dengan tatapan yang sama. Kini kami berhadapan, saling menatap.

Pada menit ketiga kami saling betatapan, aku baru menyadari bahwa dia tidaklah berbeda dengan diriku. Aku dan dia sama. Kami bukan lagi manusia, melainkan ruh yang sudah meninggalkan jasadnya. Tak seorangpun mampu melihat kami. Pantas saja Ryan dengan mudah melangkah melalui lalu – lalang ribuan manusia.

Aku adalah korban dari kecelakaan sebuah maskapai penerbangan. Entah aku tak terlalu paham masalah penerbangan. Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Aku hendak melanjutkan program profesi psikologi klinis di Finlandia. Sayangnya takdir berkata lain. Aku memilih pesawat yang transit terlebih dahulu di Singapura, karena itu pemberangkatan paling cepat. Ryan sendiri tak jauh berbeda nasibnya denganku. Hanya saja tujuannya memang ke Singapura untuk memenuhi panggilan job sebagai HRD sebuah perusahaan asing.

Takdir berkata lain. Kami tidak lagi melanjutkan hidup. Tapi kami melanjutkan kehidupan lain. Aku bahagia bisa bertemu lagi dengannya meski dalam keadaan tidak hidup. Ryan meraih kedua tanganku. Aku melihatnya dengan takjub, kami bisa bersentuhan. Dia lanjut memelukku erat, seperti manusia. Andai saja aku dan dia masih hidup, tentu aku bisa mendengar degub jantung yang saling berpacu dan deru nafas yang sama – sama memburu. Sayangnya kami tak lagi hidup. Setidaknya aku masih bisa memeluknya.

“Apa kabar?”, Dia bertanya dalam pelukannya.

“Baik”, Aku menjawab singkat.

“Ada hal yang belum sempat aku sampaikan selama hidup”

“Apa Ry?”

Ryan melepaskan pelukannya perlahan. Dia masih menatapku, dengan tatapan yang sama. Kalau saja dia masih hidup, mungkin dia akan menghembuskan nafas puluhan kali. Tapi dia sudah tidak bernafas. Ada sesuatu yang ingin diungkapkannya. Sesuatu yang mungkin dia pendam bertahun – tahun. Dia adalah public speaker yang mahir. Selama ini kutahu dia dengan mudah mampu menyuarakan pendapatnya. Entah untuk kali ini dia benar – benar tercekat. Ada hal sakral yang ingin dia ungkapkan. Mungkin hal itu sudah lama ingin aku dengar.  Ryan benar – benar tercekat. Dia tak mampu bersuara, seperti kebingungan. Terakhir, dia meraihku, kembali memelukku.

 “Mungkin aku tak lagi hidup, tapi rasaku tak pernah mati”

“Untukmu…”, Dia melanjutkan ungkapannya dan masih memelukku.

Andai aku masih hidup, mungkin air mataku akan jatuh deras karena terharu. Mungkin juga nafasku sudah tak karuan hembusannya. Ungkapan yang aku tunggu sejak dulu, tapi baru kudengar sekarang.  Miris memang. Tapi ini sudah cukup membuatku bahagia. Manusia memiliki jalan takdir masing – masing. Apa yang terjadi, inilah jalanku. Aku dipertemukan dengan Ryan, lalu terpisah, dan kembali dipertemukan dalam keadaan berbeda. Aku tak perlu menjawab ungkapannya, karena kurasa seluruh semesta sudah mengetahuinya. Termasuk Ryan.

Kini tak ada lagi yang memisahkan kami. Masa bodoh dengan lalu lalang manusia dan keributan keluarga korban mencari jasad seseorang yang mereka cintai. Tak ada batas antara aku dan Ryan, sekalipun deru nafas ataupun degub jantung. Kami masih berpelukan, mengabaikan sekeliling, menikmati rindu yang tertunda bertahun lamanya. Aku tak ingin lagi berpisah dengannya, meskipun di kehidupan setelah mati.

Tsurayya Maknun Photo Writer Tsurayya Maknun

Suka menulis, membaca dan traveling.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya