[CERPEN] Not Alone

Setiap hujan datang, gadis itu terus menatap langit di balik jendela

Malam ini. Hujan turun lagi. Guyuranya semakin lebat bergelut dengan petir yang berkali-kali mengamuk di atas sana. Ditambah dengan semeribitnya angin membuat malam ini lengkap adanya amarah dari hujan belakangan ini. Bintang tak lagi terlihat, apalagi bulan terlihat pun kadang samar-samar disapu mendung segera. Di depan jendela yang terlihat kumuh itu, gadis seumuran baya terus memandangi hujan turun.

Ya. Aku bisa melihatnya tiap malam ketika aku tak sengaja menutup pintu depan atau menutup korden jendela kamarku. Aku sedikit gemetar ketika melihatnya sedang menatap hujan nyaris dengan tatapan kosong. Namun, aku tak pernah berani menegurnya. Jika dilihat dari jauh, sebenarnya dia adalah gadis yang kalem dan penuh ceria sebelumnya. Terakhir kali ketika aku pindah rumah, aku mengingatnya ia sedang berkencan dengan lelaki sipit. Mungkin dia adalah kekasihnya. Ya. Itulah yang aku tau.

Namaku, Monica. Gadis belia yang masih duduk di bangku SMA kelas Dua. Ayahku terlalu sibuk dengan kerjaanya, hingga kami sekeluarga harus terus berpindah jika ayahku dapat kerjaan dinas luar dari kantornya. Ibuku hanya ibu rumah tangga saja, ia mengurusku dengan sangat baik. Namun, sesekali meski ibu adalah ibu rumah tangga yang baik kadang aku tidak melihat ia sering berada di rumah. Entah, acara arisan ataupun kumpulan dengan ibu-ibu muda di sini aku juga tak pasti akan membuntutinya. Sementara aku, sesekali juga terlihat kesepian seperti gadis yang terus menatap di luar jendela itu.

Pukul 21.15 aku masih termenung di dalam kamar. Aku membuka buku tugasku namun hanya ku bolak-balik saja. Sesekali materi ulangan besok aku hafalkan, namun otakku dipenuhi dengan bayang-bayang gadis di luar jendela tadi. Aku hanya berpikir apakah dia sedang berada dalam masalah, ataukah dia sedang lapar atau semacamnya. Siapakah gadis itu? Dengan siapa ia hidup di dalam rumah yang tampak kumuh itu? Benarkah ia tiada beban dalam hidupnya. Mengapa aku tidak pernah melihat ia bersama kedua orangtuanya? Ah, kenapa aku memikirkanya terlalu dalam.

Waktu berjalan sangat lambat. Aku masih mondar-mandir di depan kamarku sendiri. Ingin sekali aku berjalan keluar memastikan apakah gadis itu masih berdiri dan menatap hujan diluar sana. Namun sekujur tubuhku mendadak kaku. Ya. Ini benar-benar sangat kaku. Bulu kudukku mulai  berdiri hingga membuat perasaanku berfikir yang tidak-tidak.” Ah, kenapa malam ini sangat aneh sekali?”, aku membatin kepada diriku sendiri.

Pukul 22.00 aku memilih pergi ke kasur lagi. Menarik selimutku dengan sigap lalu aku segera membenamkan seluruh badanku masuk ke dalam selimut. Aku ingin tidur nyenyak. Tanpa memikirkan gadis yang muncul sekelebat dalam otakku. Aku akan menganggapnya hanya sebuah ilusi saja. Biarkan tadi hanya bayangan semu yang sekelabat muncul lalu pergi berlalu dengan cepat. Aku yakin, malam ini aku bisa tidur nyenyak.

Pukul 02.15 aku terbangun dari tidurku. Hal yang pertama ku cari adalah handphonku. Aku menemukanya. Lalu ku lihat di handphonku masih tertera jam tengah malam. Padahal, ku fikir ini sudah waktunya pagi. Ku rasa karena fikiranku yang kalut dalam suasana tadi. Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu mengeluarkanya dengan pelan. Sekali lagi ku coba, masih membuatku merasa tidak tenang. Ya. Aku akan mencobanya sekali lagi. “Fiiuuhhhhhh ...” aku terus dilanda rasa penasaran. Aku memang harus memastikan diluar sana. Aku harus melihatnya apa yang masih dia lakukan.

“Gleeekkk...,” ada sebuah suara dari luar dapur. Aku semakin membenamkan kepalaku masuk ke dalam selimut. Kacau. Kamarku tidak ku kunci rapat dan sedikit membuka.

Sebuah suara pintu terbuka dari arah dapur mengagetkanku. Aku beringsutan dalam diam. Aku menjerit ketakutan dalam hatiku. Aku ingin berlari sekencang-kencangnya dan masuk ke kamar ayahku. Memeluk mereka erat mungkin akan membuatku merasa lebih baik. Tapi apa dayaku, aku merasa sekujur tubuhku di ikat dengan tambang. Aku merasa sangat sesak nafas. “Ayah,” aku memanggilnya pelan tanpa sadar.

Sekali lagi aku membenamkan kembali tubuhku masuk kedalam selimutku. Aku bergumam yang tidak-tidak. Aku ingin sekali membuka pintu kamarku dan melihat ada apakah diluar sana? Apa yang sedang terjadi. Kenapa malam ini sangat membuatku takut walau hujan sudah reda beberapa jam yang lalu? Hawa apa ini yang terus membuatku sesak. Apa ayah dan ibuku juga merasakanya. Atau hanya aku yang tidak terbiasa dengan pindah. Aku bahkan hampir terus pindah sampai lima kali terakhir ini.

Ah. Sudahlah. Kenapa aku harus terus takut dengan situasi ini. Padahal di dalam rumah ini ada ayah dan ibuku yang akan melindungiku. Jika aku berteriak, ayah pasti yang pertama akan menghampiriku. Ya. Aku akan memastikan kejadian diluar sana.

Pukul 02.30 aku segera memutuskan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Aku berjalan dengan sangat pelan. Kakiku masih sedikit gemetaran. Aku menepisnya agar tidak terlalu takut. Kenapa arah ruang keluarga menjadi begitu sangat jauh? Aku masih terheran-heran karena tak sampai sampai dengan tujuan awalku. Memastikan apakah gadis itu masih berada di depan jendela kumuh itu.

Ya. Aku mendapati setengah jalan menuju ruang jendela yang biasa aku bisa melihat apa yang dilakukan gadis itu dengan guyuran hujan. Selangkah lagi aku menengok kiri belakang sepertinya aman. Aku hanya perlu menarik kordenku sedikit lalu aku dapat melihat jendela keberadaan gadis itu. Perasaanku mendadak takut kembali. Tanganku menjadi kaku setelah melihat kedua kakiku masih gemetaran. “Ayolah, ku mohon?” aku memberi kekuatan kepada diriku sendiri.

“Sreeeekkkk...” aku berhasil menarik korden. Aku sedikit menunduk memastikan di luar jendela apakah ada kejadian. Namun hasilnya nihil. Di luar sana hanya ada bunyi sisa-sisa rintikan hujan semalaman.

Mata bulatku segera ku arahkan menuju tempat keberadaan gadis belia seumuranku itu. “Astaga ...” aku kaget. Menjerit tertahan. Mulutku bungkam mati rasa. Sekujur tubuhku ikut mati rasa. Peningku merasa sangat pusing. Aku takut apa yang harus aku lakukan selanjutnya.”Brrukk,” Sepertinya badanku ambruk. Ya. Aku terjatuh ke lantai.

**

 

“Ayahh ...” suara wanita paruh baya itu mengeras ketika mendapati putrinya tertidur pulas di ruang santai keluarga. Tepatnya di bawah jendela. Tidak selang beberapa lama lelaki paruh baya itu segera berlari menuju keberadaan putrinya dan segera memapahnya. Ia menggendongnya dengan perasaan prihatin.

Lelaki paruh baya itu berhasil menggendongnya dan membawanya ke tempat tidur. Mengelus-elus rambut lembutnya dengan tatapan sendu. Matanya cukup berkaca-kaca sekilas memandang putrinya. “Apa yang kau lakukan di luar sana semalaman, Nak?” Ucapnya lirih.

Pukul 06.15 aku masih tertidur pulas di kamarku. Mata bulatku sedikit membuka pelan. Hal yang pertama ku lihat adalah sosok lelaki paruh baya yang sedari tadi terus memandangiku. Aku mengangkat tubuhku pelan. Lalu kupeluk erat ayahku. Aku mendapati dirinya sedang berada di pelukanku. Perasaanmu mulai tenang. Aku tak perlu takut lagi untuk beberapa saat selama ayah masih merangkulku erat.

“Tenanglah, Nak.”

Aku menunduk pelan segera. Ayah mulai menenangkan keadaanku. Ibu masuk ke dalam kamarku dengan membawakan secangkir teh panas untuk membuatku lebih hangat. Ia menatapku beberapa saat. Aku sedikit takut oleh tatapan ibu yang menatapku tanpa berkedip. Aku diam tak berkata sedikitpun kepada ibuku.

Kepalaku masih terasa pusing. Aku segera mengingat kejadian semalam, namun aku merasa semakin pusing ketika mengingatnya. Hal yang sedikit ku ingat adalah ketika aku menarik korden untuk memastikan keberadaan gadis itu tiba-tiba badanku kaku dan langsung ambruk tepat dibawah jendela kamarku. Kenapa aku tidak merasakan sakit kalau aku dipukul oleh orang berbaju hitam semalam? Meskipun aku ambruk cepat, aku merasakan dibelakangku ada yang terus mengikutiku. Sial. Aku bahkan tidak bisa melihat jelas keberadaan gadis itu.

“Ayah...,” aku memanggilnya pelan setelah ibuku meninggalkan kami berdua.

“Ya,”

Lelaki paruh baya itu mulai mendekatkan telinganya ke arahku. Aku ingin membisikinya pelan. Sampai hanya ayah lah yang berhasil mendengarkanku. Aku tak ingin wanita paruh baya itu sampai melihat kami berdua. Memecahkan sebuah rahasia sisa semalam. Aku yakin ayah pasti mendengarkanku kali ini.

“Kita harus pindah ayah,” aku membisiki ayah pelan.

“Apa maksudmu, Nak?” ayah sedikit menyingkir dariku. Ia melepas pelukanku.

“Di sini semua misterius, Ayah. Aku tidak bisa menahanya lagi. Setiap malam aku selalu melihat bayangan gadis seumuranku menatapi hujan dibalik jendelanya yang kumuh itu,” aku berterus terang.

Sebelum ayah memotong, aku menghabiskan semua pembicaraanku. “Ayah, belakangan ini sifat ibu juga sangat aneh. Ibu tidak sedekat biasanya denganku ayah. Ayolah, kita harus segera meninggalkan tempat ini. Tempat ini sangat berbahaya ...” aku sedikit sesenggukan.

Ayah menyeka pembicaraanku pelan, “Apa yang sedang kau bicarakan, di sini tidak ada yang berbahaya. Ibu bahkan biasa saja, Nak. Kau hanya bermimpi buruk semalaman. Di sana juga tidak ada gadis di balik jendela seperti yang kau bicarakan. Kau hanya sedang bermimpi buruk,”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ayah, kau tidak mempercayaiku? Aku terus melihatnya setiap malam. Hampir setiap malam aku melihatnya dengan kedua bola mataku sendiri. Semalam aku bahkan seperti melihat bayangan hitam yang mencoba memukulku. Dia melukaiku, Ayah!” aku mengeraskan suaraku.

Ayah menghela nafas pelan. Ia memelukku sekali lagi. Ia hanya ingin menenangkanku saja. Aku tahu itu. Lalu kenapa ayah bilang ia tidak pernah melihatnya? Bukankah ayah lah yang sangat aneh? Ia tidak mempercayaiku selama ini. Aku tidak berbohong kepadanya.

“Sudahlah, Nak. Hentkan khayalanmu ini. Sebaiknya kau cepat bergegas pergi ke sekolah. Ibu akan menemanimu,”

Aku menunduk pelan. Kali ini ayah tidak mendengarkanku lagi. Aku harus memastikanya sendiri. Apakah ibuku tau tentang ini. Namun, belakangan ini mereka terlihat aneh. Ya. Sangat aneh sekali. Aku tidak bisa menahanya lagi. Aku harus keluar dan memastikanya apakah rumah itu berbahaya. Jika tidak. Aku akan mundur dan terus tidak memikirkanya lagi.

“Air hangatmu sudah siap, Nak.” Ibu memanggilku untuk segera mandi.

“Ya,” aku menjawab sambil bergumam pelan. Pikiranku masih melayang.

**

 

“Ibu, aku sudah siap.” Aku menghampiri ibuku yang masih fokus dengan acara TV pagi ini.

“Baiklah.”

Ibu menggandeng tanganku pelan. Aku segera keluar menuju parkir mobil. Ibu membuntutiku dari belakang. Aku menatap sekilas rumah kumuh itu. Tak ada siapapun. Hanya ada pintu terbuka sedikit. Aku sedikit merinding. Lalu cepat-cepat ku buang rasa penasaran itu.

“Ibu,” ucapku pelan memanggilnya. Ia masih fokus menyetir mobilnya.

“Hmmm ...” jawabnya singkat.

“Apakah ibu merasa aneh dengan rumah kumuh itu?” aku mencoba membuka pertanyaan pertamaku.

“Apa ada hal aneh yang terjadi?” ibu seperti mengerti apa yang ingin ku tanyakan.

“Di sana ada gadis yang selalu mengintip hujan dibalik jendelanya,”

Ibu tidak merasa aneh sama sekali. “Kau tahu, gadis itu sudah meninggal sebulan yang lalu. Dan kau hanya berhalusinasi hingga otak di bawah alam sadarmu terbawa oleh suasanya. Semalam aku menemukanmu terjatuh di lantai,”

Aku merasa aneh. Mengapa ibu mengetahuinya? “Kenapa ibu tahu semuanya,”

“Baiklah, ibu akan mulai darimana ya? Saat ibu sedang arisan, ibu hanya sudah mendapati rumah kumuh itu ramai oleh polisi. Beritanya di dalam rumah kumuh itu banyak sekali lelaki penjudi. Selanjutnya ibu tidak tahu, apakah gadis itu sebelumnya berada dalam masalah dengan para penjudi itu...” 

Aku merasa sedikit lebih baik ketika ibu berhasil membongkar rasa penasaranku selama ini. Namun, aku sedikit merasa kasihan kepada gadis itu. Ia pasti gadis yang malang.

“Tapi, ayah bahkan tidak mempercayaiku ibu. Ia terus berbicara aku hanya sedang berkhayal,”

“Kau tahu, ayah hanya tidak ingin kau merasa terus mimpi buruk. Ayah juga tidak ingin memperburuk keadaan. Kau hanya perlu kuat dengan lingkungan ini. Pikirkan saja sekolahmu dan teruslah belajar,”

“Baiklah, aku mengerti ibu.” Ibu memakirkan mobilnya tepat di depan gerbang sekolah. Aku mencium tanganya dan tersenyum kepadanya. Aku merasa lebih baik lagi.

Aku berjalan menuju kelasku. Hari ini adalah seminggu aku pindah di sekolahan ini. Ku harap apa yang dibicarakan ibu adalah hal yang benar dari rasa penasaranku ini. Ah.. aku merasa sedikit lega.

“Hei ... “ seseorang dari belakang memanggilku pelan. Aku langsung menoleh ke arahnya.

“Hei, kau Maya kan? Aku dari tadi mencarimu." Aku sedikit mengenalnya dari teman dekatku. Terakhir kali Fenny memberikan foto gadis yang mirip denganya. Spontan aku mengucapkan namanya.

“Ya. Aku mengenalmu dengan baik. Aku juga merasa kasihan padamu karena kau terus mengkhawatirkanku,”

“Apa maksudmu?” aku bertanya untuk mendapat kejelasan darinya.

“Aku Maya, gadis yang terus mengintip hujan dibalik jendela kumuhku.”

 

***

Syariiefha Sya Photo Writer Syariiefha Sya

Syariiefha Sya, Suka sekali dengan imajinasi yang tinggi, makanan favorit yang berasa pedas. Dan suka chocochipss.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya