[CERPEN] Celana Kakek

Kakek ramah yang ternyata...

 

Ups, kakek tua itu di sana lagi! Aku berbalik ke warung Bu Yatmi, lalu memilih jalur lain yang jelas lebih jauh menuju rumah. Di belakangku, ada Irma yang juga berlaku sama. Kemudian istri Pak Mukhlis, pembantu Bu Nani dan Bu Santy, serta beberapa gadis ikut mengurungkan niat melewati taman perumahan. Semua mengikuti jalurku tanpa kesepakatan resmi.

“Kau kena juga, Yen?” tanya Irma sambil menyejajari langkahku.

Kutoleh orang-orang di belakang kami, mereka semua bergidik. “Menjijikkan,” jawabku kesal.

“Bagusnya diapain, ya?” Irma melirik sinis ke arah taman, jelas yang ia maksud tidak terlihat dari tempat kami.

“Sudah lama itu kupikirkan, bagusnya bagaimana. Tapi selalu mentok.”

“Capek juga kalau tiap belanja kita mesti jalan jauh begini,” keluh Irma.

Gak papalah, hitung-hitung jalan sehat. Kan jarang-jarang, tuh!” aku menghibur diri.

Irma tersenyum mengiyakan. Ia dan aku sudah bersahabat sejak kecil. Entah kenapa nasib menjodohkan kami dengan persamaan tempat kelahiran, sekolah, kampus, hingga tempat tinggal sekarang. Benar-benar di luar niat kami. Di sekolah dan kampus, Irma bukan teman akrabku. Soal tempat kelahiran, nasib saja yang membuat kami bertetangga sehingga tidak ada pilihan selain bermain dengannya. Dan, hebat sekali si nasib ini, kami mendapatkan suami yang sama-sama memilih perumahan ini.

Tidak ada yang salah dengan Irma, dengan nasib, atau perumahan cool yang hampir selalu hening ini, kecuali satu makhluk renta yang ulahnya membuat kami mual. Ia seorang eksibisionis!

Di muka perumahan, berjarak selemparan batu dari pos satpam, berdiri rumah termegah. Di sana si kakek tinggal. Entah siapa namanya, yang semua orang tahu, ia adalah ayah dari Pak Hendra, anggota DPR sekaligus pengusaha terkaya di kota ini.

Pak Hendra baru saja bercerai, istrinya keluar membawa satu anak perempuan mereka, dan meninggalkan satu anak yang lain, seorang bocah laki-laki usia SMP. Sepertinya mereka sepakat membagi hak asuh. Di rumah itu, dipekerjakan dua orang laki-laki. Yang satu sebagai supir, satu lagi pembantu rumah tangga. Dengan demikian, praktis rumah itu hanya berisi manusia berjenis kelamin laki-laki.

Dulu, aku menyukai keseharian si kakek yang tak jauh-jauh dari tanaman. Jika melewati rumah Pak Hendra, orang tua itu akan terlihat di antara pepohonan palem atau berjongkok dekat bonsai-bonsai yang tertata. Ia menyirami bunga, membersihkan rumput, merapikan tanaman, bahkan menyapu halaman. Karena kagumku, setiap bertemu dengannya aku selalu menyapa, “Sedang bersih-bersih ya, Kek…. Sehat, Kek…,” dan sapaan lain-lain.

Sampai suatu ketika, di sore yang mendung. Aku terjebak hujan saat hendak kembali dari warung Bu Yatmi. Salahku juga, sudah tahu mendung aku malah tidak membawa payung. Kupikir langkahku akan lebih cepat daripada turunnya hujan, karena aku ke sana hanya hendak membeli garam yang mendadak habis jadi bahan mainan anak-anakku.

Begitu air hujan mengguyur, aku refleks berlindung di bawah pohon mangga yang berdiri manis di ujung pagar rumah Pak Hendra. Si kakek yang biasa menata taman kecil halaman rumah anaknya itu tengah menyeruput teh di teras. Aku tersenyum padanya sembari mengangguk takzim, minta izin berteduh dengan suara pelan tertelan hujan. Ia membalas dengan senyum dan anggukan pula.

Hujan yang kutunggu redanya, justru semakin deras. Di antara suara guyuran yang meninabobokan itu, kudengar sayup-sayup suara orang memanggil.

“Neng, Neng....”

Kukenali itu suara si kakek. Pastinya ia menyuruhku berteduh di dalam, karena dedaunan pohon mangga tak akan cukup lama melindungiku.

“Neng,” ia memanggil lagi. Dan aku menoleh untuk menolak. Mungkin bisa pinjam ponselnya saja, pikirku, untuk kirim pesan ke adikku di rumah agar menjemputku di sini membawa payung.

Begitu mataku sampai pada tempat di mana ia duduk tadi, pemandangan yang kutemukan bukanlah seorang kakek yang melambai menawarkan tumpangan, tapi seorang laki-laki gila yang tengah memamerkan isi celananya!

Segera aku berlari menembus hujan. Jangankan hanya hujan lebat, hujan badai pun akan kutembus daripada menyaksikan orang gila mengekspresikan sakitnya.

“Mampir dulu, Ir,” tawarku pada Irma. Ternyata ia menerima basa-basiku.

Si sulung yang baru 4 tahun menyambut kami, lalu membongkar belanjaanku. Adiknya yang masih merangkak menyusul di belakang bersama tante mereka.

“Mana coklat Kakak, Ma?” tanya Mia, si sulung.

“O iya, Mama lupa. Besok aja, ya,” kataku sambil mengajak Irma ke dapur.

“Kakak mau sekarang.” Mia mengikutiku.

“Kakak beli sendiri aja, minta temenin Tante.”

Adikku mengangguk, lalu mengangkat si bungsu dari lantai dan menyerahkannya padaku.

“Aku kena dikerjai orang tua itu minggu lalu,” Irma memulai obrolan setelah adikku dan Mia lenyap di balik pintu. “Suamiku minta dibelikan bakso yang sedang mangkal di taman. Belum sampai taman, kulihat ia datang dari arah depan dengan sepeda motor yang dipacu sangat pelan. Orang tua itu berkendara dengan satu tangan, tiba di depanku baru kutahu ke mana tangan satunya lagi. Ih, amit-amit!”

Aku ikut menjulurkan lidah, mual dan sebal.

Tiba-tiba Mia dan tantenya masuk tergesa. Wajah adikku nampak merah padam, layaknya orang yang malu dan marah. Mia malah seperti orang kebingungan.

“Kenapa?” tanyaku.

“Kakek yang di sana buka celana, Ma!” jawab Mia polos.

Aku dan Irma saling pandang. Ini benar-benar keterlaluan!

***

Tidak seperti yang sudah disepakati. Aku dan adikku tidak mengadukan hal kemarin pada suamiku. Mia juga sepertinya sudah lupa. Entahlah dengan Irma, dia bilang akan menegaskan kembali ceritanya ditambah pengalaman adikku pada suaminya.

Sejak awal aku memang tidak bercerita pada suamiku. Mungkin nampak aneh, tapi aku benar-benar merasa malu. Aku juga kasihan pada si kakek, ia duda sejak lama, ditinggal wafat istri hanya dengan seorang anak. Anak tunggalnya pun bercerai, dan mendapat jatah satu anak pula. Entahlah, aku hanya ingin bersimpati pada hidupnya yang sepi, terutama tanpa ada perempuan di dekatnya.

“Kurasa tidak ada hubungannya kesepian dengan pamer aurat. Setahuku seorang eksibisionis melakukan aksinya pada orang yang tidak dikenal,” kata Irma waktu itu.

“Ya sih, apa pun itu. Sendirian dan hidup tanpa perempuan pasti juga jadi beban psikologis baginya,” aku hanya ingin berempati.

“Dan sekarang, ia menyerang psikologis kita. Ini kejahatan seksual, Yen. Dan lihat, anakmu yang masih TK pun jadi korban!”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Penegasan Irma akhirnya membuatku setuju melaporkan si kakek pada Papa Mia. Kalimat sudah kususun menyambut ia pulang dari tugas harian. Bersiap untuk tega melihat orang tua itu digelandang ke kantor polisi, tempat suamiku bertugas. Dan mudah-mudahan tidak ada tekanan dari Pak Hendra yang pasti berkuasa karena hartanya, atas suamiku yang belum berpengaruh apa-apa di kepolisian.

Di depan rumah terdengar suara pintu pagar bergeser dan sepeda motor masuk. Kukenal bebunyian itu sejak lama sebagai tanda suamiku pulang. Mia dan adiknya sudah terlelap, tinggal aku dan adikku menyaksikan televisi menyuguhkan acara yang tidak kami simak sepenuhnya.

Suamiku masuk bersama wajah lesu dan lelahnya. Pasti hari ini ada kasus berat.

“Di Luar ada kejadian,” ia langsung bicara sembari menghempas tubuh di atas sofa.

Di Luar, biasa kami pakai untuk menunjukkan daerah pemukiman sekitar yang tidak masuk dalam area perumahan.

“Penjual jamu diperkosa, kata anak-anak yang ada di TKP tak lama dari waktu kejadian, ada kakek-kakek bermotor di sana.”

Deg! Ada yang menggedor dadaku. Adikku melirik tapi tidak bicara.

“Seminggu ini akan dikumpulkan saksi-saksi, bakal heboh lingkungan kita,” suamiku melanjutkan.

Kuputuskan urung melapor. Mungkin ada hubungannya dengan si kakek berpenyakit itu, tapi jadi saksi? Aku memilih tidak. Aku butuh Irma untuk berdiskusi dulu, adikku malah langsung masuk ke kamarnya. Kutebak ia pun tak ingin masuk dalam lingkar peristiwa Di Luar.

***

Kami bergaul dengan para pembantu. Aku dan Irma menikmatinya, tidak seperti ibu-ibu lain yang sengaja membuat gap. Apa salahnya berbelanja satu waktu dan satu tempat dengan mereka, toh mereka normal. Memang kadang agak aneh selera musik dan humornya, tak masalah.

Selagi memilih dan menawar, beberapa perempuan muda yang memilih bekerja daripada sekolah itu membahas peristiwa perkosaan yang terjadi kemarin. Tak butuh waktu lama untuk sampai kejadian itu pada tersangka yang sudah ada di kepalaku sejak tadi malam. Irma yang biasanya suka nimbrung memilih bungkam. Sama denganku, kami pasif saja karena tahu di warung Bu Yatmi ada seorang pria yang tak biasanya duduk-duduk di sana pagi begini.

Tadi pria itu membeli rokok, lalu duduk di sebelah warung seolah menikmati rokoknya. Sebagai istri polisi, aku curiga ia tengah mengumpulkan informasi untuk kasus perkosaan itu. Entah intel atau wartawan, yang penting aku tak mau terlibat dalam pengadilan atau apa pun yang merepotkan. Apalagi kasus ini, jika si kakek memang pelakunya, orang tua itu adalah ayah dari salah satu orang paling berkuasa di kota ini. Jadi saksi berarti siap-siap nyawa.

Kali ini jalur taman aman. Si tukang pamer aurat tidak di sana. Aku dan Irma berjalan cepat melewati area rawan antara rumah Pak Hendra dan taman perumahan.

“Kau sudah cerita pada suamimu?” tanya Irma.

Aku menggeleng. “Syukurlah ia lebih dulu cerita soal perkosaan itu. Aku tak mau jadi saksi.”

“Sama. Aku belum cerita tentang kejadian adikmu, tapi suamiku masih ingat yang kuceritakan tempo lalu.”

“Terus? Dia lapor?” aku bersemangat.

“Hei, kau pikir kau saja yang tak suka terlibat urusan runyam? Kakek itu punya anak raja, paling-paling kasus ini ditutup sebelum habis bulan.”

“Belum tentu,” kataku.

“Kau mau jadi pahlawan?” Irma menantang.

“Maksudku, belum tentu kakek itu pelakunya.”

Irma manggut-manggut. Kupikir ia memilih setuju lebih karena malas membahas.

“Mudah-mudahan pelakunya mendapat hukuman setimpal,” katanya saat berpisah denganku di depan rumah. Ah, klise.

***

Sudah satu pekan dari hari terjadinya dua kejahatan seksual di sekitarku. Semua kembali normal, sangat normal. Seperti sebelum si kakek sering beraksi. Gosip masih banyak, tapi sedang menuju antiklimaks. Semua orang bosan dengan tema yang itu-itu saja.

Aku dan Irma kembali bertemu tiap pagi di depan rumah, di warung, atau di taman. Ayah Pak Hendra masih setia dengan taman kecil di halaman rumah anaknya. Tetap ramah, tapi tanpa balasan dariku, sama sekali. Di kepala kami, ia penjahat yang ingin kami maafkan tapi sungguh-sungguh sulit. Reaksi kami lebih pada, ya sudahlah—sambil membuang napas. Mau diapakan.

“Hari ini cabe merah berapa, Bu?” tanyaku pada Bu Yatmi.

Aku bertanya tanpa memandang wajahnya, asyik memilih rempah di depanku. Jawaban yang ditunggu tak kunjung keluar dari mulut Bu Yatmi. Kucari-cari perempuan paruh baya itu, yang tiba-tiba sudah tidak di depanku lagi.

Bu Yatmi berdiri di muka warungnya, berjinjit-jinjit seperti berusaha melihat sesuatu agar lebih jelas.

Liat apa, Bu?” kudekati dia.

“Polisi,” jawabnya.

Nampak keramaian sekitar lima puluh meter di depan kami, polisi dan warga. Agaknya mereka datang setelah aku tiba di warung, dan ibu-ibu lain yang hendak belanja sengaja menyesatkan diri ke sana.

Kerumunan itu tepat di depan rumah Pak Hendra. Bisa kutebak isi kepala para penonton dan apa yang terjadi di sana. Tersangka pilihan kami dibenarkan polisi, antara senang dan sedih rasanya.

Tau rasa deh si tua itu!” ketus Bu Yatmi. “Emang pasti dia yang lakuin, syukurin dijemput polisi.”

“Bu Yatmi jadi korban juga?”

Nggak, tapi yang cerita sudah banyak. Zaman makin aneh, orang tua makin lupa usia...” Bu Yatmi nyerocos. Langganan warungnya masih belum membubarkan diri, betah di sana. Aku memilih tetap di warung, nanti dengar cerita Irma saja.

Tak sampai setengah jam kemudian, kerumunan mulai terurai. Beberapa perempuan menuju warung Bu Yatmi, aku dan pemilik warung bersiap mendengarkan berita terhangat.

Sebelum ibu-ibu itu sampai, mobil pick up polisi mendahului mereka, melintas di hadapanku dan Bu Yatmi. Ada dua polisi di depan, supir dan rekannya. Di kursi panjang belakang, pembantu rumah tangga Pak Hendra duduk diapit dua polisi lain dengan tangan diborgol.

Kulihat kerutan di dahi Irma yang tengah mendekat, dan samar-samar senyum si kakek di bawah pohon mangga ujung pagar rumah anaknya.

 

Syarifah Lestari Photo Writer Syarifah Lestari

writer & editor

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya