[CERPEN] Keluarga Pendiam

Mampukah Hermin mencari calon suami yang pendiam?

 

Mereka keluarga pendiam. Si Kakek bilang pada Hermin, si cucu, untuk bicara seperlunya. Jangan banyak bicara. Banyak bicara banyak lupa. Si Ayah, si Ibu, lebih sering berbicara melalui kode pada Hermin dan si Kakek. Orang-orang kadang bertanya, bahagiakah mereka?

Untuk mendukung teori ‘banyak bicara banyak lupa’, Kakek mencontohkan kisah seorang ustaz. Si ustaz, demikian Kakek bercerita, gemar menasihati umat untuk disiplin, tepat waktu, tetapi si ustaz selalu terlambat datang ketika mengisi pengajian.

Si ustaz gemar mengajak umat untuk taat peraturan, baik peraturan agama maupun peraturan dari pemerintah. Tetapi, si ustaz tak pernah memakai helm saat mengendari motor. Si ustaz lebih sering memakai peci, seolah ingin mengatakan pada umat bahwa memakai peci sama dengan memakai helm.

Si ustaz sering memotivasi umat untuk mencintai produk dalam negeri, tetapi di rumahnya penuh produk buatan luar negeri –setidaknya merek dari luar negeri. Meski semua orang tahu, negeri kita sudah mampu memproduksi barang serupa.

“Orang yang banyak bicara, akan lupa yang telah ia bicarakan. Karena itu, bicaralah seperlunya. Jangan banyak bicara. Banyak bicara banyak lupa,” kata Kakek pada Hermin.

Bicara seperlunya itu penting. Kakek mengenang seorang pejabat pada masa lalu. Si pejabat ini sangat berhati-hati ketika bicara. Bicaranya pelan dan lambat, sehingga membuat wartawan yang mewawancarai atau penonton yang melihatnya di televisi, menjadi geregetan.

“Kalau semua pejabat seperti dia, hati-hati bicara, bicara seperlunya, tenanglah hati rakyat. Tak akan kita temukan pejabat yang omongannya berbeda tiap waktu, seperti yang terjadi saat ini,” kata Kakek.

Banyak cerita yang Kakek beberkan pada Hermin, mengapa mereka menjadi keluarga pendiam. Kakek mencarikan jodoh untuk Ayah seorang perempuan yang pendiam, yaitu Ibu. Kata Kakek, almarhumah Nenek juga pendiam. Kakek dan Nenek menikah juga karena perjodohan.

“Zaman sudah berubah, Hermin. Kau boleh mencari jodohmu sendiri,” kata kakek. “Tetapi kakek minta, kamu carilah calon suami yang pendiam. Karena kita adalah keluarga pendiam.”

Hermin mengangguk. Ia tak mengerti yang diomongkan Kakek tentang perjodohan. Hermin masih kelas 6 SD, saat itu. Hermin mengangguk, karena ia hanya mau bicara seperlunya.

***

Sekarang Hermin sudah bekerja sebagai teller di bank daerah. Beberapa rekan kerjanya mencoba mendekati Hermin. Rata-rata mereka lelaki yang banyak bicara. Rata-rata mereka gagal mengajak Hermin untuk bicara banyak, karena Hermin selalu bicara seperlunya. Bagi mereka itu isyarat bahwa Hermin menolak hubungan dekat, sehingga mereka memilih menjauh.

Meski begitu, masih ada lelaki yang terus mencoba mendekati Hermin. Lelaki ini malah berani meminta untuk berkunjung ke rumah Hermin. Suatu sore, usai jam kerja, si lelaki berkunjung ke rumah Hermin. Si lelaki sudah mempersiapkan diri, karena telah mendapat pesan dari Hermin, “Kamu jangan banyak bicara. Bicara seperlunya.”

Si lelaki bercengkerama dengan Kakek di teras. Hermin duduk di ruang terpisah –di ruang tamu. Kakek melarang Hermin menerima tamu lelaki. Menjelang magrib, si lelaki pamit pulang.

Hermin berdebar menanti komentar Kakek.

“Kamu suka dia?” tanya Kakek.

“Belum tahu, Kek.”

“Di hadapan Kakek, dia memang pendiam, bicara seperlunya. Tapi Kakek tahu, itu hanya pura-pura. Lupakan dia!”

“Ya, Kek.”

Hermin memejamkan mata, menahan kecewa. Ah, bagaimana Kakek tahu bila sebenarnya si lelaki yang berkunjung itu lelaki yang banyak bicara?

Saat makan malam bersama, Kakek bertanya pada Ayah dan Ibu.

“Di kantormu, adakah pegawai yang bujangan?” tanya Kakek.

“Ada, Kek, tapi dia banyak bicara,” jawab Ayah.

“Relasi, kolega, rekan bisnis, atau apapun namanya, adakah yang masih bujangan?”

“Tidak tahu, Kek,” jawab Ayah.

Kakek mendesah, lalu menatap Ibu.

“Teman-teman arisanmu, adakah yang punya anak bujangan?”

“Tidak tahu, Kek. Saya tak pernah bertanya,” jawab Ibu.

Kakek mendengus.

“Baiklah. Kakek yang akan mencarikan jodoh untuk Hermin!”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Tapi, Kek...”

“Kakek tahu, Hermin. Kakek masih ingat. Kakek pernah mengatakan kamu boleh mencari jodohmu sendiri. Tapi ini darurat. Kamu sudah 30 tahun. Kalian mengerti?”

“Mengerti, Kek,” jawab Hermin.

“Mengerti, Ayah,” jawab Ayah dan Ibu bersamaan.

Esoknya, Kakek pergi ke kampung halamannya beberapa hari. Sampai hari ke sepuluh, Kakek belum kembali. Ayah menelepon Paman.

“Kakek sakit,” kata Ayah pada Hermin, usai menelepon.

Mereka bergegas ke kampung, menengok Kakek.

Kakek tergolek lemah di ranjang. Di dekat ranjang, Paman dan Bibi duduk menjaga Kakek.

“Mengapa kamu tidak meneleponku?” berbisik, Ayah bertanya pada Paman.

“Ayah melarangku,” jawab Paman.

“Ayah sakit apa?” tanya Ayah.

“Kata dokter hanya kelelahan, terutama lelah pikirannya,” jawab Paman.

Kakek membuka mata.

“Aku tak akan pulang sebelum membawa lelaki pendiam untuk Hermin,” kata Kakek, berat dan lirih.

Kakek memandang Hermin dan melalui isyarat tangan meminta cucunya itu mendekat. Hermin duduk di tepi ranjang.

“Mungkin riwayat keluarga pendiam harus berakhir,” kata Kakek. “Kakek menyerah, Hermin. Sangat sulit mencari lelaki pendiam, saat ini. Semua orang banyak bicara.”

Hermin diam, menunduk.

“Carilah lelaki yang kamu suka, Hermin,” kata Kakek. “Meski dia bukan lelaki pendiam.”

Hidung dan mata Hermin basah. Hermin sesenggukan. Hermin tak tahu harus berkata apa. Hermin hanya diam, karena ia hanya mau bicara seperlunya.

***

Hermin sering mendapatkan laporan dari para guru TK tempat Citra bersekolah. Kata mereka, Citra pendiam di sekolah, tetapi selalu melakukan banyak aksi.

“Citra lebih suka bertindak daripada bicara. Saya kira, Citra akan menjadi orang hebat, kelak,” kata seorang guru.

Hermin tersenyum dan mengangguk.

Kakek menepati janji. Kakek mengizinkan Hermin menikah dengan lelaki yang dulu pernah berpura-pura pendiam saat bertemu Kakek di teras. Kini, lelaki itu telah menjadi suami Hemin, dan menjadi orang satu-satunya yang banyak bicara di rumah.

Saat mereka berkumpul di ruang tengah, menonton televisi, lelaki ini bercerita tentang banyak hal. Kakek, Ayah, Ibu, diam mendengarkan. Hermin sesekali menimpali omongan suaminya, meski dengan kalimat-kalimat pendek. Lalu, satu-satu mereka mengundurkan diri, masuk ke kamar masing-masing. Tinggal Hermin dan suami yang bertahan menonton televisi. Citra tertidur di pangkuan Hermin.

Di televisi, seorang pejabat dirubung wartawan, berbicara banyak dan cepat tentang sesuatu. Hermin merebut remote control dari tangan suami, lalu menekan tombol merah.

“Mengapa kamu matikan?” tanya suami.

“Dia banyak bicara. Rakyat akan ingat omongannya, tapi dia mungkin lupa dengan omongannya sendiri. Aku tak suka orang banyak bicara!” Hermin memondong Citra, lalu membawanya ke kamar.

Si suami masih duduk di depan televisi. Ia tak berani mendebat, karena di rumah ini semua pendiam, kecuali dirinya. Ia tersenyum, menyadari dirinya sering lupa hidup di keluarga pendiam.

Si suami menyusul masuk kamar. Perlahan berbaring di sisi Hermin. Dalam remang kamar, si suami menatap langit kamar, sedang menyusun rencana untuk esok hari. Apakah ia sedang merencanakan untuk menyesuaikan diri menjadi lelaki pendiam? Entahlah, karena ia tak bicara sepatah kata pun, sampai akhirnya memejamkan mata.

**

 

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya