[CERPEN] Merindukan Sonep

Semua orang pernah nakal waktu kecil, seperti Sonep

 

Sonep membeli mainan ular karet di warung di kampung sebelah. Ular karet sebesar jempol, hitam mengkilap, panjang sekira 20 centimeter, meliuk membentuk huruf S, kenyal dan lentur mirip ular asli --mainan populer di kampung Sonep dan sekitarnya. Orang-orang meletakkan ular karet di tempat tertentu untuk mengusir tikus, tetapi anak-anak menyalahgunakannya --para orangtua melarang keras anak-anak mereka bermain ular karet.

Sonep tak berani membeli ular karet di kampungnya --pemilik warung pasti akan melotot dan mengusirnya. Sonep menyembunyikan ular karet di bawah bantal di kamar kakek. Waktu kakek akan tidur siang, ia melonjak kaget, jatuh di lantai dan tak bergerak lagi. Pada usia 10 tahun, Sonep telah “membunuh” seseorang --kakeknya sendiri.

Untunglah yang mati itu kakeknya, keluarganya. Coba kalau yang mati itu kakek tetangga, bisa panjang urusannya. Untunglah kakek sudah tua, sehingga wajar kalau mati karena sudah waktunya, para tetangga tidak curiga. Coba kalau kakek masih muda, bisa panjang urusannya. Ah, mana ada kakek yang muda?

Sejak kecil --maksudnya sebelum usia 10 tahun-- Sonep gemar mengerjai orang. Ia menirunya dari televisi --ia paling suka Tom & Jerry. Ia  terpingkal-pingkal melihat korbannya menjerit kaget atau ketakutan. Ia menangis ketika korbannya mencubit pahanya sampai membiru. Ia membawa tangisnya sampai ke rumah dan berharap ayah atau ibunya membelanya, tetapi tidak.

“Diam, atau ayah tambah lagi cubitannya!” Bentak ayah.

Ayah dan ibu sudah mencoba berbagai kiat agar Sonep berhenti mengerjai orang. Tak ada hasil. Hampir tiap hari ayah dan ibu mendapat komplain dari para tetangga, karena anak mereka menangis usai dikerjai Sonep. Juga guru-guru di sekolah, tak luput dari ulah jahil Sonep. Bedanya, guru-guru mencoba bersabar dan tersenyum, karena mereka yakin semua anak punya kecerdasan masing-masing. Mengerjai orang, termasuk kecerdasan yang mana?

Saat si ayah kondangan ke kampung lain, ia bertemu lelaki kawan lama yang jadi penyanyi dangdut dan punya grup organ tunggal. Si ayah bercerita tentang Sonep. Si kawan lama mengangguk-angguk mendengarkan dan kemudian memberi sebuah saran. Si ayah mengangguk-angguk mendengarkan.

“Apa itu manjur?” Tanya si ayah.

“Coba saja, siapa tahu manjur,” jawab si kawan lama.

Sampai di rumah, ayah memanggil Sonep, lalu mencoba menerapkan saran si kawan lama.

“Begini, Nak,” kata ayah. “Kalau timbul niat kau mengerjai orang, kau tarik napas, hembuskan pelan-pelan, lalu nyanyikan lagu yang kau suka.”

Sonep mengangguk-angguk mendengarkan.

“Lagu apa yang kau suka, Nak?” Tanya ayah.

Sonep berpikir beberapa saat lalu menjawab, “Balonku Ada Lima.”

Di sekolah ada ulangan harian matematika. Sonep melihat teman yang duduk di depannya melakukan gerakan mencurigakan. Tangan kiri si teman diam-diam masuk ke laci meja dan mengambil sobekan kertas; menyontek!

Ah, kalau saja Sonep membawa ular karet, tentu ia akan memasukkannya ke laci meja si teman. Biar menjerit si teman itu. Tetapi, Sonep tidak membawa ular karet karena pihak sekolah melarangnya. Sonep memikirkan ide lain. Bagaimana kalau upil, ludah, atau kaus kaki bau yang ia masukkan ke laci meja si teman. Sungguh, Sonep ingin sekali mengerjai si teman yang curang saat ulangan harian itu. Sonep gelisah, tubuhnya gemetar, dadanya berdebar.

Sonep ingat saran dari ayah. Sonep menarik napas, mengembuskannya pelan-pelan, lalu membuka mulutnya lebar-lebar dan menyanyikan sebuah lagu dengan suara lantang.

Balonku ada lima. Rupa-rupa warnanya!”

Seisi ruang kelas kaget --seorang teman jatuh ke lantai karena kaget luar biasa. Pulpen, pensil, penghapus, potongan kapur, sepatu, meluncur deras ke tubuh Sonep.

Di hadapan Sonep berdiri gurunya --perempuan muda berkacamata. Wajah si guru memerah marah, mata melotot, menatap tajam Sonep. Bentakan “Keluar!” menggema di ruang kelas.

Ayah dan Ibu Sonep dipanggil ke sekolah. Kepala Sekolah --perempuan gemuk, paruh baya-- menarik napas lalu memberitahukan hasil rapat dewan guru.

“Kami tak sanggup lagi mendidik Sonep. Bila Bapak dan Ibu ingin memindahkan Sonep ke sekolah lain, kami tak keberatan.”

Ayah dan ibu berpandangan, merasa bersalah.

“Beri kami waktu. Kami janji, Sonep akan berubah, tidak nakal lagi,” ayah memohon.

“Kami mohon, Bu Kepala. Kalau Sonep harus pindah ke sekolah lain, jauh. Beban kami tambah berat, karena harus bayar ojek tiap hari,” ibu menyahut.

“Beri kami waktu sebulan, Bu Kepala, untuk memperbaiki sikap Sonep,” lanjut ayah.

Kepala Sekolah diam, menimbang-nimbang.

“Baiklah. Kami beri waktu tiga hari,” kata Kepala Sekolah.

“Tiga minggu, Bu Kepala,” ayah meminta.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kepala Sekolah menggeleng.

“Dua minggu, Bu Kepala,” ibu meminta.

Kepala Sekolah menggeleng lagi.

“Satu minggu,” ayah memohon.

Lagi, Kepala Sekolah menggeleng.

Ayah dan ibu menyerah.

“Baiklah, Bu Kepala. Tiga hari,” kata ayah.

“Kalau dalam waktu tiga hari Sonep bikin onar lagi, terpaksa kami keluarkan dari sekolah!” tegas Kepala Sekolah.

Sesampai di rumah, ayah mengobrak-abrik kamar Sonep. Ibu hanya berdiri dengan bibir terkatup, di luar kamar. Ibu tahu tabiat ayah; selalu marah untuk menyelasaikan masalah.

***

Sonep berdiri tertegun di kamarnya yang berantakan. Matanya berkaca-kaca. Ia mencari-cari sesuatu dan menemukan kardus tempat menyimpan ular karet telah kosong. Air mata Sonep, jatuh sudah.

Sonep pergi ke kebun di belakang rumah. Ia mencari-cari sesuatu dan sangat berharap menemukannya. Bila ia menemukan sesuatu yang dicarinya, ia akan menyembunyikan di tempat aman, jauh dari mata ayah.

Sonep tersenyum ketika melihat sesuatu yang dicarinya tampak melingkar di bawah pohon pisang. Sonep yakin sesuatu itu ular karet mainannya yang dibuang ayah. Sesuatu yang melingkar di bawah pohon pisang itu hitam pekat dan mengkilap, mirip benar dengan ular asli.

Sonep mendekat, membungkuk, mengulurkan tangan kanan, hendak mengambil sesuatu itu.

Detik berikutnya Sonep menjerit. Sesuatu yang melingkar itu tiba-tiba bergerak dan menggigit tangan Sonep, lalu melata pergi ke semak-semak.

Sonep meringis dan menangis, langkah terhuyung mencoba berlari menuju rumah. Ibu menjerit melihat Sonep pucat dan berkeringat. Jerit ibu melengking membelah langit sore.

***

Orang-orang sudah berkumpul di depan rumah Sonep. Ayah berdiri di dekat keranda berselimut kain hijau. Suara ayah bergetar saat memberikan ucapan perpisahan.

“Saya mohon bapak-bapak untuk memaafkan Sonep. Sonep tidak salah, saya yang salah. Saya gagal menjadi ayah yang baik,” ayah tak sanggup meneruskan sambutan. Ia mundur selangkah.

Orang-orang menunduk, beberapa terdengar sesenggukan.

Seorang anak lelaki --teman duduk Sonep-- maju, menyeruak kerumunan.

“Sonep teman yang baik. Dia pernah memberiku pulpen, saat pulpenku habis,” kata si teman.

Seorang teman lain maju, lalu bergantian beberapa anak kecil lainnya memberikan pernyataan kebaikan yang dilakukan Sonep semasa hidup.

Orang-orang tertegun, ikut merasakan dan mengingat-ingat bahwa kejahilan Sonep hanya secuil dibanding kebaikannya yang melimpah.

Seorang lelaki paruh baya bergegas maju, seolah takut terlambat. Ia bicara dengan lantang, sehingga terdengar oleh mereka yang berkerumun di belakang.

“Saya bersaksi, Sonep anak yang baik, rajin ke masjid. Sonep tidak salah, dia hanya anak-anak, seperti juga kita pernah menjadi anak-anak. Kita yang salah. Kita lupa bahwa saat masih kecil kita juga pernah jahil, pernah nakal. Dulu, saya juga pernah membuat kakek jantungan karena meletuskan balon di dekatnya. Kita semua pernah jahil, pernah nakal. Mengapa kita lupa? Mengapa?”

Hening. Orang-orang menunduk. Mengingat-ingat masa kecil masing-masing. Ada yang ingat pernah membuat mercon mainan, memecahkan genteng rumah tetangga dengan batu ketapel, mencuri mangga, dan, ah, begitu banyak kejahilan mereka semasa anak-anak.

Kini, orang-orang merindukan saat kaget dan menjerit melihat ular karet mainan Sonep. Orang-orang merindukan misuh-misuh (mencaci-maki) dan mencubit paha Sonep. Orang-orang merindukan kejahilan, kenakalan Sonep. Sungguh, mereka merindukan Sonep.

***

 

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya