[CERPEN] Membebaskan Pejudi Dari Bui

Mampukah aku membebaskan penjudi itu dari bui?

 

 

Marjono si pejudi menemuiku membawa telepon tua, suatu pagi. Aku sedang membaca koran, saat itu. Marjono meletakkan telepon tua di meja teras, duduk di kursi seberang, matanya merah dan berat karena selalu begadang. “Aku butuh uang,” katanya. Sudah kuduga!

Aku masih ingat sejarah telepon tua itu. Dulu, aku, Marjono, dan beberapa teman lain suka bermain di kompleks kantor kecamatan. Kami bebas bermain di sana karena Pak Ramelan, ayah Marjono, kerja di sana sebagai penjaga telepon.

Tugas Pak Ramelan sepertinya ringan, duduk menunggu telepon berdering, di sebuah ruang kecil di bagian belakang kantor kecamatan. Sering kulihat Pak Ramelan duduk dengan kepala tertunduk mengantuk. Kata Marjono, dalam seminggu telepon itu berdering sekali dua kali. Praktis, tugas Pak Ramelan hanya duduk dan mengantuk sepanjang hari.

Mungkin untuk mengusir kantuk, Pak Ramelan mencoret-coret sesuatu di kertas. Suatu kali ketika Pak Ramelan sedang ke kakus, Marjono mengajakku ke ruang kerja ayahnya. Kami melihat kertas-kertas itu; kertas bertuliskan angka-angka, dan kertas fotokopian bergambar Petruk, Bagong, Gareng, dan Semar.

“Ini ramalan SDSB,” kata Marjono. Ia menyobek kertas, mengambil pulpen, dan menulis sederet angka, lalu bergegas menarik tanganku keluar dari ruangan sempit itu.

“Kita cari Pak Jamin,” kata Marjono.

“Untuk apa?” sahutku.

Marjono tidak menjawab, ia bergegas melangkah. Aku mengikutinya. Kami mengelilingi kompleks kantor kecamatan dan menemukan Pak Jamin sedang membakar sampah di pojok halaman belakang.

“Kamu tunggu di sini,” kata Marjono.

Aku menurut. Kulihat Marjono berbicara dengan Pak Jamin, merogoh uang dari kantung celana pendek, lalu menyerahkannya bersama sobekan kertas pada lelaki paruh baya itu.

Hari berikutnya, Marjono mengajakku menemui Pak Jamin lagi. Kawanku itu menyerahkan sejumlah uang dan mengucapkan terima kasih pada Pak Jamin. Setelah itu, kami menuju sungai, menikmati Djarum Super yang Marjono beli dari hasil nembus buntut SDSB. Kami masih kelas 6 SD saat itu.

“Enak, ya, rokok buntutan? Hahaha!” Marjono tertawa usai menyulut batang rokok ketiga.

Masa berganti, teknologi berkembang. Telepon dengan tombol putar berganti telepon tombol pencet. Pak Ramelan berganti tugas, jadi pesuruh kantor. Ruang telepon beralih fungsi jadi gudang. Telepon tombol pencet berada di ruang kerja Pak Camat. Meski begitu, masih sering kulihat Pak Ramelan mencoret-coret kertas di sebuah ruangan.

“Ayahku piket,” kata Marjono.

Kebiasaan Marjono pun berlanjut, mencuri waktu untuk menyobek kertas dan menulis sederet angka dari meja di ruangan itu. Menemui Pak Jamin untuk membelikan nomor SDSB, meski hanya dua atau empat angka saja, alias buntut. Tetapi sampai ayahnya pensiun, Marjono tak pernah lagi nembus buntut.

Suatu sore, ketika kami kelas 3 SMA, kami bermain catur di teras rumah Marjono, kami mendengar jerit perempuan dari dalam rumah. Bu Sakdiah, ibu Marjono, menangis dan mengabarkan bila Pak Ramelan meninggal. Kami bergegas masuk rumah dan melihat Pak Ramelan duduk kaku di kursi di ruang tengah. Di depannya, sebuah meja berserak kertas-kertas penuh coretan angka-angka.

“Cepat, kalian singkirkan semua kertas itu!” perintah Bu Sakdiah.

Buah jatuh tak jauh dari pohon. Marjono gemar bermain-main dengan nasib, seperti ayahnya. Setelah SDSB punah, Marjono bermain rolet, tetapi favoritnya dadu.

“Bandar rolet sering curang, mesinnya tidak beres. Kalau dadu, aku bisa mengocok dadu sendiri, lebih mantap,” kata Marjono.

Judi sudah mendarah daging bagi sebagian warga di kampung kami. Marjono suka pergi ke kuburan Cina di dekat hutan di selatan kampung untuk bermain dadu. Ramai orang di sana, baik penjudi maupun penonton. Konon, seorang tokoh masyarakat anggota DPRD jadi beking, sehingga arena perjudian itu aman tenteram. Beberapa pedagang kecil menggelar dagangan di sana, ikut mengais rupiah.

Kegilaan Marjono pada judi dadu demikian parah. Ia dipecat dari kantor pasar desa. Keluarganya kacau. Istrinya minta cerai dan membawa anak tunggal mereka ke kota. Kabarnya, mantan istri Marjono telah menikah lagi dengan seorang pedagang buah. Pada usia 37 tahun, Marjono telah menjadi duda karena dadu.

Marjono sering datang padaku, meminjam uang, apalagi bila ia melihatku keluar dari bilik ATM.

“Bisa kau pinjamkan sedikit untukku?”

Ah, aku tak bisa menolak, selalu begitu. Marjono penjudi yang tepat janji. Bila menang, ia selalu melunasi utangnya padaku, bahkan memberi lebih.

“Doakan agar aku sering menang, agar tak perlu pinjam uang terus sama kau,” katanya.

Dasar gila, batinku. Doa macam apa itu? Aku hanya menyungging senyum agar Marjono tidak tersinggung.

***

Sekarang Marjono butuh uang dan membawa telepon tua itu padaku.

“Kamu mencurinya?” tanyaku.

“Tidak. Ayahku menyimpannya dan mewariskannya padaku.”

“Kau butuh uang berapa?” tanyaku.

“Telepon ini barang antik. Kalau kujual di luar, pasti laku jutaan.”

“Aku tak punya uang sebanyak itu,” tukasku.

Marjono menyeringai.

“Aku tahu. Kau penulis, tak punya uang jutaan. Jadi, aku tak akan jual telepon ini sama kau. Aku gadaikan saja.”

“Berapa kau butuh?”

Marjono berpikir sejenak.

“Lima puluh ribu saja. Besok atau lusa aku kembalikan, plus bonus.”

“Bagaimana kalau meleset?” tanyaku, bercanda. Tetapi Marjono menanggapinya serius.

“Telepon ini jadi milikmu. Kau bisa menjualnya. Kau akan jadi penulis jutawan dan menikahi wanita yang kau suka. Hehehe!” Marjono terkekeh.

***

Telepon tua yang hitam dan cukup mengkilap itu masih tergeletak di meja ruang tengah dekat televisi. Aku bukan penggemar barang antik dan tak tahu harus kuapakan telepon tua itu. Ah, biar saja teronggok di sana, aku tak peduli.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku mengetik di laptop, melanjutkan menggarap cerpen yang telah dipesan redaktur sebuah koran. Keningku berpeluh. Aku membuka jendela kamar, angin sore mendinginkan tubuhku.

Suara ketukan pintu. Kasiman, pedagang buku bekas, datang berkunjung. Kami duduk di ruang tengah, sudah biasa begitu. Aku duduk gelisah, karena ide di kepala mendesak hendak keluar. Tetapi, aku harus menerima tamuku.

“Tak ada buku yang akan kujual. Mungkin lain kali,” kataku.

“Santai, kawan. Aku hanya mampir, hanya sejenak. Aku mau ke rumah Pak Budi, mengambil majalah bekas,” sahut Kasiman, dan ia menatap telepon tua di dekat televisi.

“Kau suka barang antik?” tanya Kasiman.

“Tidak. Itu titipan temanku.”

“Apa dia akan menjualnya?”

“Entahlah,” jawabku gelisah. Ide di kepalaku berontak.

“Bagaimana kalau aku bawa? Siapa tahu ada yang berminat membelinya.”

“Ya, kau bawa saja.”

Kasiman menatapku.

“Aku mengganggumu? Baiklah, aku bawa telepon tua ini.”

“Ya, ya. Kau bawa saja!”

Kasiman bergegas pamit.

Aku bergegas kembali ke kamar. Oh, ide di kepala menghambur tiada bisa kutahan!

***

Kabar itu beredar cepat seperti badai. Marjono dan beberapa penjudi diciduk polisi. Aku meluangkan waktu untuk menjenguknya. Dari balik jeruji, Marjono mengomel.

“Ada pengkhianat. Aku yakin Darman pelakunya. Darman kalah banyak. Dia mau pinjam uang padaku, tapi aku tak berikan. Darman dendam, lapor polisi. Kurang ajar!”

“Tenang, kawan. Tenang,” kataku.

 Marjono menatapku.

“Kau harus bantu aku!” katanya.

“Bantu apa?”

“Kau harus keluarkan aku. Menebusku. Aku tak mau mati di sini!”

Aku gelagapan.

“Bagaimana dengan keluargamu? Kau sudah mengubungi keluargamu?” tanyaku.

“Keluargaku yang mana? Aku tak punya siapa-siapa lagi. Mereka sudah membuangku. Hanya kamu keluargaku!”

Aku bingung harus berkata apa.

“Herman!” kata Marjono. “Kau harus bantu aku. Tebus aku, tebus aku!”

***

Ke mana aku harus mencari uang tebusan? Tabunganku tak sampai sejuta. Honor cerpen dari beberapa koran belum cair. Apa yang harus kujual?

Ah, telepon tua itu!

Dengan kecepatan berkisar 80 km/jam, aku melajukan Vario hitamku menuju rumah Kasiman. Kuharap ia sudah pulang dari pasar senggol. Saat ini aku sangat butuh bantuan Kasiman!

Syukurlah, Kasiman ada di rumah. Sebelum aku menceritakan permasalahanku, Kasiman telah menyambutku dengan senyuman dan bercerita tentang telepon tua itu.

“Seorang pelangganku telah membelinya. Ia kolektor barang antik. Maaf, aku belum sempat ke rumahmu,” kata Kasiman.

“Laku berapa?” tanyaku.

Kasiman masuk rumah, dan tak lama kemudian kembali ke teras membawa amplop coklat.

“Laku lima juta,” katanya. “Dan ini bagianmu. Dua setengah juta. Kita bagi rata. Oke?”

Aku tertegun.

“Kenapa, kawan? Kurang? Jangan begitu, kawan. Menjual barang antik itu butuh perjuangan. Kukira bagi rata sudah cukup adil,” kata Kasiman.

“Ya, ya. Cukup adil. Terima kasih, Man,” jawabku, lalu bergegas pamit.

Hari mulai gelap. Aku melajukan motorku ke arah semula. Aku akan menemui Marjono lagi. Di kantung celana panjang hitamku ada amplop coklat cukup tebal.

Dadaku berdesir. Uang dua setengah juta rupiah untuk menebus Marjono dari bui, cukupkah?

***

 

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya