[CERPEN] Kinjeng Biru

Demi Vema, Herman rela berhari-hari mencari kinjeng biru.

 

Cerpen Remaja

KINJENG BIRU

Oleh: Sulistiyo Suparno

 

Kelas Herman –kelas XII IPS 3-- kedatangan murid baru. Seorang gadis berambut panjang berdiri di muka ruang kelas, mengenalkan diri. Gadis itu bernama Vemala dan ia minta dipanggil Vema. Ia anak camat, sudah beberapa kali pindah sekolah karena mengikuti tugas ayahnya. Ia mengaku senang dengan kinjeng; ia pernah memegang kinjeng hijau, merah, dan kuning. Ia sangat ingin memiliki kinjeng biru, dan berharap di sinilah keinginannya terwujud.

Saat jam istirahat pertama, cowok-cowok berebut ingin menjabat tangan Vema; kenalan. Herman mengalah, hanya duduk di kursinya, memandang teman-temannya berebutan menjabat tangan Vema. Sebenarnya Herman ingin juga berkenalan dengan gadis semampai itu, tetapi ia menahan keinginannya.

Pulang sekolah, Herman melangkah gegas mendekati Vema. Inilah kesempatan bagi Herman untuk berdekatan dengan Vema, karena letak rumahnya dengan rumah dinas camat searah. Vema tersenyum manis dan mengangguk ketika Herman meminta izin untuk jalan bareng.

“Kinjeng biru?” gumam Herman. “Itu kinjeng yang langka.”

“Kamu benar,” sahut Vema. “Itu kinjeng yang langka. Apa kamu pernah melihatnya?”

Herman menggeleng.

“Di belakang rumahku banyak kinjeng,” kata Herman.

“Benarkah? Menyenangkan sekali,” sepasang mata Vema tampak berbinar.

“Di belakang rumahku ada sawah. Pemiliknya menggunakan pupuk organik, nggak ada polusi atau pencemaran. Makanya banyak kinjeng di sana,” kata Herman.

“Ya, aku pernah baca tentang itu,” sahut Vema. “Kinjeng senang berada di tempat yang nggak ada polusi.”

“Akan kucarikan kinjeng biru untukmu,” kata Herman.

“Sungguh?”

“Tentu.”

“Terima kasih. Kamu baik sekali.”

“Adikku juga suka kinjeng,” kata Herman.

“Benarkah? Boleh aku bertemu adikmu? Di mana rumahmu, Herman?”

Herman memberitahu alamat rumahnya.

“Kapan-kapan aku akan ke rumahmu,” kata Vema.

Herman tersenyum senang. Dadanya berdebaran.

***

Demi Vema, Herman rela berpanas-panasan di sawah di belakang rumah. Ia menancapkan beberapa batang lidi di pematang. Herman telah mengoleskan getah buah nangka pada tiap ujung lidi, dan berharap ada kinjeng yang hinggap di ujung lidi tersebut.

Herman duduk di pondok bambu di sawah, menunggu lidi bergetah mendapatkan mangsa. Tetapi, meski sudah menunggu beberapa lama, tak satupun kinjeng yang terjebak di lidi bergetah. Padahal, beberapa kinjeng tampak terbang di sekitar sawah.

Herman pulang dan membiarkan lidi-lidi bergetah tertancap di pematang sawah.

“Hari ini tak ada hasil. Biarlah. Toh, tak ada kinjeng biru yang muncul,” gumam Herman.

Herman sampai di kebun belakang rumah. Ia melihat Astuti, adiknya yang kelas IX SMP sedang memegang kinjeng. Herman membelalak senang. Kinjeng biru! Ya, adiknya sedang memegang kinjeng biru.

“Astuti!” seru Herman.

Astuti terlonjak kaget. Kinjeng biru di tangannya terlepas, terbang menjauh.

“Ah, mengapa kamu lepas kinjeng birunya?” kata Herman kecewa.

“Kak Herman mengagetkan Astuti, sih. Jadi lepas deh kinjengnya,” jawab Astuti, juga tampak kecewa karena kinjeng itu lepas dari genggamannya.

Herman berusaha mencari kinjeng biru itu, tapi tak menemukannya.

“Ada apa, Kak? Kak Herman suka kinjeng juga?” tanya Astuti.

“Bukan kakak yang suka, tapi Vema yang suka,” jawab Herman.

“Vema itu siapa, Kak?”

“Teman kakak.”

“Cewek ya, Kak?”

“Ya.”

“Teman atau pacar?” goda Astuti.

“Teman...”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Astuti berlari menuju rumah dan berteriak-teriak.

“Ibu! Kak Herman punya pacar! Kak Herman punya pacar!”

Herman kaget, lalu berlari mengejar Astuti, hendak menjitak adiknya itu.

***

Berhari-hari, tiap pulang sekolah, Herman duduk menunggu di pondok bambu di sawah. Suatu hari, Vema datang diantar Astuti. Astuti senyum-senyum.

“Sudah, ya? Astuti pulang dulu, ada PR,” kata Astuti, mengerling pada Herman. Herman melotot.

“Terima kasih ya, Dik Astuti sudah mengantar Kak Vema,” kata Vema.

“Ya, Kak Vema. Sama-sama.”

Herman dan Vema duduk berdekatan di pondok bambu. Mereka melihat beberapa kinjeng terbang di area persawahan. Vema tampak bahagia melihat pemandangan itu.

“Sulit ya menemukan kinjeng biru?” kata Vema.

“Ya,” sahut Herman. “Tapi aku berharap kinjeng biru itu tidak muncul.”

“Mengapa begitu?” Vema mengernyitkan dahi.

“Agar kamu sering datang ke sini.”

“Ih, maunya,” sahut Vema.

Herman tersenyum, Vema tersenyum. Dan, beberapa kinjeng terbang mendekat, seakan ikut bahagia melihat kebersamaan Herman dan Vema.

***

Suatu hari Herman melonjak gembira ketika melihat seekor kinjeng biru terjebak di lidi bergetah yang tertancap di pematang sawah. Perlahan, Herman melepaskan kinjeng itu dari getah. Sayap kinjeng itu masih bisa mengepak karena tidak terkena getah. Getah hanya mengenai ekornya.

Herman bergegas menyusuri pematang, menuju rumah Vema. Gadis itu berseru gembira melihat kedatangan Herman membawa seekor kinjeng biru. Vema mengajak Herman ke kebun di belakang rumahnya.

“Cantik sekali kinjeng biru ini,” kata Vema, lalu menatap teduh pada Herman. “Terima kasih ya, Herman. Kamu sudah bersusah payah mencarikan kinjeng biru untukku.”

“Sama-sama, Vema. Kamu senang?”

“Ya, aku senang sekali. Selama ini aku hanya melihat kinjeng biru melalui internet. Sekarang aku bisa melihat dan memegangnya. Oh, sekali lagi, terima kasih ya, Herman?”

Vema mengelus-elus kinjeng biru itu, meniup pelan, dan menciumnya. Berkali-kali ia melakukan itu.

“Aku akan melapaskan kinjeng biru ini,” kata Vema.

Herman kaget.

“Melepaskannya?”

“Ya. Aku selalu begitu. Aku hanya ingin membelai, meniup, dan mencium tiap kinjeng yang kutangkap. Itu saja. Setelah itu aku lepas kembali. Biarkan kinjeng ini hidup di alam bebas,” jawab Vema.

“Oh, begitu,” sahut Herman mengerti.

“Kita lepas bersama-sama kinjeng ini, yuk?” kata Vema.

“Maksud kamu?”

“Kamu pegang tanganku, lalu kita lepas kinjeng biru ini.”

Herman gugup.

“Sungguh? Aku pegang tanganmu?” tanya Herman.

Vema mengangguk dan tersenyum.

“Mana tanganmu? Kamu peganglah tanganku,” kata Vema.

Gemetar tangan Herman saat memegang tangan Vema.

“Pada hitungan ketiga, kita lepas kinjeng ini, ya?” kata Vema, lalu mulai menghitung, “satu, dua, tiga...”

Tangan Herman dan tangan Vema bersamaan bergerak melepas kinjeng biru. Kinjeng itu terbang menikmati kebabasannya.

Herman masih memegang tangan Vema, ia tak ingin melepaskannya. Vema pun diam saja, membiarkan tangannya digenggam Herman. Herman tersenyum, Vema tersenyum. Dada Herman berdebar, entah apa Vema juga begitu.

Lama, mereka saling berpegangan tangan. Lama, mereka memandang ke udara, melihat kinjeng biru yang terbang berputar-putar di depan mereka. Lama, ah, Herman ingin selamanya bersama Vema.

***

 

Batang, Jawa Tengah, 3 Desember 2017

 

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya