[CERPEN] Kekasih Diam-diam

Suatu saat nanti kami akan menjadi kekasih dalam terang.

Sebetulnya aku ingin bercerita pada teman-teman, tetapi aku takut nanti jadi viral di media sosial. Ibuku bisa tahu dan marah besar. Kalau itu terjadi, celakalah aku.

Ibuku buka usaha katering di rumah. Ibuku jeli membaca peluang usaha. Di daerah kami ada beberapa kampus. Banyak tempat kos di sekitar rumah kami. Ibu berkeliling dari tempat kos satu ke tempat kos lain. Hasilnya, banyak mahasiswa yang pesan makanan pada ibu. Ada yang pesan makanan tiga kali sehari, dua kali, adapula sekali sehari. Bayarnya sebulan sekali.

Mula-mula, saat pelanggannya masih sedikit, ibu mengantar sendiri makanan ke pelanggan. Lama-lama pelanggannya banyak, ibu merekrut warga sekitar untuk membantu memasak dan mengantar makanan.

Aku pun ikut jadi karyawan ibu. Namun, karena aku masih kelas XII SMA, tugasku ringan, hanya mengantar makanan pada sore saja. Itu pun untuk tiga pelanggan yang memang minta kiriman makanan saat sore saja.

Kebetulan tiga pelangganku itu kos di rumah yang sama, sehingga tugasku makin ringan. Mereka mahasiswa, beda kampus, beda jurusan, beda semester. Dari ketiga pelangganku itu yang tertua bernama Sunuaji, biasa kupanggil Kak Sunu; semester 8 Manajemen, tinggal menyusun skripsi.

Mereka kos di sebuah rumah berkamar tiga, sekitar 500 meter dari rumahku. Pukul 17.00, tiap hari, aku menenteng rantang bersusun tiga ke rumah itu untuk mengantar makan malam.

Sebelum aku berangkat, ibu selalu berpesan, “Kalau sudah kau antar, cepat pulang!”

“Ya, Ibu,” jawabku. Ibu melarang aku bergaul akrab dengan cowok. Ibu melarang aku pacaran. Ih, siapa yang mau pacaran?

Tetapi, Kak Sunu memang menarik, sih. Mungkin ibu takut aku terpikat Kak Sunu kali, ya?

Selalu kulihat Kak Sunu duduk sendiri di teras, bermain gitar, kadang juga membaca buku. Seperti biasa, aku meletakkan rantang di meja teras –ibu melarangku masuk ke rumah pelanggan. Dan, seperti biasa, Kak Sunu tersenyum manis menyambutku dan mengucap, “Terima kasih.”

“Sama-sama,” sahutku menatap Kak Sunu sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke pohon mangga di halaman –ibu melarangku memandang cowok lama-lama.

“Kak Herman dan Kak Donny belum pulang ya, Kak?” tanyaku basa-basi, duduk di kursi seberang.

“Yeee, pertanyaan itu lagi? Kan sudah sering kakak jawab, kalau Kak Herman pulang habis magrib, Kak Donny habis isya,” jawab Kak Sunu.

Aku menyeringai, “Hehe, maaf, lupa, Kak. Mereka sibuk ya, Kak?”

Kak Sunu mengangguk.

“Kak Herman magang jadi wartawan koran, Kak Donny magang di biro arsitek.”

“Kalau Kak Sunu magang apa?”

“Aku?” Kak Sunu berpikir sejenak, lalu tiba-tiba ...”Aku megang tanganmu!”

Aku melonjak kaget, sigap menepis tangan Kak Sunu. Cowok itu malah tertawa. Aku berdiri, menatap tajam Kak Sunu. Cowok itu menghentikan tawa, lalu berdiri pula.

“Maaf, maafkan kakak. Kakak hanya bercanda,” ucap Kak Sunu dengan wajah menyesal.

“Tidak lucu!” aku bergegas pergi. Aku takut ada yang melihat tanganku dipegang cowok, lalu lapor ke ibu. Bila itu terjadi, celakalah aku. Uang saku sebulan bisa amblas.

Menjelang tidur, kuelus-elus tangan kananku yang tadi sore dipegang Kak Sunu. Dadaku berdesir lembut. Aku berusaha memejamkan mata, meski agak susah, tetapi akhirnya aku terlelap. Aku bermimpi bertemu seseorang.

***

Kami sudah akrab lagi. Kemarin sore Kak Sunu sudah minta maaf karena tempo hari sudah jahil pegang tanganku. Sore ini aku datang lagi membawa rantang bersusun tiga.

Di teras, Kak Sunu sedang membaca buku. Ketika melihatku datang, Kak Sunu menutup buku, meletakkannya di meja teras. Kulirik judul buku itu: Cinta Semanis Racun. Hmm, sebuah buku kumpulan cerpen terjemahan. Aku juga punya buku itu.

“Buku bagus itu, Kak,” kataku, meletakkan rantang di meja.

“Ya,” sahut Kak Sunu. “Kak Sunu suka cerpennya Ernest Hemingway.”

“Kalau Bella suka cerpennya Shirley Jackson.”

Kami bicara tentang buku itu, tetapi tidak lama, karena aku ingat pesan ibu: jangan lama-lama di tempat pelanggan! Aku segera pamit.

“Tunggu, Bella.”

“Ya, Kak?”

“Ada salam untuk kamu.”

Aku menyipitkan mata.

“Dari siapa, Kak?”

Kak Sunu diam sejenak, garuk-garuk kepala.

“Dari siapa, Kak?” desakku.

“Dari Kak Sunu,” sahut Kak Sunu menyeringai.

Deg! Dadaku berdesir-desir.

“Ih, Kak Sunu ngomong apa, sih?” aku bergegas pergi dengan tersipu dan menunduk.

***

Aku di halte depan sekolah, menunggu bus kota datang. Ding! Ding! Kuambil ponsel dari dalam tas. WA menampilkan sebuah pesan masuk; dari Kak Sunu.

Boleh kita ketemu?

Ah, desiran lembut meletup lagi di dadaku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ada apa, Kak?

Beberapa detik kemudian.

Penting. Aku tunggu di kafe Biru, dekat Mal Cahaya.

Aku memerlukan waktu beberapa saat sebelum kutulis jawaban: Ya, Kak. Bella otw.

Kami sudah duduk di pojokan di kafe yang dindingnya bercat biru. Ah, mengapa harus di pojok, sih? Bagai sinetron belaka. Tetapi, sudahlah, Kak Sunu sudah telanjur pesan table di pojok.

Aku pesan roti bakar dan orange juice. Menu sederhana pengganjal perut. Tak mungkin kenyang. Kalau aku pesan makanan berat, steak misalnya, aku pasti kenyang, sampai rumah tidak makan siang. Ibu pasti curiga.

Kak Sunu pesan menu yang sama denganku. Tak berapa lama pesanan kami datang. Kami berbincang-bincang ringan; basa-basi. Sampai pada menit ke sekian, Kak Sunu bertanya, “Coba kamu perhatikan semua pengunjung di kafe ini, Bella.”

Meski heran, aku mengedarkan pandangan ke semua penjuru kafe.

“Ada apa, to, Kak?”

“Dari semua pengunjung di kafe ini, adakah yang kamu kenal?”

Aku menggeleng.

“Syukurlah,” Kak Sunu tersenyum lega.

Aku bingung.

“Bella,” Kak Sunu menggenggam tangan kiriku. Aku hendak menepis, tetapi genggam tangan Kak Sunu makin erat.

“Tak ada pengunjung kafe yang kenal kamu, tak ada yang akan lapor ke ibumu. Makanya, aku berani genggam tangan kamu,” Kak Sunu menatapku.

Aku tidak lagi berontak. Kubiarkan Kak Sunu menggenggam tanganku.

“Bella,” ucap Kak Sunu, terdengar bergetar. “Aku suka kamu.”

Deg! Tuing! Tuing! Aku membelalak. Keringat mengalir dari semua pori-pori tubuhku. Jantungku berdetak hebat, aku gelagapan. Bibirku gemetar.

“Bella,” ucap Kak Sunu. Oh, apalagi yang akan Kak Sunu katakan? “Boleh aku jadi pacar kamu?”

Oh, so sweet. Semua persendianku serasa lepas, aku lemas. Lidahku kelu. Aku hanya mampu tersipu dan menunduk. Diam-diam aku menarik napas, mencoba menguasai keadaan. Kuberanikan menatap Kak Sunu.

“Tapi, Kak. Ibu melarang Bella pacaran,” kataku bimbang.

Kak Sunu tersenyum.

“Kita bisa menjadi kekasih diam-diam, sampai suatu saat nanti kita menjadi kekasih dalam terang,” kata Kak Sunu.

Ucapan Kak Sunu menerbitkan harapan di hatiku. Aku tersenyum mendengarnya. Akupun mengangguk.

Kak Sunu mengacungkan jari kelingking kanannya.

Deal?”

Aku mengangguk. Kuacungkan jari kelingking kananku.

Deal,” aku tersenyum lebar.

Jari kelingking kami bertautan di udara, sebagai awal kami menjadi sepasang kekasih diam-diam.

***

Sampai rumah aku segera makan siang, agar ibu tidak curiga. Usai aku makan siang, ibu berdiri berkacak pinggang di depanku. Oh, tidak! Apa ibu tahu peristiwa di kafe Biru?

“Bella! Mana buku resep makanan yang ibu pesan! Sudah kamu beli?”

Ups! Aku menepuk jidat.

“Lupa, Ibu.”

Itulah ceritaku. Sebenarnya aku ingin bercerita pada teman-teman, tetapi aku takut nanti jadi viral di media sosial. Aku hanya bercerita pada kalian yang saat ini sedang buka idntimes.com di laptop atau ponsel ber-OS Android atau iOS. Kalian jangan bilang siapa-siapa, apalagi pada ibuku. Janji, ya?

***

 

Batang, 21 November 2017

 

 

 

 

 

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya