[CERPEN] Kepak Sayap Merpati di Luar Jendela

“Tidak seharusnya kamu bicara tentang merpati putih, Jo!”

 

Mer memaksa pulang lebih awal dari biasanya dan Jo tak bisa menahannya. Bibir Mer manyun sepanjang perjalanan dalam Jazz merah dan di belakang kemudi Jo berkali-kali meminta maaf. Jalanan padat dan suara-suara klakson menyalak dari pengemudi yang tidak sabar, membuat Mer makin sebal. “Ini petaka!” Mer mendengus. “Tidak seharusnya kamu bicara tentang merpati putih, Jo!”

Masih pukul delapan malam dan seharusnya itu menjadi malam Minggu yang indah. Langit penuh bintang dan Mer tepat berusia 17 tahun. Mereka merayakannya dengan makan burung dara goreng di warung tenda dekat alun-alun, seperti malam-malam Minggu sebelumnya. Tetapi, seharusnya itu menjadi malam Minggu yang indah, bila saja Jo mampu menjaga lidahnya.

Malam itu Jo dengan sedikit menyeringai mengatakan ia akan menjelma menjadi merpati putih bila mati kelak. Merpati putih itu akan hinggap di kursi teras tempat biasa Mer duduk menanti Jo datang menjemput.

“Itu tidak lucu, Jo!” kata Mer menahan marah dan menelan daging burung dara goreng seperti menelan batu.

“Menurutku itu romantis,” sahut Jo dengan seringai lepasnya.

“Mungkin romantis,” sergah Mer. “Tetapi bukan di sini, tidak saat ini!”

“Sama saja, kan? Di sini atau di suatu tempat, aku akan tetap mengatakan aku akan menjelma merpati bila aku mati kelak....”

“Cukup, Jo!” Mer membanting daging burung dara goreng ke piring. Dua orang di dekat mereka menoleh dengan tatapan bertanya. Mer meraih tisu dan mengenakan jaket pink, lalu berkata tegas, “Kita pulang!”

Mer berjalan gegas menuju Jazz merah yang terparkir beberapa belas meter dari tenda dan Jo setengah berlari menyusul.

“Tunggu, Mer!” seru Jo menarik tangan Mer. “Oke, aku minta maaf.”

“Terlambat!” bentak Mer dan ia meraih gagang pintu yang terasa berat. “Buka pintunya!”

Jo menekan remote, sehingga Mer bisa membuka pintu mobil dan duduk di kursi depan.

Jalanan padat dan mobil merayap seperti keong.

“Ini petaka!” Mer mendengus. “Tidak seharusnya kamu bicara tentang merpati putih, Jo!”

Untuk ke sekian kali Jo meminta maaf namun perasaan Mer telanjur terluka. Seharusnya Jo tahu perasaan Mer yang lembut dan sensitif. Ya, memang semua orang pernah lengah menjaga lidah, termasuk Jo. Namun, kelengahan Jo terjadi di hari yang tidak semestinya. Malam itu ultah Mer, mengapa Jo bicara tentang kematian?

“Aku sungguh menyesal, Mer. Maafkan aku....”

“Cukup!” Mer menatap tajam. “Kamu jangan bicara lagi. Aku tak percaya lidahmu lagi, saat ini!”

Mereka tak lagi bicara melalui kata-kata, tetapi helaan napas Jo dan dengusan Mer. Mereka menjadi musuh dalam sekejap. Saat sampai di halaman rumah Mer, gadis itu menolak diantar Jo sampai depan pintu rumah.

“Selamat malam!” kata Mer ketus.

Jo berdiri di luar pagar. Ia memandang kursi di teras dan imajinasinya kembali liar. Ia membayangkan dirinya menjelma merpati putih dan hinggap di kursi teras itu.

“Aku akan selalu bersamamu, Mer, sebagai merpati putih,” Jo menggumam sebelum melangkah menuju mobil.

***

Beberapa hari kemudian perasaan Mer telah mencair dan ia menerima permintaan maaf Jo. Namun, untuk beberapa waktu ke depan Mer menolak diajak makan burung dara goreng lagi. Butuh waktu cukup lama bagi Mer untuk melupakan tentang merpati putih. Diam-diam, Mer takut bila hal itu terwujud; Jo menjelma menjadi merpati putih.

Mer tak ingin ada pembicaraan tentang kematian di antara mereka.

Pada malam Minggu ke sekian, Mer menemani Jo ke Jalan Masa Depan. Jalan arteri itu ramai anak muda dan deru mobil. Di sepanjang pinggir jalan itu penuh anak muda.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Doakan aku ya, semoga menang,” kata Jo menatap teduh Mer. Mer mengigit bibir dan dadanya berdebar.

“Janji ya, Jo, ini yang terakhir?”

Jo mengangguk, lalu masuk ke Jazz merah. Di sebelah mobil Jo ada Yaris merah yang siap beradu cepat sepanjang dua kilometer ke ujung jalan sana.

Masih menggigit bibir, Mer bersedekap menahan debar dadanya, berdiri di antara anak-anak muda yang bersorak menyemangati jagoan masing-masing.

Mer mendongak, berdoa. Ia melihat seekor kelelawar melintas di langit malam.

“Gawat. Banyak kelelawar,” seorang anak muda di dekat Mer berkata pada temannya.

Debar di dada Mer makin kencang dan ia menggigit bibirnya makin dalam.

Jazz merah dan Yaris merah menderu-deru. Seorang pemuda berdiri di depan, di antara dua mobil itu, lalu dengan gerakan tangan ia memberi aba-aba.

“Satu, dua, go!”

Dua mobil itu melesat meninggalkan garis start dan semakin menjauh hingga yang tampak hanya sorot lampu semata. Mer memejamkan mata dan saat membuka mata ia melihat segerombol kelelawar di kejauhan terbang rendah, memotong sinar lampu dua mobil yang berpacu itu. Detik berikutnya terdengar suara keras dan sebuah mobil terpelanting.

***

Minggu pagi, tiga bulan telah berlalu, Mer baru saja pulang jogging. Dalam balutan celana training, tubuh Mer tampak semampai. Rambut panjangnya ia ikat ekor kuda. Peluh meleleh di lehernya yang jenjang.

Di teras, Mer melihat Terry, adiknya yang berkaca minus sedang membaca koran pagi. Mer dapat menduga, adiknya sedang membaca cerpen remaja yang hadir tiap Minggu pagi di koran itu.

Mer tertegun. Di kursi dekat Terry duduk, ada seekor merpati putih.

“Merpati siapa itu, Terry?” tanya Mer dengan dada yang berdebar mendadak.

“Nggak tahu, Kak. Dari tadi dia si situ. Terry sudah mengusirnya, tapi dia selalu kembali. Apa perlu Terry usir lagi, Kak?” tanya Terry, lalu menggulung koran, siap untuk memukul burung itu.

“Jangan!” pekik Mer.

Terry kaget mendengar pekikan Mer.

“Sungguh?” tanya Terry. “Kak Merry baik-baik saja, kan? Telinga Terry masih normal, Kak, tak perlu teriak begitu.”

“Maaf,” sahut Mer menyeringai. “Biarkan dia di situ.”

“Kalau nanti buang kotoran gimana, Kak?”

“Kakak yang akan bersihkan.”

“Ya, sudah.”

Mer masuk rumah. Mandi. Setelah itu masuk kamar, membuka lemari pakaian, memilih baju, lalu mematut diri di depan cermin. Suara kepak sayap burung di luar. Mer menoleh dan terkejut. Astaga, Mer lupa menutup jendela.

Mer melihat seekor merpati putih hinggap di dahan pohon mangga, menatap lurus ke dalam kamar. Mer tertegun dan memandang pula merpati itu. Mereka bertatapan sekian lama, seperti sepasang kekasih yang saling merindu.

Detik berikutnya Mer tersenyum, lalu mendekat ke jendela. Mer meraih daun jendela. Sebelum menutup daun jendela, sambil tersenyum manja, Mer menatap merpati itu dan berkata, “Jangan mengintip, Jo sayang.”

***

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya