[CERPEN] Sania dan Sepedanya

Sania menggeram kesal. Siapa yang berani menukar sepedanya?

Kata orang, Sania itu tomboy. Sepedanya BMX, bukan sepeda mini. Dia juga suka nonton sepakbola. Seperti sore ini Sania mengayuh sepedanya dengan kencang ke lapangan.

Di kejauhan tampak Pak Munir memanggul karung berisi rumput. Pak Munir Hendak menyeberang jalan, sementara Sania mengayuh kencang sepedanya.

“Kring, kring!” Sania berteriak.

Pak Munir kaget, karungnya jatuh. Hampir saja mereka bertabrakan, tapi Sania lincah mengendalikan sepedanya.

“Bocah edan!” gerutu Pak Munir.

Gadis 17 tahun itu menoleh dan tertawa.

“Maaf, Pak Munir. Buru-buru, nih,” kata Sania terus menganyuh.

Sesampai di lapangan. Sania  memarkir sepedanya di bawah pohon kersen. Ada beberapa sepeda di sana. Sania bergegas mencari tempat yang lowong di tepi lapangan. Ia melihat Agus melambaikan tangan.

“Sini!” teriak Agus.

Sania duduk bersila di dekat Agus.

“Sudah mulai, ya?” tanya Sania.

“Baru saja. Tuh, Faisal idolamu,” Agus menunjuk ke tengah lapangan.

Sania melihat Faisal sedang menggiring bola, mengecoh beberapa pemain lawan, mengoper ke teman. Faisal terus berlari ke daerah lawan. Bola melambung ke arah Faisal. Pemain jangkung itu menerima bola dengan dadanya, lalu menggiring bola, menusuk jantung pertahanan lawan. Mendekati gawang, Faisal melepaskan tendangan keras.

Gol!

Penonton di sisi timur melonjak dan berseru gembira. Sania dan Agus juga melonjak-lonjak.

“Yes!” seru Sania.

“Faisal menunggumu untuk cetak gol,” kata Agus.

Sania tersenyum. Ah, dia merasa bangga, bila perkataan Agus itu benar.

Pertandingan terus berlangsung. Sampai pertandingan berakhir, hanya ada satu gol. Gol ciptaan Faisal. Penonton mulai membubarkan diri.

“Jangan lupa besok nonton lagi. Faisal akan main lagi,” kata Agus.

Sania mengangguk dan segera menuju ke bawah pohon kersen. Ah, sepedanya masih setia menunggunya di bawah pohon kersen. Tapi mata Sania membelalak seketika. Ia memeriksa kemudi sepedanya. Tak ada rem di kemudinya. Kalau cuma satu rem yang tidak ada, masih lumayan. Ini tak ada satu pun rem!

“Ini bukan sepedaku,” gumam Sania masih mengamati sepeda itu. “Meski model dan warnanya sama, tapi ini bukan sepedaku.”

Sania menggeram kesal. Siapa yang berani menukar sepedanya?

Sania menuntun sepeda itu sampai ke rumah. Ia tidak berani menaiki sepeda itu karena tidak ada remnya. Saat azan maghrib, Sania sampai rumah. Kaosnya basah oleh keringat dan napasnya pun terengah-engah.

“Dari mana saja kamu?” tanya ayah di teras, bersiap menuju masjid.

“Sania mengalami tragedi, Yah.”

“Tragedi apa?”

“Ini. Ada yang menukar sepeda Sania. Lihat ini, Yah, nggak ada remnya. Makanya Sania menuntun sepeda ini dari lapangan sampai sini. Bisa ayah bayangkan tragedi yang Sania alami. Sania.....”

“Cukup. Kamu ini cerewet seperti ibumu.”

“Sania kan anak ibu, Yah? Wajar dong kalau ikutan cerewet.”

“Bukan anak ayah?”

“Hehe...anak ayah juga, dong,” Sania menyeringai.

“Sudah. Masuk sana, mandi, lantas sholat. Besok ayah bawa sepedamu ke bengkel.”

“Beneran nih, Yah? Ayah nggak marah?”

“Marah sama anak cerewet macam kamu? Percuma!” ayah bergegas menuju masjid.

***

Pulang sekolah Sania melihat sepedanya telah terpasang rem di kedua sisi kemudinya. Sania mencoba kedua rem itu. Eh, bagus juga rem itu. Pasti mahal.

“Tadi Pak Suryat mengantarkan sepedamu. Katanya, sepedamu sudah dipasang rem yang bagus,” kata ibu sambil menyiapkan makanan di meja makan.

Ketika Sania masuk kamar, terdengar suara azan asar dari masjid. Sekolah Sania memang jauh. Kalau pulang, Sania harus berganti angkot hingga tiga kali. Sampai rumah pasti sudah asar.

Usai sholat asar, Sania segera menganyuh sepedanya dengan kencang. Di kejauhan tampak Pak Munir memanggul karung berisi rumput.

“Kring! Kring!” teriak Sania.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Pak Munir berhenti di tepi jalan. Membiarkan Sania untuk melintas.

“Salam buat kelinci-kelinci Pak Munir, ya?” Sania melambai.

Pak Munir menggeleng-geleng.

“Bocah edan!” gerutu Pak Munir.

Sampai di lapangan, seperti biasa, Sania melihat Agus melambaikan tangan.

“Sini!” teriak Agus.

Sania bergegas duduk bersila di dekat Agus.

“Baru mulai, ya?”

Agus mengangguk.

“Mana Faisal?”

“Nggak main.”

“Apa? Kemarin kamu bilang Faisal akan main lagi hari ini.”

“Nggak tahu. Sakit perut kali.”

Sania cemberut. Faisal tidak main, pertandingan jadi membosankan di mata Sania. Ia sekadar menonton saja. Tidak bersemangat seperti saat ada Faisal. Sampai pertandingan berakhir, Sania tidak tahu berapa gol yang tercipta. Ada gol atau tidak pun, Sania tidak peduli. Ia hanya ingin pulang. Itu saja.

Sania menuju ke bawah pohon kersen. Matanya kembali membelalak. Sepedanya yang kemarin tertukar, kini kembali. Sania mengelus-elus lalu memeluk sepedanya. Senyum bahagia mengembang di bibir tipisnya. Ia menganyuh sepedanya dengan kencang. Pulang.

Sampai halaman rumah, Sania berteriak-teriak memanggil ayah.

“Ayah, ayah! Ayah, ayah!”

Ayah tergopoh-gopoh keluar rumah. Berdiri di teras.

“Ada apa? Ada apa?”

“Lihat ini, Yah. Sepeda Sania yang kemarin tertukar sudah kembali. Ajaib, kan?”

Ayah turun dari teras dan mengamati sepeda itu.

“Remnya?” ayah menarik-narik kedua tuas rem.

“Masih utuh. Sepeda Sania kan selalu ada remnya, Yah,” Sania tersenyum.

Tiba-tiba ayah tertawa. Terbahak-bahak. Terbatuk-batuk.

“Kok ayah tertawa, sih?”

“Lucu. Lucu,” sahut ayah masih terbahak-bahak.

“Lucu apanya, Yah?”

“Kamu tahu, berapa harga rem dan ongkos pasangnya? Kamu tahu, ayah habis berapa?”

“Memang ayah habis berapa duit?”

“Dua ratus ribu. Hahaha.....”

Sania terhenyak.

“Dua ratus ribu, Yah?”

“Ya. Dua ratus ribu. Beruntung benar orang itu.”

Ayah terus tertawa. Matanya sampai berair. Sementara Sania berdiri terpaku di dekat sepedanya. Sania jadi merasa bersalah sama ayah.

“Ayah....nggak marah?” tanya Sania hati-hati.

“Marah sama anak cerewet macam kamu? Percuma!”

Ayah masuk ke rumah. Suara tawa ayah masih terdengar. Sania masih di halaman. Masih bengong dan menggigit bibir.

*

 

 

 

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya