[CERPEN] Firasat Kematian

Tingkah Dedi pagi itu sungguh tak biasa bagi ayah dan ibu.

Dedi merasa mendapat pertanda akan mati. Semalam kakek datang dalam mimpi, mengajak pergi ke tempat yang belum pernah Dedi bayangkan. Di mana itu? Sebelum terjawab, mimpi terputus oleh suara ketukan pintu kamar.

Pagi. Seperti biasa Dedi mandi, berpakaian putih abu-abu, lalu sarapan. Mungkin ini pagi terakhir baginya.

Sebelum berangkat ke sekolah, Dedi mencium tangan ayah dan ibu. Mungkin ini kali terakhir bagi Dedi bisa mencium tangan mereka. Tingkah Dedi pagi itu sungguh tak biasa bagi ayah dan ibu. Biasanya, Dedi langsung berangkat usai sarapan.

“Dedi pergi dulu, Ayah, Ibu,” kata Dedi.

“Pergi ke mana?” tanya ibu dengan wajah cemas.

Dedi tercenung sesaat.

“Ke sekolah, Ibu....”

Ibu masih belum tenang hati.

“Kamu yakin baik-baik saja, Dedi?” tanya ibu menyelidik.

“Semua baik-baik saja, Ibu. Bahkan sangat baik. Belum pernah Dedi merasa sebaik ini, Ibu.”

“Dedi....”

“Ya, Ibu?”

“Usai sekolah, pulanglah segera, Nak.”

Setelah Dedi pergi, ibu bertanya pada ayah.

“Ayah mencium sesuatu, semacam gelagat begitu, pada diri Dedi?”

“Mungkin Dedi dapat pacar baru. Maklum, dia ganteng seperti ayahnya,” sahut ayah.

Ibu mendengus. Kesal!

***

Di ruang kelas XII IPS 3, Dedi terlihat sangat tenang. Duduk tegak, kedua tangan di meja, mata memandang ke depan kelas, seperti anak baru yang pertama masuk ruang kelas.

Tadi, sebelum masuk ruang kelas, Dedi menjabat tangan teman-teman, seperti ritual menjelang perpisahan. Selain duduk tenang, pagi itu Dedi tidak membuat kegaduhan seperti hari-hari sebelumnya; perang kapur atau menabuh meja. Tak ada kapur berceceran di lantai, tak ada suara berisik. Ini membuat teman-teman merasa kehilangan.

Teman-teman berharap menemukan jawaban dari Nanik.

“Apa kalian putus?”

“Nggak,” sergah Nanik. “Bahkan malam Minggu kemarin Dedi janji nggak akan pindah ke lain hati.”

“Mengapa Dedi pendiam hari ini?”

“Mana aku tahu?” Nanik mengangkat bahu. “Dia hanya bilang padaku akan pergi ke tempat yang belum pernah dia bayangkan.”

“Di mana tempat itu?”

Nanik menggeleng, lalu menjawab: “Who knows? Dia mengunci mulut, seolah itu tempat paling rahasisa dalam hidupnya.”

“Aku yakin pasti karena itu Dedi berubah.”

“Itu apa?” sahut Nanik.

“Dedi akan pergi meninggalkan kita!”

Bubar sekolah Dedi mengejar Nanik yang tampak sengaja menghindar.

“Aku nggak mau pulang bareng kamu!” kata Nanik ketus.

“Mengapa?”

“Kamu membuatku takut!”

Dedi berjalan menuju halte sendirian, tetapi setelah sampai, ia berlalu begitu saja meninggalkan halte. Dedi ingin jalan kaki menuju rumah. Mungkin ini kali terakhir baginya bisa menikmati kotanya dengan berjalan kaki.

Dedi berjalan menyusuri trotoar, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hm, kota yang panas dan padat. Dulu, Dedi sering merasa kesal pada walikota yang tak becus mengatasi kesemerawutan kota. Lalu-lintas kendaraan yang tak tertib, pasar yang kumuh, gelandangan di mana-mana, pohon peneduh di tepi jalan habis dibabat, papan-papan reklame tumbuh seperti jamur. Tetapi kini di mata Dedi semua itu sebagai keindahan yang eksotis.

Dedi istirahat, minum es kelapa muda di pinggir jalan. Di seberang jalan ada tempat penjualan togel; ramai orang di sana. Seumur-umur Dedi belum pernah membeli togel.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dedi merogoh saku celana. Masih ada uang 15 ribu. Bagaimana kalau sebagian uangnya untuk membeli togel? Ah, hari ini otak Dedi memunculkan ide-ide aneh, termasuk ide membeli togel. Dedi bergegas menyeberang jalan.

Dedi menyerahkan uang 10 ribu.

“Nomor berapa?” tanya penjual togel.

“1234”

Pembeli di dekat Dedi tertawa.

“Nomor apa itu? Hahaha.....”

“Nomor togel!” tukas Dedi. Seketika pembeli itu menghentikan tawa.

Dedi merasakan kakinya pegal. Ia menggunakan sisa uangnya untuk naik bus kota. Sampai di rumah, Dedi menerima pelukan ibu.

“Oh, kamu sudah pulang, Nak? Syukurlah. Ibu sungguh mencemaskanmu, Nak,” kata ibu, pakai mencium pipi Dedi segala.

Malamnya, kakek datang lagi dalam mimpi Dedi.

“Kau sudah siap, cucuku?”

“Jangan sekarang, Kek,” sergah Dedi.

“Mengapa?”

“Tadi Dedi beli togel, Kek. Siapa tahu tembus? Lumayan, bisa untuk warisan ayah dan ibu, Kek.”

Kakek diam. Matanya mencorong tajam.

***

Paginya, Dedi menunggu bus kota di halte dekat rumah. Seorang pemuda berseragam putih abu-abu datang, lalu duduk di dekat Dedi.

“Nomor berapa yang keluar hari ini?” tanya Dedi.

“1234.”

“Ah, yang benar?” sahut Dedi.

“Dibilangin nggak percaya!”

Sampai di sekolah Dedi menjelma dirinya kembali. Tawa lepas Dedi menggema di ruang kelas, potongan kapur berserakan di lantai. Teman-teman bersorak gembira. Mereka menemukan kembali Dedi yang sempat hilang kemarin.

“Ayo, Dedi! Kita bikin pusing kepala guru BK!”

Mereka menabuh meja-meja, bertepuk tangan, bernyanyi sesuka hati membentuk simponi yang tak harmoni.

Tak ada yang tahu mengapa Dedi bisa kembali bengal hari itu. Tetapi setidaknya hal itu membuat Nanik kembali ceria.

“Nanti kita pulang bareng lagi, Ded?” tanya Nanik berharap.

“Boleh. Tapi aku mau mampir ke dekat pasar dulu.”

“Mau apa ke sana?” sahut Nanik.

Dedi hanya tersenyum. Meski heran, Nanik mau juga menemani Dedi. Tetapi, Nanik menolak masuk ke tempat penjualan togel. Nanik menunggu  tak jauh dari tempat itu. Nanik gelisah karena hampir setengah jam Dedi belum keluar. Meski begitu, Nanik mencoba untuk mengerti. Menghitung uang 25 juta tentu butuh waktu lama.

Akhirnya, Dedi muncul juga dengan senyum mengembang. Dedi mendekap tas punggungnya. Lalu, sepasang kekasih itu segera pergi. Dedi tampak tenang, sementara Nanik cemas, matanya bersinar resah, seakan bahaya sedang mengintai.

Tanpa sepengetahuan Dedi dan Nanik, seorang pria bertato di lengan kiri sedang membuntuti mereka. Pada satu kesempatan pria itu menubruk Dedi dari belakang. Dedi jatuh tersungkur ke paving trotoar.

“Jambret! Jambret!” teriak Nanik melihat pria itu membawa kabur tas Dedi.

Nanik tersentak ketika melihat baju putih Dedi berlumuran darah. Sebuah pisau lipat menancap di pinggang kanan Dedi.

“Dediiiii....!”

*

 

 

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya