[CERPEN] Anak Penjambret

Hati Belia terluka, ia tidak mau sekolah di kota

 

Sobari dapat merasakan beban mental yang mendera Belia, cucunya. Di sekolah, Belia dirisak teman-temannya. Pulang sekolah, saat sampai rumah, gadis 10 tahun itu menangis dalam pelukan kakek dan nenek, dan bercerita bagaimana teman-teman mengikatnya di tiang bendera menggunakan tali rafia, lalu meludahi dan meneriakinya, “Anak jambret, anak jambret!”

Hati Belia terluka, ia tidak mau sekolah di kota. Belia meminta pindah ke kampung. Meski berat harus berpisah dengan cucu tersayang, Darmin –kakek dari pihak ibu Belia, datang ke sekolah untuk pamit pada para guru. Para guru menangis, tak rela harus melepas murid terbaik mereka.

“Belia anak yang rajin. Maafkan kami, kami gagal melindungi Belia,” kata kepala sekolah –perempuan paruh baya, gemuk, berkacamata—dengan suara bergetar dan berlinang air mata.

**

Belia sudah mendapatkan sekolah baru di kampung. Sobari –kakek dari pihak ayah Belia—telah memasukkan Belia ke sebuah SD Negeri di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, karena Sobari kenal dengan kepala sekolahnya.

Pada hari pertama masuk sekolah, Sobari berpesan pada Belia, “Kalau teman-teman barumu bertanya apa pekerjaan ayahmu, jawab ayahmu buruh pabrik elektronik di Jakarta.”

“Bukankah itu bohong, Kek?” sahut Belia.

“Apa kamu mau menjawab jujur, di mana ayahmu sekarang?”

Belia menggeleng.

“Ini demi kebaikanmu, Lia. Kakek sudah bilang ke Kepala Sekolah, kalau ayahmu buruh pabrik di Jakarta.”

“Ya, Kek.”

Kepada para tetangga, Sobari juga mengabarkan kalau ibu Belia jadi TKW di Hongkong –ini fakta, dan ayah Belia buruh pabrik elektronik di Jakarta–ini fiktif. Faktanya, Supri, ayah Belia menganggur sejak pabrik tekstil tempatnya bekerja bangkrut. Dalam kekalutan, Supri menjambret seorang perempuan di depan Plasa Pekalongan, tertangkap, masuk penjara.

Ningsih, istri Supri, buruh cuci pakaian. Dua bulan setelah Supri masuk penjara, Ningsih berangkat ke Hongkong, jadi TKW.

**

Belia sudah menemukan dirinya kembali. Ceria dan rajin belajar. Ia sering bercerita tentang Bu Hastin, guru kelasnya yang ramah dan sering mendongeng di kelas.

Suatu hari Belia mengatakan kalau sebentar lagi ia ulang tahun.

“Kamu ingin merayakannya?” Tanya Sobari.

“Ya, Kek. Di Pekalongan, Belia selalu merayakannya.”

“Baiklah. Kita juga akan merayakannya.”

“Bu Hastin diundang juga ya, Kek?”

Sobari mengangguk dan tersenyum. Ia juga ingin mengenal Bu Hastin.

Pada hari yang telah direncanakan, teman-teman datang ke rumah Belia, bakda asar. Seorang perempuan muda berambut panjang datang bersama mereka. Kepada Sobari, Belia mengenalkan perempuan itu sebagai Bu Hastin.

“Saya Sobari, kakek Belia, dan ini Nafsiah istri saya, nenek Belia,” Sobari menjabat tangan Bu Hastin. Sobari tertegun. “Maaf, bila saya lancang bertanya. Kenapa dengan tangan Bu Hastin?”

Bu Hastin melirik punggung tangan kanannya. “Ini bekas luka saat saya dijambret, Kek.”

“Dijambret?” Sobari terkejut, dadanya berdegup. “Kapan, Bu? Di mana?”

“Beberapa bulan yang lalu, Kek. Di Pekalangon. Waktu itu saya berbelanja buku di Plasa Pekalongan. Waktu keluar hendak menuju tempat parkir, seorang lelaki menjambret tas saya. Saya melawan, tangan saya tersayat pisau penjambret.”

“Oh,” seru Sobari. Dadanya berdegup kian kencang. “Apa penjambretnya tertangkap, Bu?”

“Tertangkap, Kek. Kabarnya, ia sudah masuk penjara.”

“Oh,” seru Sobari lagi. Kali ini tubuhnya gemetar.

“Kenapa, Kek?” tanya Bu Hastin.

“Ah, tidak,” sahut Sobari mencoba menenangkan diri dan tersenyum. “Saya membayangkan bila itu terjadi pada saya. Saya pernah mendengar peristiwa itu, saya tidak tahu kalau korbannya Bu Hastin.”

**

Libur semester. Belia minta berwisata.

“Kita jemput ayahmu,” kata Sobari.

“Ayah sudah bebas, Kek?” sahut Belia.

Sobari mengangguk. “Besok kita jemput ayahmu.”

“Asyik!” Belia melonjak. “Lia sudah kangen ayah.”

**

Belia meminta mereka merayakan kebebasan ayahnya dengan makan-makan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Lia mau makan sate kambing,” kata Belia. “Ayah mau makan apa?”

Supri berpikir sejenak, lalu menjawab, “Gulai kambing.”

“Kalau kakek?” tanya Belia.

“Ayam goreng saja.”

“Kalau nenek?”

“Ayam goreng juga.”

Mereka menuju sebuah warung makan. Banyak kursi kosong di sana. Seorang perempuan muda datang mendekat.

“Selamat siang. Mau pesan apa?”

Mereka menoleh, memandang ke arah yang sama. Mereka terkejut.

“Bu Hastin?” seru Belia.

“Belia? Kek Sobari? Nek Nafsiah?” sahut Bu Hastin, dan seketika tangannya yang memegang kertas dan pulpen gemetar ketika melihat Supri. Begitu pula Supri, terkesiap melihat Bu Hastin.

“Ini ayah saya, Bu Hastin,” kata Belia.

Bu Hastin menoleh, menatap Belia.

“Ayahmu?” ucap Bu Hastin dengan suara lirih dan bergetar.

“Ya, Bu Hastin. Ini ayah saya. Ayah baru saja bebas dari....”

“Saya pesan ayam goreng,” Sobari cepat menukas.

“Saya ayam goreng juga,” Nafsiah menyambung.

Sobari melirik Belia dan melalui isyarat mata meminta cucunya itu untuk diam. Belia mengangguk pelan, kemudian menunduk. Sobari tersenyum memandang Bu Hastin.

“Bu Hastin kerja di sini?” tanya Sobari.

Bu Hastin tersenyum pula dan tangannya masih gemetar.

“Eh, ya, Kek. Ini warung ayah saya. Kalau libur, saya biasa bantu-bantu di sini,” jawab Bu Hastin.

Mereka yang dewasa sudah mengerti keadaan. Mereka tak ingin melukai hati Belia. Mereka tersenyum untuk mencairkan suasana. Getar di tangan Bu Hastin pun sudah reda.

“Maaf, mohon diulang. Pesan apa saja tadi?” tanya Bu Hastin.

“Begini saja,” sahut Sobari. “Kita semua pesan sate kambing!”

**

Sobari dan Supri duduk di teras menunggu kepulangan Belia. Ini hari pertama Belia masuk sekolah di semester baru. Sobari dan Supri duduk gelisah. Ketika Belia datang, Sobari gegas bertanya, “Bagaimana sekolahmu hari ini? Apa Bu Hastin berkata sesuatu padamu?”

“Sesuatu apa, Kek?”

“Sesuatu. Tentang ayahmu, misalnya?”

Belia menggeleng.

“Sungguh? Bu Hastin tidak bicara tentang ayahmu?”

Belia menggeleng lebih keras.

“Ada apa to, Kek?”

Sobari bernapas lega, tersenyum, lalu menjawab, “Tidak apa-apa. Kakek hanya bertanya. Sudah, kamu ganti baju lalu makan. Nenek sudah menggoreng lele.”

“Asyik!” Belia bergegas masuk rumah.

Sobari menepuk bahu Supri.

“Kamu harus temui Bu Hastin. Minta maaf padanya,” kata Sobari.

“Ya, Ayah.”

Sobari dan Supri tersenyum lega. Mereka masuk rumah, menyusul ke ruang makan, bergabung dengan Belia dan nenek. Aroma lele goreng menggoda mereka.

***

 

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya