[CERPEN] Tali Pocong

Ada kain putih di dahan pohon mangga

 

Hari ini Haji Sanip memutuskan tidak tidur siang. Lelaki tua bertubuh kurus dan jangkung itu bersembunyi di balik tumpukan kayu bakar di belakang rumahnya. Tangannya menggengam batu sebesar bola tenis. Sepasang matanya tiada berkedip mengawasi gerakan di bawah pohon mangga, yang berjarak sekitar dua puluh langkah dari tempatnya bersembunyi.

Di bawah pohon mangga, tampak Sarjiman, remaja usia tanggung, berdiri dengan kepala mendongak, bibirnya bergerak-gerak seperti berbicara pada seseorang.

Dari persembunyiannya, Haji Sanip bersiap menyerang. Dalam satu helaan napas, dengan sekuat tenaga Haji Sanip melontarkan batu itu ke arah Sarjiman.

Buk! Batu mengenai paha Sarjiman. Remaja bercelana pendek itu melonjak terkejut, mengaduh, memegangi pahanya. Dengan langkah pincang, Sarjman berlari menjauh.

Dari pohon mangga, berlompatan turun dua remaja tanggung lainnya, lalu berlari menyusul Sarjiman. Beberapa mangga menggelinding di tanah.

“Hei, jangan lari kalian. Berhenti!” Haji Sanip berteriak. Tetapi tiga remaja itu berlari bagai anak kijang.

“Sial!” Haji Sanip mengumpat.

***

Pukul tujuh pagi, keesokan hari, datang Dalimin meminta Haji Sanip untuk menyembelihkan ayam jago. Di bawah pohon mangga, dengan dibantu Dalimin, Haji Sanip menyembelih ayam jago itu. Si jago menggelepar-gelepar.

“Ada acara apa, to?” tanya Haji Sanip sembari membasuh pisau.

“Nanti malam ada pertemuan RT di rumah saya, Pak Haji, sekalian syukuran Sarjiman diterima di SMK negeri.”

“Sudah besar rupanya anakmu, Dal.”

“Ya, Pak Haji. Ndak terasa. Perasaan baru kemarin saya gendong-gendong dia, eh, sekarang sudah mau masuk SMK.”

Sambil menunggu jago itu menuntaskan ajalnya, Dalimin memandang pohon mangga di dekatnya.

“Boleh saya minta mangganya, Pak? Satu saja. Tiba-tiba kok saya ingin makan rujak.”

“Silakan. Saya senang bila orang terus terang meminta, daripada mencuri.”

“Mencuri mangga di kebun Pak Haji? Apa ada?” tanya Dalimin.

“Ada, anak-anak. Mereka suka mencuri di siang hari.”

“Siapa, Pak? Anak-anak mana? Apa Sarjiman juga ikut mencuri, Pak?”

Haji Sanip tertegun.

“Mereka....ah, mungkin anak-anak kampung sebelah,” kata Haji Sanip.

“Kalau Sarjiman ikut mencuri, bilang ke saya, Pak Haji. Biar saya arak dia keliling kampung!”

“Berani kamu lakukan itu? Mengarak anakmu?”

“Kalau potong tangan, saya tak tega. Kalau mengarak Sarjiman keliling kampung, saya berani, Pak Haji.”

Haji Sanip menatap Dalimin, seakan memastikan kesungguhan ucapan tetangganya itu.

“Sudah selesai,” Haji Sanip mengalihkan pembicaraan. Jago telah diam tergeletak di tanah. Dalimin segera membawa pulang jagonya, dan juga sebutir mangga muda, setelah sebelumnya mengucapkan, “Terimakasih”. Semula Dalimin hendak memberi amplop, tetapi Haji Sanip menolaknya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Haji Sanip membenahi peralatan. Membasuh pisau yang berlumuran darah, membuang sisa air di ember ke tanah.

“Bune, tolong bawakan kain lap!” teriak Haji Sanip.

“Untuk apa?” isterinya menyahut dari dalam rumah.

“Mengeringkan pisau!”

Isterinya muncul membawa secarik kain.

“Kain apa ini, Bu, seperti kafan?”

“Minggu lalu Bu Rahayu menjahitkan baju seragam anaknya. Ini sisa kainnya,” jawab isterinya.

Haji Sanip menggunakan secarik kain putih itu untuk mengelap dan mengeringkan pisau. Setelah itu ia meletakkan kain putih yang agak basah itu ke dahan pohon mangga.

Haji Sanip berdiri memandang pohon mangga kesayangannya, yang tahun ini berbuah lebat. Haji Sanip tersenyum dan mengangguk-angguk, seperti orang yang mendapatkan gagasan jitu.

***

Haji Sanip sudah membeli benang nilon di warung tetangga. Dengan benang nilon itu, ia membuat simpul, lalu meletakkannya di bawah pohon mangga, di tempat biasanya Sarjiman berdiri. Haji Sanip membuat simpul berbentuk lingkaran yang sekiranya cukup untuk menjerat kaki.

Simpul itu ia tutupi dengan tanah kering dan daun-daun mangga kering pula. Setelah itu ia menarik sisa benang nilon sampai ke gubuk kayu bakar, tempat ia bersembunyi. Gubuk itu tanpa dinding, tetapi tumpukan kayu bakar begitu tinggi menyerupai dinding, sehingga cocok untuk tempat bersembunyi.

Nanti, bila Sarjiman kena jerat, Haji Sanip akan menyerahkan anak itu pada Dalimin. Biar Dalimin yang akan mengarak Sarjiman keliling kampung. Rencana yang cerdik.

Saat yang ditunggu pun tiba. Haji Sanip melihat Sarjiman dan dua temannya berjalan menuju pohon mangga. Sarjiman melangkah pincang, tentu paha kanannya masih sakit terkena lemparan batu Haji Sanip kemarin siang.

Sarjiman dan dua temannya menengok ke berbagai arah, lalu makin mendekat ke pohon mangga.

Haji Sanip mempererat tangannya yang menggenggam ujung benang nilon. Mata Haji Sanip tertuju pada simpul yang ia tutupi tanah kering dan dedaunan kering. Ia bersiap menarik benang, karena Sarjiman hampir sampai ke tengah simpul.

Satu, dua,....

“Tali pocong! Tali pocong!”

Sarjiman menjerit-jerit lalu berlari menjauh dari pohon mangga, begitu pula dua temannya berlari menyusul. Haji Sanip muncul dari persembunyiannya, bergegas menuju pohon mangga.

Haji Sanip memeriksa dan ia melihat secarik kain putih lusuh di dahan pohon mangga. Itu kain yang ia pakai untuk mengeringkan pisau, usai menyembelih ayam milik Dalimin, pagi tadi.

“Ada apa, Pak?” isterinya muncul dari pintu belakang.

Haji Sanip diam. Ia meraih kain putih itu dari dahan, lalu membuangnya ke lubang sampah dekat pohon mangga.

“Zaman sudah akhir. Orang lebih takut pada klenik, takut pada kain lusuh, bukan takut pada Tuhan!” ucap Haji Sanip dengan mata menyala.

“Pak, ada apa, Pak?”

Haji Sanip tak menghiraukan pertanyaan isterinya. Haji Sanip bergegas masuk rumah, menuju kamar, menutup pintu.

Haji Sanip mengunci pintu kamar dari dalam. Haji Sanip duduk di tepi ranjang. Ia menundukkan kepala dan kedua telapak tangan tertangkup menutupi wajahnya. Bahu Haji Sanip berguncang. Haji Sanip menangis. Tangisnya terdengar hingga ke luar kamar.

***SELESAI**

 

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya