[CERPEN] Hiruk Pikuk di Lantai Tiga

Setiap orang yang datang ke kota ini membawa mimpinya masing-masing. Ada yang mereka relakan.

 

 

Setiap orang yang datang ke kota ini membawa mimpinya masing-masing. Ada yang mereka relakan untuk dapat menyesap udara di kota yang dipenuhi gedung-gedung tinggi menjulang ini. Meninggalkan kenyamanan di kota asal terpaksa mereka lakukan. Dengan satu tujuan, mengubah hidup yang mereka anggap tidak mengalami perkembangan. Kesulitan yang selama ini menjerat mereka merupakan motivasi utama di antara motivasi lain yang menyertai di balik kepindahan mereka di kota yang sudah disesaki para pemburu mimpi.

Gambaran peliknya kehidupan di kota ini secara jelas terpampang di rumah kos milik Ibu Yeni. Rumah kos yang berada di gang sempit ini menjadi incaran para pekerja yang merantau dari kota asal. Meski letaknya menyempil, kos tersebut mudah dijangkau hanya dengan jalan kaki dari dua kantor media besar ibu kota. Yang satu, kantor televisi ternama kepunyaan konglomerat televisi sekaligus pendiri partai. Kantor lainnya yang mengapit kos ini adalah media cetak yang rutin menghasilkan karya jurnalisme yang mendidik. Wajar saja jika enam kamar yang disediakan Ibu Yeni tak pernah kosong dari para penyewa. Selalu terisi dan menjadi rebutan.

Pada awal tahun ini, kos Ibu Yeni dihuni enam wanita dari latar belakang yang berbeda. Ningsih menempati kamar nomor satu. Dia berasal dari sebuah kota di jalur pantura Jawa Tengah. Alasannya pindah ke ibu kota adalah ingin mewujudkan cita-citanya semasa kecil, menekuni dunia kepenulisan dengan mengisi rubrik di majalah anak-anak.

Di kamar dua, terdapat Parti yang bekerja menjadi penonton bayaran dari satu acara ke acara lain, dari stasiun televisi ke stasiun televisi lainnya. Ia mengaku bisa mengantongi uang sebesar lima ratus ribu rupiah setiap harinya. Sayangnya, uang tersebut habis tak tersisa. Ia gemar menghambur-hamburkan uangnya untuk membeli rokok dan minuman keras. Dalih yang dipakai, rokok dan minuman keras adalah obat mujarab baginya yang ingin menghilangkan ingatan tentang kepedihan masa lalu semasa keperawanannya dirampas preman kampung.

Sedangkan kamar nomor tiga ditinggali Endang, gadis Sunda yang kabur dari keluarganya. Dia lari dari kampung halamannya di Jawa Barat lantaran ia menjadi tumbal keluarganya. Keluarganya dituntut melunasi hutang yang menggunung. Karena keluarganya tak mampu membayar, uang pelunasan ditukar dengan kesanggupannya menikah dengan Deden, bos peternakan kaya raya yang telah mempunya tiga istri.

Penghuni keempat kamar kos ini adalah Umi, perempuan muslimah yang baru diterima sebagai pengisi suara acara religi di televisi yang kantornya tak jauh dari kos Ibu Yeni. Jilbab yang membungkus mahkota di kepalanya ia julurkan hingga menutupi dada. Mengenakan celana sebisa mungkin ia hindari. Tutur katanya santun dan selalu diawali bacaan basmallah.

Juwita, gadis bertubuh mungil dengan lesung pipi mendiami kamar nomor lima. Masih menyandang status mahasiswa di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta membuatnya menjadi penghuni kos termuda. Keberadaannya di ibu kota bertujuan untuk mempraktikkan langsung ilmu yang diperoleh selama di kampus lewat magang di majalah petualangan yang berjarak hanya 100 meter dari kos Ibu Yeni.

Kamar nomor enam di lorong pojok diinapi Yveline, gadis asal pulau seberang, Maluku. Berkat prestasinya sebagai juara satu lomba presenter di salah satu televisi nasional, ia diterima tanpa tes untuk menjadi reporter di kantor media yang hanya membutuhkan waktu lima menit berjalan kaki dari kos Ibu Yeni. Perangainya yang ceria dengan suara khasnya menambah semarak kos ini.

Jejeritan tak akan terhindarkan setiap pagi di kos ini. Penyebabnya satu, saling beradu cepat menggunakan kamar mandi. Sudah ratusan kali Ibu Yeni mewanti-wanti agar masing-masing individu bertanggung jawab untuk bangun pagi. Ini disarankan untuk mengantisipasi penyerobotan kamar mandi. Namun, nasihat itu menguap begitu saja. Berlalu tak berbekas di kuping masing-masing penghuni.

“Yvline, lo mandi lama sekali? Ga usah luluran woi. Udah siang ini. Gue keburu harus ke acara di Kebon Sirih,” teriak Parti.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Yveline yang tengah melamun di kamar mandi tersentak kaget. Gayung yang ia pegang terlepas. Hanya ludah yang bisa ia telan mendengar perlakuan dari Parti. Parti menjadi sosok yang ditakuti di kos ini. Tingkahnya berlagak sok senior yang kecantikan.

Umi yang kebetulan mendengar keributan di kamar mandi tersebut spontan mengelus dada sembari berucap kalimat astagfirullahaladzhim. Sudah puluhan kali dia berusaha melerai apabila ada penghuni kos yang bersinggungan dengan Parti. Lagi-lagi, dirinya kalah dan justru tersungkur karena didorong Parti.

Sedangkan Juwita sebagai gadis yang masih dilabeli bau kencur oleh Parti memilih cuek dan tetap asyik dengan musik yang ia dengarkan lewat headset yang tersambung di handphonenya. Begitu pula Ningsih yang mengabaikan pertengkaran yang sudah wajar terjadi di pagi hari dan lebih sibuk berkutat dengan deadline tulisan yang mengejarnya. Kebetulan, Endang belum pulang hari itu. Sudah seminggu dia berdamai dengan keadaan dan memberanikan diri pulang ke kampung halaman.

Terkadang, Yveline mengadukan Parti kepada Ibu Yeni. Menurutnya, penindasan seperti itu tak bisa dibiarkan berlarut. Jika para penghuni kos lain tak ada yang melawan, itu malah semakin membuat Parti senang dan merasa semakin berkuasa.

“Ibu, saya sebal dengan ulah Parti. Padahal uang yang kita bayarkan kan sama. Mengapa si Parti selalu bertindak seolah-olah dia yang paling berhak dan harus didahulukan atas fasilitas yang ada di kos ini?” beber Yveline kepada Ibu Yeni.

Ibu Yeni sudah sering menerima aduan macam itu dari para penghuni kos. Satu dua kali Ibu Yeni masih memaklumi tabiat Parti. Namun, lama-kelamaan Ibu Yeni berpikir untuk segera menyelesaikan masalah itu. Bila tidak, usaha kos yang dia kelola akan kosong ditinggal pergi para penyewa. Tak hanya itu saja, mereka yang mencari kos akan mengurungkan niatnya. Pembatalan itu bisa dipastikan karena ketidaknyamanan yang timbul dari tingkah Parti yang telah menyebar di kampung itu.

“Parti,” panggil Ibu Yeni sambil menaiki tangga.

“Jangan mentang-mentang kamu lebih dahulu menetap di sini, kamu bisa seenaknya saja berulah. Sikap dan perilakumu harus dijaga,” ujar Ibu Yeni tak bisa menahan kemarahan.

Pintu kamar Parti terus diketuk. Tak ada jawaban dari dalam. Ibu Yeni semakin marah. Dia dorong pintu itu dengan siku. Semburat pitam tak lagi bersembunyi di wajah ramahnya. Dibantu Yveline, Ibu Yeni mendobrak pintu kamar Parti. Apa yang mereka dapati? Parti terkulai lemas dengan posisi telentang. Busa terus keluar dari mulutnya. Ibu Yeni dan Yveline ternganga. Mereka tak menduga frustasi yang selama ini mendera Parti diakhiri secepat ini. Ibu Yeni syok. Pengawasan ketat yang dia terapkan di kos terasa percuma di lantai tiga ini.

 

 

 

Shela Kusumaningtyas Photo Writer Shela Kusumaningtyas

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya