[CERPEN] Menunggu Senja di Tengah Malam

Sebenarnya aku tidak ingin menunggu dia

Menunggu dia yang pernah menjadi salah satu orang yang namanya ada di alam khayalku ibarat menunggu senja di tengah malam. Sebenarnya aku tidak ingin menunggu dia. Tetapi entah mengapa namanya itu masih menggatung di pikiran. Ya, menggantung. Seperti dia yang membuatku merasa digantungkan. Jujur, aku masih penasaran, apakah semua kebaikan yang pernah dia lakukan waktu itu apa karena memang dia menganggapku sebagai adik kelas seperti biasa atau dia menganggapku lebih dari itu.

Hampir setahun dia menimba ilmu di kota pelajar menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi favorit dan ternama. Semejak kelas tiga dia begitu kukuh mempertahankan pilihannya untuk kuliah di perguruan tinggi itu. Meskipun, terlihat sulit. Tak banyak alumni yang bisa tembus menjadi mahasiswa disana. Tetapi, siapa sangka, dia yang berasal dari keluarga biasa bisa membuktikannya. Dia bisa lolos di jalur ujian masuk yang terakhir. Meskipun dia menjadi bagian dari keluarga besar perguruan tinggi ternama itu, dia tetap rendah hati. Sifat itulah yang membuat banyak orang kagum padanya, termasuk diriku.

Dia menjadi salah satu motivasiku saat ini. Motivasi untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri yang favorit. Tetapi sepertinya aku berbeda. Aku lebih tertarik untuk menimba ilmu di politeknik yang pada pembelajarannya lebih banyak praktiknya. Aku selalu bertanya pada diri sendiri, “Kalau dia bisa, kenapa aku tidak?”

Akan tetapi sekarang seolah dia menghilang. Padahal waktu ini aku ingin sharing dengannya. Dia begitu sulit dihubungi. Mungkin ini teguran dari Allah supaya aku tidak terbelenggu dengan perasaanku sendiri. Supaya juga tidak seperti orang yang menunggu senja di tengah malam. Menunggu dia yang belum tentu nantinya akan menjadi imamku kelak. Ya, aku harus bisa membuang segala imajinasiku tentangnya. Aku harus fokus pada cita-citaku dulu. Aku harus bisa membahagiakan orang tua. Aku harus bisa kuliah. Seperti dia yang bisa masuk dan menimba ilmu di tempat yang berkualitas itu. Aku harus belajar, berusaha, dan berdo’a.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Namanya juga hidup di dunia. Penuh kejutan yang datang dari arah mana saja. Dia, yang ku kira menghilang kini hadir kembali. Saat membuka kelambu hijau kelasku tercinta, tak sengaja aku melihat hitam manis wajahnya bertumbukan dengan sinar matahari. Badan tegap dan langkah lincahnya menuju ke ruang serbaguna bersama kawan-kawan satu angkatan. Di belakang rombongan itu terlihat para alumni yang usianya beberapa tahun lebih tua. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ekspo campus. Ya, acara sejenis pengenalan kampus itu selalu diadakan tiap tahun oleh para alumni di SMA ku. Itulah salah satu keistimawaan SMA ku dibanding SMA yang lain. Ikatan alumni yang kuat lebih memudahkan adik kelasnya untuk mengenal berbagai macam perguruan tinggi.

Penampilannya tidak jauh berubah. Rambutnya masih pendek rapih sesuai dengan tata tertib penampilan siswa SMA. Berbeda dengan kawan-kawannya yang banyak berubah penampilannya. Dia masih terlihat sederhana. Kesederhanaan yang membuatnya terlihat cemerlang dimataku. Rasa kagum itu bersemi kembali. Entah mengapa wajahnya yang sekilas tadi kulihat membangkitkan memori dan segala kenangan bersamanya di masa lalu? Padahal, apa hubunganku dengannya? Hanya sebatas hubungan seperti kakak dan adik kelas. Bagaimana jika dia hanya menganggapku biasa saja? Rasa dan fikiran jadi campur aduk begini. Aku harus bagaimana?

 

 

Ayudya Larasati Septianita Photo Writer Ayudya Larasati Septianita

short story writer

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya