[CERPEN] Secangkir Teh Manis Pada Obrolan Pagi

“Semoga penderitaan ini cepat berakhir ya, Pak."

 

“Aduh, Pak.” Seorang istri mengaduh saat baru saja meletakkan gelas berisi teh manis di depan suaminya.

“Aduh kenapa, Bu?” sang suami meneguk teh manis yang asapnya masih mengebul itu dengan penuh nikmat.

“Sebentar lagi kita sudah harus bayar listrik, minggu depannya harus bayar cicilan motor. Kita cari uang kemana lagi, ya?” istrinya duduk dengan gusar sambil meniup kepulan asap di atas cangkir tehnya.

Detik berikutnya suami itu tertegun. Menatap kosong ke halaman depan rumahnya. Ia sudah tidak berada pada masa produktif, tidak memiliki penghasilan yang cukup dan selalu tidak pasti setiap bulan, membuat dia juga istrinya selalu memikirkan hari esok sejak pagi hari seperti sekarang.

Usaha kecil-kecilan berjualan sembako diperkampungan pinggir kota tidaklah selalu berjalan semulus tembok rumahnya. Ia memperhatikan tembok rumahnya, menggerakan bola matanya menatap cat putih yang sudah pudar di sana-sini kemudian menghentikan pandangan pada wajah cantik istrinya yang mulai mengalami penuaan.

Sebenarnya, istrinya sangat cantik. Kalau saja tidak berada dalam kondisi miskin bersama dirinya seperti sekarang ini. Istrinya selalu sabar menghadapi keadaan ekonomi yang selalu tak menentu. Tidak pernah menuntut untuk melakukan ini dan itu, tidak pernah cemberut melihat stok pakaiannya hanyalah daster batik yang sebagian warnanya pudar, sebagian lagi robek pada beberapa bagian. Istrinya pun tak pernah bersolek ramai. Cukup bedak tabur juga lipstik merah—yang panjangnya sudah tidak lebih dari satu buku jari—sebagai riasan yang dipakai seperlunya saja. Seharusnya aku bisa melakukan sesuatu untukmu, Bu.

“Pak,” istrinya memukul paha suami pelan. “Ngapain liatin ibu kayak gitu?” ia tersipu.

 “Oh, nggak. Nggak ngapa-ngapain kok.” Suami menggaruk pipinya salah tingkah. Sejak dulu, sisi romantis sangat sulit tumbuh dalam dirinya. Hanya sekedar untuk memuji istrinya cantik pun bisa dihitung dengan jari sejak hari pernikahan.

“Gimana, Pak?” istrinya bertanya lagi.

Suami tahu kalau istrinya bukan mengeluh atau menuntut, perempuan yang ia nikahi lebih dari dua puluh tujuh tahun itu hanyalah cemas. Ya, mungkin hampir separuh umur pernikahannya digunakan untuk merasa cemas sejak sang suami pensiun dini karena urusan birokrasi perusahaan. Dahulu mereka hidup berkecukupan, memikirkan makan atau liburan dalam jangka waktu panjang. sekarang ini, mereka hanya bisa memikirkan makan untuk hari esok, tidak berpikir untuk lusa, seminggu lagi bahkan bulan depan. Boro-boro untuk liburan, tidak ada dibayangan!

“Yah, mungkin kita harus meminjam lagi, Bu?” suami bertanya ragu—yang lebih terdengar putus asa—pada istri.

Istri terdiam, menunduk dan mengembuskan napasnya yang terasa berat. “Lagi, Pak?”

“Warung sangat sepi belakangan ini. Mungkin nasib mereka tidak jauh dengan kita, Bu… Sama-sama panceklik berkepanjangan.” Suami meneguk tehnya lagi dan menarik napas dalam.

Ia agak bersyukur. Dalam keadaan finansial yang sangat sulit ini, Tuhan mengizinkannya juga keluarganya dalam keadaan sehat wal afiat. Maksudnya, tidak memiliki penyakir kronis yang harus menjadikan rumah sakit sebagai tempat tinggal. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau nasibnya sama dengan teman sejawat sewaktu kerja dahulu.

Beberapa kabar yang sampai ke telinga, teman-teman kerjanya dulu terpaksa berhenti karena kesehatan yang semakin memburuk. Kanker, jantung koroner, asma hingga alzheimer juga yang lainnya membuat suami sangat bersyukur. Ia dapat melihat keadilan Tuhan Yang Maha Esa dalam kondisi ini. Penyakit semacam itu menjadi wajar jika singgah dalam kehidupan orang yang berkecukupan.

Memang tidak semua orang kaya akan terkena penyakit populer itu, tetapi kalau pun mereka memilikinya, mereka bisa berobat. Ada harta yang dapat digunakannya untuk sembuh. Kalau miskin seperti dirinya, jangan pernah berpikir macam-macam. Kalau sedang miskin jangan sampai sakit, pasti akan merepotkan!

“Siapa lagi yang mau minjemin kita duit, Pak?” istri bertanya bingung. Menatap halaman depan rumahnya dengan kosong. Memang yang ada hanyalah tanah kosong.

“Nanti Bapak coba ke Mas Kin, ya,” suami mengusap lengan istrinya lembut. Mencoba meringankan beban yang seharusnya berada pada pundaknya sebagai kepala keluarga. Mas Kin adalah kakaknya. Sudah menjadi langganan baginya untuk meminjam pada kakaknya yang PNS itu. Walaupun kenyang dengan kata-kata umpatan ketika datang ke rumahnya saat meminjam uang, namun Mas Kin pasti memberikannya. Hati seorang yang sedang miskin harus lebih tebal dari kupingnya!

Suami kembali dalam lamunan. Ia berpikir tentang masa depan. Kalau saja waktunya telah selesai di dunia ini, apa yang bisa ditinggalkan untuk istri dan ketiga anaknya? Tidak ada yang tahu kapan limit akhir dari tarikan napas yang Tuhan berikan secara gratis ini. Suami mengembuskan napas. Sepertinya tekanan darahnya naik. Kalau terlalu banyak berpikir, kepalanya akan terasa sangat pusing. Kedua matanya juga akan menjadi sangat merah. Istrinya pasti akan kesal karena suaminya tidak menjaga kesehatan. Istrinya sangat sayang dengannya, lelaki yang telah menikahinya lebih dari seperempat abad itu. Alasan yang sangat manis karena membuat suami merasa masih dicintai dengan daya yang tak terlihat adanya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Mereka memiliki tiga orang anak. Anak-anak yang berada pada usia produktif namun kenyataannya diluar harapan. Semua anaknya belum bersikap mandiri. Mungkin karena terlalu disayang sejak usia dini. Anak pertamanya, seorang perempuan, lulusan pendidikan dari universitas negeri di kota seberang. Pada awal kelulusannya ia memiliki pekerjaan yang cukup baik untuk ukuran sarjana kemarin sore, namun tidak bertahan lama ia mengundurkan diri.

Anak perempuannya itu bergonta-ganti pekerjaan hingga akhirnya suami dan istri memintanya berhenti bekerja. Bagaimana tidak, pasangan itu melihat anak perempuan semata wayangnya nyaris tergantung di pohon rambutan belakang rumah. Dia depresi karena tekanan pekerjaan. Sekarang ini anak perempuannya terlihat sedikit lebih tenang berada di rumah dengan melakukan kegiatan yang ia sukai. Cibiran dari tetangga perkampungan pinggir kota cukup membuat kuping panas, tetapi suami dan istri mengabaikannya. Karena anak mereka lebih berharga daripada cibiran receh tanpa faedah itu. Mereka membiarkan anaknya belajar menemukan hasrat kehidupan dalam dirinya.

Dua anak lainnya adalah laki-laki. Seorang yang lebih tua—si anak tengah—baru mendapatkan pekerjaan sebagai kurir setelah lama menganggur sejak kelulusannya sebagai sarjana muda dan menjadi pengemudi ojek daring. Gaji seorang kurir tidaklah besar tapi bisa dikatakan cukup. Namun keinginannya untuk menikah membuat anak tengah ini sedikit kewalahan membagi pos keuangan untuk dirinya, masa depan juga orangtua. Terkadang, saat gajian tiba, ibunya—sang istri—meminta sedikit dari gaji anak laki-laki tertuanya untuk membantu mengisi barang di warung sembako.

Di lain pihak, si anak tengah juga perlu menyenangkan hati kekasih juga keluarga dari penghasilan tak seberapa itu. Jadi rasanya agak sedikit kompleks karena terjadi konflik batin diantara suami, istri dan si anak tengah mengenai keadaan finansial keluarga. Si anak juga suka melampiaskan kekesalan karena adiknya, si bungsu terlihat tidak melakukan apapun yang berguna untuk membantu keadaan keluarga. Mungkin, ia dapat memaklumi si sulung yang sedang memulihkan kondisi mentalnya namun untuk si bungsu, memang sejak dulu mereka tidak pernah rukun. Hal yang wajar dialami manusia dewasa muda. Suami hanya bisa menengahi keadaan dengan menarik dan mengembuskan napas. Aku tidak bisa membantu sama sekali.

Si bungsu. Laki-laki muda yang baru saja lulus dari SMK yang terkenal suka terlibat tawuran dekat stasiun kota. Semenjak lulus, si bungsu belum bisa melamar pekerjaan kemanapun, terkendala KTP yang belum bisa dibuat. Lebih tepatnya, belum ada biaya untuk mengurusnya, ijazahnya pun belum bisa ditebus karena uang yang ada hanya cukup untuk makan hari ini dan esok.

Mungkin karena belum mengetahui akan tujuan hidupnya di dunia ini, si bungsu sangat senang melanjutkan hobinya untuk pulang pagi, tidur seharian dan pergi keluar di malam hari. Rasanya belum terlihat kegiatan produktif dari rutinitas anak itu. Sang istri hanya bisa berdoa pada Tuhan untuk menjaga anaknya itu dari pergaulan tanpa batas di akhir zaman. Sedangkan suami, berharap Tuhan menurunkan mukjizat untuk mengubah ketiga anaknya menjadi pribadi mandiri yang penuh percaya diri menghasilkan karya juga pundi-pundi. Lagi-lagi suami mengembuskan napas.

“Hujan, Pak.” Sang istri menyandarkan tubuh sambil meneguk perlahan teh yang sudah dingin dalam genggamannya.

“Iya, Bu. Baguslah…” suami ikut bersandar pada kursi bambu sambil memandangi tanah kering di halaman depan yang mulai basah terkena hujan. Tehnya sudah habis sejak tadi.

“Semoga penderitaan ini cepat berakhir ya, Pak…” istri berucap getir sambil mencoba tersenyum samar.

“Semoga, Bu. Semoga kita punya waktu untuk melihat anak-anak mandiri.” Harap suami kemudian menarik napas dalam-dalam dan membuangnya pelan.

“Semoga kita bisa bayar hutang-hutang,” sahut istrinya.

“Juga beli baju dan bahan makanan bergizi,” lanjut suami.

Istrinya tertawa, “Iya, Pak. Makanan kita tidak cukup bergizi memang. Terlalu banyak bumbu penyedap. Untung anak-anak sudah besar. Kalau mereka masih bayi, mereka pasti menjadi anak yang kurang gizi…” ia menitikkan air mata karena terharu.

Suami yang tadinya ikut tertawa berhenti seketika saat melihat wajah perempuan yang dicintainya itu. Sudah lama ia tidak melihat istrinya menangis. Terakhir kali, saat menangis menahan si bungsu pergi tengah malam. Beberapa satu tahun yang lalu. Namun anak muda itu tetap saja pergi meninggalkan ibunya yang menangis pilu karena takut terjadi hal buruk pada si bungsu. Suami hanya bisa terdiam waktu itu. Hanya terduduk di dekat istrinya tanpa melakukan apapun.

Begitupun yang dilakukannya saat ini. hatinya sakit saat melihat istrinya menangis. Pasti penderitaannya sebagai ibu juga istri dalam keluarga miskin sangatlah menyakitkan. Namun istrinya melalui semua itu tanpa menyerah untuk terus berada disamping suami. Walaupun tak ada dukungan dipunggungnya, sang istri tetap menjadi ibu dan istri yang baik tanpa  gelar penghargaan, tanpa meminta balasan. Suatu perbuatan mulia. Suami tertegun barang semenit. Tuhan memang menciptakan perempuan sebagai pribadi mulia, seandainya mereka semua tahu bagaimana menjadi seorang perempuan sejati.

Suami mengembuskan napas kesekian kalinya. Ia beranjak dari kursi dan berlutut dihadapan istri. Memegang kedua tangan penuh luka akibat sering digunakan memotong bahan masakan, menciumnya dan membenamkan wajah di kedua lutut istrinya. Untuk pertama kali dalam kehidupan rumah tangganya, ia menangis. Ia sudah tidak kuat untuk menjadi tegar dihadapan teman hidupnya. Ia butuh kekuatan juga penguatan. Ia tidak bisa berpura-pura acuh melihat istrinya menderita dalam diam tertutup senyum tulusnya.

Istri memeluk suaminya dengan erat. Menggigit bibirnya menahan tangis. Ia tidak ingin terlihat lemah ketika suaminya butuh sebuah kekuatan. Ia mengusap air mata yang menetes di pipi dan mengecup kepala suaminya diantara rambut putih yang mulai menipis.

“Pasti Tuhan punya rencana, Pak…” istri berkata terbata-bata. “Mungkin kita harus lebih sabar.” Suami memeluk kaki sang istri. Hanya itu kekuatannya untuk saat ini. Hujan terus turun membuat keduanya larut dalam ikatan emosional yang membuat mereka semakin dekat juga kuat dalam menjalani bahtera kehidupan.

Kehidupan akan selalu menyimpan misteri dalam setiap jalannya. Semakin banyak melangkah, semakin banyak misteri yang terpecahkan dan diganti dengan kebijakan sebagai sikap dalam mengambil hikmah kehidupan. Kesusahan adalah penderitaan namun janji Tuhan adalah mengirim kemudahan sebagai penawarnya. Manusia hanya cukup menjadi hambaNya agar diselamatkan oleh KasihNya.

 

 

Athina Photo Writer Athina

Amatiran yang mencoba untuk terus tumbuh dalam kelambanannya.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya