[CERPEN] Semburat Asa di Penghujung Senja

Aku tak ingin melupakannya...

Aku tersenyum menyapa pagi. Senyum yang rasanya begitu berbeda dari yang pernah kulakukan sebelumnya. Kali ini senyumku bersambut. Ada sosok yang menyambut senyumku dengan senyuman diwajahnya.

“Cantik,” katanya. Aku tersipu dan berjalan mendahuluinya.

Aku kembali tersenyum karena kali ini aku tidak berjalan sendirian. Langkahku ditemani langkah lain yang berjalan beriringan, disampingku. Ia menggandeng tanganku tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku mengeratkan tangan dalam genggamannya.

Dan kembali tersenyum.

Kami melangkah menelusuri jalan setapak tanpa bercakap-cakap. Kami menikmati bergulirnya waktu bersama terpaan angin yang mengusap lembut raga kami. Aku menatap rahang yang ditumbuhi rambut berwarna keputihan, memperhatikan garis-garis tanda penuaan pada wajah tampannya.

“Tampan,” kataku. Ia membalasnya dengan senyuman. Anggap saja kami pasangan dimabuk cinta karena hanya tersenyum yang bisa kami lakukan selama perjalanan.

Kami berhenti pada sebuah halte. Menunggu kedatangan bus yang akan menjemputnya pergi ke suatu tempat. Ia melepaskan tangannya. Aku menatap bingung. Lalu ia mengeluarkan buku dan menuliskan sesuatu. Membiarkanku bertanya-tanya hingga beberapa menit lamanya.

“Ini. Simpanlah,” jelasnya. Ia memberikan buku itu setelah bus berhenti tepat di depan kami. Membiarkan penumpang lain melewati pintu bus lebih dulu. Ia memilih untuk mengusap pipiku dan memberikan sebuah kecupan pada kening. Ia menatapku sambil tersenyum. Senyum termanis yang belum pernah kulihat sebelumnya.

“Aku akan kembali,” janjinya.

Aku mengangguk dan merapikan jaket yang ia kenakan. Aku tersenyum dan melambaikan tangan. Menatap wajah tampan yang mulai terkikis usia setiap harinya itu sambil berkata, “Aku akan menunggu.”

Aku melirik jam tanganku. Sudah lima belas menit aku berada di halte ini. Aku sedang berpikir, apa yang sedang kulakukan di tempat ini. Kenapa aku berada di sini? Aku belum menemukan jawaban. Aku mengembuskan napas kemudian menunduk dan melihat buku yang berada dalam pangkuan. Aku membuka buku bersampul cokelat itu dan tersenyum.

Pulanglah. Ikuti gambar ini.

 

Aku berjalan mengikuti foto yang tertempel pada buku. Aku melewati toko bunga, kedai kopi juga sebuah taman kecil dengan burung-burung gereja sibuk berkicau menikmati pagi. Aku menghentikan langkahku dan tersenyum menatap bangunan kecil yang kukenal sebagai rumah yang kutempati lima puluh tahun lamanya.

“Aku sudah sampai,” bisikku.

***

“Sayang,” panggilnya.

Ia tersenyum padaku. Mengusap lembut pipiku hingga aku beranjak dari tidur. Aku memeluknya. Ini adalah pelukan terhangat yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Tubuh besarnya membuatku tenggelam dalam pelukan.

“Kamu seperti beruang,” kataku dan berbisik, “…tapi sedikit lebih tua.”

“Aku tahu,” ia tertawa.

Ia mengajakku merapikan tempat tidur dan berjalan menuju meja makan. Menarik kursi dan menyuruhku duduk. Memintaku untuk memperhatikannya saat memasak. Kau tahu, ia adalah koki terhebat yang pernah aku punya.

“Apakah tidurmu nyenyak?” tanyanya saat mengeluarkan dua butir telur dari wajan berisi air panas.

“Tentu saja.” Aku mengangguk. “Kamu?”

“Aku? Tentu saja.” Ia menyodorkan secangkir teh padaku.

“Benarkah?” aku tidak meragukannya. Hanya saja aku senang mendengarkan suaranya lebih sering lagi.

“Benar sekali.” Ia mengantarkan piring berisi nasi goreng dengan kornet dan telur rebus sebagai pelengkapnya. Tidak lupa tomat dan mentimun juga menghias sisi piring.

“Hm… Pasti rasanya enak sekali.” Aku memujinya.

“Tentu saja.” Ia tertawa dan menaruh piring didepannya.

“Apa yang kita lakukan sebelum tidur?” aku memegang tangannya. Aku ingin tahu apa yang kami lakukan semalam.

“Semalam… kita menonton film.” Ia memegang tanganku dan mengusap lembut dengan ibu jarinya.

“Oh ya? Film apa itu? Apakah sebuah roman?” aku bertanya antusias.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Sebenarnya, bukan film yang kita suka. Tetapi kamu sangat ingin menontonnya.” Ia tersenyum dan kemudian tertawa, “Insidious.” tambahnya.

Aku melebarkan mataku tidak percaya, “Benarkah?”

“Ya, sayang.” Ia mengangguk dan tertawa lagi, “Sebenarnya, aku tidak bisa tidur satu jam setelah kau tertidur. Sial sekali.”

“Kamu pasti menderita,” aku sedikit menyesal.

“Tidak. untuk pertama kalinya pada umurku ini, aku melakukan sebuah keberanian. Aku berterima kasih untuk sifat keras kepalamu semalam.” Ia tertawa lagi, lalu mencium tanganku. Kami makan sambil berpegangan tangan dalam diam.

Aku selalu bertanya padanya mengenai hari sebelum hari ini. Apa yang kami lakukan, kemana kami pergi dan apa saja yang aku lupakan hari kemarin. Ia selalu membantuku menjawab semua pertanyaan dalam benak usia senjaku. Film horor adalah genre yang tidak pernah kami ingin tonton sama sekali. Kami tidak suka merasa takut dan ditakut-takuti. Tetapi katanya semalam aku bersikeras ingin menonton film itu. Bahkan saat terbangun pagi ini, aku tidak ingat satu adegan pun dari film yang baru ku tonton semalam.

Tanpa sadar aku menghentikan sarapanku. Air mata mengalir tanpa perintah.

“Maafkan aku,” aku menutupi wajah menahan tangis.

“Hei, tidak ada yang salah di sini, sayang.” Ia memelukku.

“Aku takut...” Tangisku pecah tak terbendung.

“Kita tidak akan pernah menontonnya lagi kalau begitu.” Ia mencoba menenangkan.

“Bukan. Bukan itu,” aku terisak dan memeluknya. Hanya itu yang bisa kulakukan hingga setengah jam kemudian.

Ia membiarkanku menangis. Terus memelukku dengan nyaman tanpa menginterupsi. Ia membiarkanku membasahi piyama katunnya sambil terus mengusap kepalaku, menciumnya dan mengusapnya lagi. Ini pengalaman yang belum pernah kurasakan. Mungkin, aku sudah tidak mengingatnya.

Segelas air putih diberikannya padaku setelah aku lelah mengeluarkan air mata yang begitu banyak. Lebih banyak dari biasanya.

“Sayang, terima kasih.” Aku masih terisak.

“Terima kasih kembali, sayang.” Ia menggandengku, duduk di teras halaman belakang.

Kami duduk berdampingan menatap taman kecil berisi bunga mawar dan jajaran kaktus di dalam pot. Angin pagi berembus sedikit lebih kencang hari ini. Sejuknya menerpa wajahku. Wajah yang mungkin sudah pudar akan cantiknya. Wajah yang mungkin sudah tidak pantas untuk bersolek lagi. Namun aku bersyukur wajahku tidak membuat pria disampingku lari ketakutan. Mencari wanita lain sebagai pengalihan. Aku tahu, dia bukanlah pria semacam itu.

Pria itu memalingkan wajahnya dan menatapku lekat-lekat. Aku tersenyum mengetahui sinar dimatanya adalah sebuah ketulusan yang sama sejak pertama kami berjumpa. Ada yang berubah padanya. Tetapi perubahan yang menurutku sangat baik. Ia ingin menjadi pria yang lebih baik untukku, katanya. Dia membuktikannya.

“Aku takut.” Lidahku terasa kelu.

“Aku disini. Tidak ada yang perlu kamu takuti.” Tangannya yang besar menangkup wajahku. Menenangkanku.

“Aku takut, bagaimana kalau besok aku akan melupakanmu?” Mataku kembali terasa panas.

“Aku akan mengingatkanmu.” Suaranya terasa serak. Ia menahan tangis untuk kesekian kalinya.

“Tolong lakukanlah.” Aku memeluknya, “Tolong lakukan untukku.”

Kami menangis haru. Kami gagal menolak takut. Tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi di hari esok. Usia yang semakin dekat dengan senja membuat kami takut memikirkan hari esok. Apa yang akan terjadi, apa yang akan terlewati, apa yang akan kami lupakan? Kami tidak sanggup untuk memikirkannya. Kami takut. Pertama kalinya kami membiarkan rasa takut masuk mengoyak mimpi.

Akan tiba waktunya dirimu merasa takut, seorang pemberani sekalipun. Rambut yang mulai memutih, penampilan yang tak lagi menjadi daya tarik, peluang yang semakin sempit bahkan mimpi yang tak lagi berani untuk diraih, membuat orang tua sepertiku tak berdaya. Aku takut saat mengetahui akan mengalami kehilangan ingatan hari demi hari. Namun aku telah tiba pada masanya. Aku sudah mulai melupakan kejadian beberapa belas menit yang lalu. Kemudian akan terus seperti itu hingga pada akhirnya aku lupa setiap detik yang ku lalui dalam hidup ini.

Tidak ada yang perlu ku sesali karena aku memiliki dia, pria yang ingin selalu kucintai. Tidak memberikannya keturunan, tidak membuatnya menjadi kaya raya juga menjadi istri yang keras kepala. Ia tetap memilih untuk hidup bersamaku. Menghabiskan masa dengan wanita tidak sempurna sepertiku adalah pilihan bodoh tetapi juga manis, bagiku. Tidak semua pria akan melakukan hal yang sama. Tidak, kecuali jiwa yang tulus.

Setelah melakukan banyak hal, kami tiba di penghujung hari ini. Kami tersenyum untuk menutup hari. Saling bertatapan di atas ranjang dengan tangan yang terus berpegangan. Tanpa percakapan, hanya senyuman membiarkan hati menikmati malam yang terdengar sunyi.

“Selamat tidur, cantik.” Katanya.

“Selamat tidur. Aku ingin terus mencintaimu, suamiku.” Jawabku.

 

***

 

Athina Photo Writer Athina

Amatiran yang mencoba untuk terus tumbuh dalam kelambanannya.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya