[CERPEN] Wanita yang Membenci Hujan

Terkadang hujan juga memutar kembali kenangan buruk di masa lalu

 

Mungkin ada banyak orang yang menyukai hujan. Terbukti dari banyaknya lagu-lagu yang berbicara tentang hujan. Film-film pun banyak menampilkan adegan-adegan romantis sepasang kekasih di tengah derasnya hujan. Rinai hujan juga merupakan irama merdu yang sanggup meresonansi kembali kenangan-kenangan di masa lalu.

Ya, barangkali semua setuju, hujan adalah anugerah Tuhan yang Maha Kuasa. Sebuah nikmat yang patut kita syukuri. Mungkin tanpa hujan, takkan pernah ada kehidupan di muka bumi ini. Namun itu semua seolah tidak berlaku bagi Rani. Janda muda itu malah sangat membenci hujan.

Menjadi yatim-piatu sejak balita dan menjalani seluruh masa kecilnya di panti asuhan, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang telah menimpa Rani sekarang. Dan, tidak ada yang benar-benar peduli.

***

Sarah, satu-satunya sahabat Rani,  yang  pernah tinggal di panti asuhan yang sama dengan Rani (Namun lebih beruntung karena diadopsi oleh seorang keluarga kaya) baru saja kembali dari Amerika. Sudah sangat lama gadis itu tidak bertemu sahabat lamanya itu. Karena itu hari itu juga ia memutuskan untuk mengunjunginya.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Di langit, awan-awan mulai menghitam. Berkumpul untuk membentuk hujan. Sarah yang telah bersiap-siap menuju rumah Rani, segera memacu mobilnya melewati pekarangan rumahnya. Kemudian, dengan gesit mobil itu melaju kencang menembus ruas jalan yang semakin padat dengan kendaraan.

Sarah tak pernah tahu keadaan Rani semenjak ia meninggalkan Indonesia. Satu yang  ia tahu hanyalah bahwa Rani telah menikah seorang  pria sukses tiga tahun yang lalu.

Sarah tiba di depan rumah Rani. Rumah tradisional khas Jawa itu masih saja sama seperti saat terakhir kali ia menginjakkan kakinya di sana. Sarah turun dari mobilnya. Dari sela-sela jendela rumah itu, samar-samar ia bisa melihat tubuh Rani yang sedang  berdiri di sudut ruang tamu. Dengan wajah sumringah, sarah berjalan memasuki pekarangan rumah. Hujan yang sudah mulai deras mempercepat langkahnya menjangkau teras depan.

Keanehan itu baru disadari Sarah, saat ia menjenguk dari balik jendela. Waktu itu, kesabaran Sarah nyaris hilang, karena berulang kali ia memanggil-manggil Rani, tapi tak ada jawaban sama sekali. Ia mencoba membuka kenop pintu depan, tapi terkunci. Karena itu, ia memutuskan untuk untuk melihat keadaan dari balik jendela.

Namun keadaan yang disaksikannya membuatnya tersentak seketika. Bukan hanya karena penampilan Rani yang awut-awutan, tapi suasana di dalam ruangan itu sudah seperti kapal pecah! Lukisan dan bingkai foto berhamburan di lantai, pecahan vas bunga bertebaran di mana-mana, kursi dan meja pun jungkir balik dari posisinya.

“Ran, kamu kenapa? Apa yang  terjadi di rumah ini?” Sarah menggedor-gedor jendela di hadapannya. Tapi Rani seakan tak mendengar ekspresi cemas Sarah di luar sana, ia malah meraung, menggerung-gerung sejadi-jadinya. Membuat Sarah semakin gelisah. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sarah menggigit bibirnya, ia baru sadar ia sudah menggigil sedari tadi.

Sarah mengintip sekali lagi ke balik jendela, tapi pemandangan didepannya saat itu seketika membuatnya bergidik. Pemandangan yang persis seperti film-film horor yang pernah ditontonnya. Rani berjalan pelan menuju pintu. Mata merahnya menatap tajam pada Sarah.

Rambut panjangnya kusut, sebagian poninya tergurai ke depan, menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Daster putih yang dikenakan kumal dan compang-camping. Entah apa yang telah dilakukan wanita itu. Melihat Rani yang nyaris terlihat seperti kuntilanak itu, bulu kuduk Sarah seketika merinding. Ia beringsut mundur, hingga akhirnya berlari tergopoh-gopoh mendapatkan mobilnya. Buru-buru ia merogoh kunci mobil dari dalam tasnya, lalu segera menghidupkan mobilnya.

Namun sesaat mesin itu berderu, sebuah batu telah melesat cepat ke arahnya. Memecahkan kaca jandela yang tertutup rapat-rapat itu. Serpihan kaca berterbangan, melukai wajah Sarah. Sedikit darah menetes dari wajah cantiknya. Tak peduli dengan itu, Sarah segera memacu mobilnya. Meninggalkan gemuruh air hujan yang menjadi saksi bisu kejadian aneh hari itu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

***

Tanpa peduli dengan hujan yang mengguyur tubuhnya, Rani terus menelusuri trotoar jalan. Pandangannya nanar, napasnya sesak. Sekuat mungkin ia berusaha agar ingatan itu tidak kembali lagi. Ingatan buruk pada peristiwa mengenaskan dua tahun yang lalu, yang telah menjadikan kondisinya seperti sekarang ini. Tapi, ingatan yang terkukung rapat-rapat itu seolah memaksa keluar ke permukaan memori kepala Rani. Terus beruneg-uneg di pikirannya.

“Ah, seandainya saja... seandainya saja waktu itu hujan tidak turun... dia tidak perlu pergi secepat itu...” Dalam derasnya hujan Rani melirih sambil berlutut, kedua telapak tangannya menutup wajahnya rapat-rapat.

Dua tahun yang lalu, saat hujan lebat turun persis seperti hari itu, Rani yang hendak membawa pulang belanjaannya terpaksa berteduh di bawah sebuah emperan toko karena tidak membawa payung. Dalam kerumunan orang-orang yang juga berlindung  dari air hujan, Rani samar-samar melihat Joe berada di seberang jalan sana. Menjemputnya dengan membawa payung. Segera kedatangan suaminya itu disambut Rani dengan senyum mengembang di bibir mungilnya. Dengan wajah sumringah,  Joe melambaikan tangan padanya.

Entah karena melihat senyuman indah sang istri yang begitu gembira menyambut kedatangannya. Atau karena lengah, sebab kondisi jalan waktu itu yang sedang sepi dan lengang. Joe menyeberang  jalan tanpa menoleh lebih dulu. Tanpa ia sadari sebuah sedan hitam melaju kencang ke arahnya.

Memang, deru mesin mobil itu kadap oleh suara gemuruh hujan yang kian lebatnya. Joe tak mendengar suara mobil yang menuju arahnya. Dan ketika cahaya lampu mobil itu menyilaukan matanya, semuanya sudah terlambat. Payung terhempas ke udara. Suasana lengang berubah tegang. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu tercengang. Begitu cepat kejadian itu terjadi.

Sang pengemudi sedan yang kalap buru-buru memacu mobilnya, meninggalkan gelegar jeritan histeris Rani yang sanggup memecahkan gemuruh derasnya hujan waktu itu. Orang-orang mulai berkerumun mengelilingi tubuh yang  tergeletak itu. Menyaksikan darah segar mengalir deras turut menggenangi jalan bersama dengan air hujan.

***

Tubuh ringkih Rani sudah tak sanggup lagi menahan dinginnya air hujan. Tangannya terus menggapit badannya yang kurus. Ia menggigil hebat, namun masih saja memaksa diri untuk terus berjalan, menelusuri trotoar sambil sesekali berteriak histeris. Cacian dan makian terus saja keluar dari suaranya yang parau. Ia mencaci hujan, tanpa pernah tahu hujan mendengarnya atau tidak. Tiba-tiba sebuah kilatan cahaya merah menyilaukan mata Rani, diikuti oleh suara menggelegar dari langit. Rani merasa ngeri. Ia memutuskan untuk berteduh di sebuah halte.

Kondisi jalan waktu itu lengang, persis seperti dua tahun yang lalu, saat peristiwa mengenaskan itu terjadi. Rani menatap nanar pada setiap kendaraan yang sesekali melintas di depannya. Tiba-tiba peristiwa itu kembali merobek ingatan Rani. Seakan merayapi seluruh tubuhnya. Hujan memang efektif membangkitkan kembali kenangan-kenangan di masa lalu, peduli itu kenangan indah atau malah sebaliknya. Rani menarik-narik rambutnya. Kepalanya serasa mau pecah. Dan untuk kesekian kali ia berteriak histeris.

Hujan sudah mulai mereda. Perlahan-lahan mereda hingga akhirnya menjadi gerimis. Emosi Rani pun perlahan mengendap seiring melambatnya rintikan hujan. Meski rintik gerimis terus berjatuhan, Rani sudah mulai agak tenang. Ia merasa hujan telah mengalah padanya. Ia mulai sadar dengan kondisinya. Hendak berbalik arah. Namun tiba-tiba pemandangan dari kejauhan yang disaksikannya kembali memancing emosi Rani yang sudah agak luruh. Sebuah sedan hitam melaju pelan ke arahnya. Rani sangat ingat, bahkan sangat-sangat ingat dengan nomor plat sedan hitam itu: B 100 D !

Nomor plat itu sama dengan nomor plat mobil yang menabrak Joe. Rani terkesiap, kaget bercampur murka. Diambilnya sebongkah batu seukuran genggamannya, kemudian dilemparkannya batu itu dengan keras hingga memecahkan kaca depan sedan hitam itu. Lalu ia pun tertawa sejadi-jadinya Si pengemudi sedan yang bukan main marahnya segera bergegas keluar.

“Hei apa-apaan kamu!!” Bentak si pengemudi.

Tanpa berpikir panjang, Rani segera memungut sebuah batu lagi di dekat kakinya, kali ini sedikit lebih besar. Secepat kilat batu itu melesat ke arah si pengemudi. Belum sempat ia mengelak, batu itu telah menghantam keras kepalanya. Darah keluar bercucuran. Rani tertawa girang. Seolah-olah sedang merayakan kemenangannya setelah terus menderita kekalahan selama dua tahun ini.

Kondisi jalanan waktu itu benar-benar sunyi. Belum ada satu pun kendaraan yang melintas. Si pengemudi sedan yang malang tergeletak di tengah jalan. Seakan mengulangi lagi kejadian dua tahun silam, darah segar itu mengalir deras bersamaan dengan air hujan yang mulai menggenangi ruas jalan.

 

Rudi Fahrizal Putra Photo Writer Rudi Fahrizal Putra

Pemalas yang ingin menjadi penulis https://rudymemorize.blogspot.co.id/

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya