[CERPEN] Negeri Khayalan

Semua hanya ada dalam imajinasinya.

 

 Ayam-ayam baru mulai akan berkokok, tapi Rendi telah terbangun dari tidurnya. Ia duduk bersila kaki. Menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Seperti seorang yang sedang bersemedi. Ia ingat betul ucapan seorang tokoh filsuf yang diidolakannya, bangunlah sepagi mungkin agar jiwa dan perasaanmu bisa menyatu dengan alam.

Selesai dari ritual hariannya, Rendi bergegas mengambil handuk, lalu menuju kamar mandi. Ia akan mempersiapkan diri untuk menuju kantor.

***

Rendi seperti pegawai negeri lainnya memilih menaiki bus untuk menuju kantor. Tentu saja. Undang-undang baru negara itu telah menetapkan larangan bagi para pegawai negeri dan pejabat pemerintahan untuk menggunakan kendaraan pribadi mereka. Tapi, Rendi tak perlu risau. Ketika baru masuk saja, ia sudah disambut dengan semerbak harum bus mewah itu. Lagi pula, ia tak perlu takut akan kecopetan jika kadang-kadang bus dalam keadaan penuh. Pencopet sudah sangat langka di negeri itu. Ia juga tak perlu takut terjebak macet seperti dulu lagi. Kemacetan seakan sudah menjadi mitos urban di kota

Metropolitan, yang menjadi jantung negara itu.

Para penumpang bus,  yang sebagian besar bapak-bapak pejabat itu, sedang riuh mengomentari ‘wajah’ baru Indonesia.

“Lihatlah! Ekonomi Indonesia saat ini menjadi yang terbaik nomor tiga di dunia,” seru seorang bapak berkacamata tebal,  seraya menunjukkan headline di sebuah surat kabar.

“Jika dalam waktu dua tahun saja, presiden kita sanggup menjadikan negeri kita semaju ini, bagaimana lagi kalau dia memimpin lebih lama? Mungkin kita bisa jadi negara adikuasa,” sambung seorang bapak berkepala botak.

“Kita patut bersyukur,” sang kondektur pun ikut bicara. “Ini semua berkat kerja keras Pak Mijan dan Pak Sarmo. Sudah sepatutnya kita berterimakasih,” lanjutnya lagi. Bibirnya menungging seulas senyum.

Mijan Abdinegara dan Sarmo Wibowo. Rasanya Rendi sangat ingin memberi tahu orang-orang di dalam bus itu, bahwa pasangan presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara hampir 80% pada pemilihan yang lalu itu adalah teman dekatnya saat berkuliah dulu. Tapi ia sama sekali tidak mempunyai alasan untuk mengatakan itu. Lagi pula, ia tak mau terlihat sok pamer, hanya karena hubungan pertemanan yang sudah sangat lama itu.

Rendi menatap keluar kaca mobil. Gedung-gedung pencakar langit telah selesai dibangun. Negara itu merupakan wajah baru negara industri di Asia. Dalam waktu singkat ini akan menyaingi Jepang maupun Korea Selatan. Rendi menghela napas lega. Ia seakan belum percaya dengan perubahan negerinya yang secepat itu. Ia masih mengira kalau ia sedang bermimpi. Berkali-kali dicubitnya pipinya sendiri, sampai ia dapat memastikan bahwa ia memang sedang tidak bermimpi.

Rendi tiba di kantornya. Ternyata, Leni, teman kuliah yang kini sekantor dan telah menjadi kekasih Rendi sudah menunggunya di depan gerbang.

“Selamat pagi, Sayang,” ucap wanita itu manja. Rendi tersenyum. Raut bahagia terpancar di wajahnya.

“Pagi juga Cantik,” sahut Rendi menggoda.

“Oh ya, udah denger kebijakan baru pemerintah kita yang menggegerkan?” tanya Leni membuka topik pembicaraan. Mereka berdua berdiri sejenak di tepi pintu gerbang.

“Eh, kebijakan yang mana?” Rendi merasa heran. Ia pikir ia sudah cukup tahu perkembangan politik di negerinya itu. Tapi ternyata, kekasihnya itu lebih “lihai” dalam masalah informasi.

“Dalam kurun  waktu dekat ini, pemerintah akan menghentikan segala kegiatan eksplorasi asing terhadap sumber daya alam kita. SDM kita sudah cukup memadai untuk mengelola semua itu,” jelas Leni semangat.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Benarkah? Aku baru tau.” Rendi begitu senang mendengar kabar itu. Matanya berbinar-binar. Seolah baru saja mendapat angin segar. Jika hal itu benar-benar terwujud, sudah pasti rakyat negara yang dulunya sangat tertinggal, sampai-sampai menjadi bahan olokan pebisnis asing itu akan bertambah makmur.

“Nggak nyangka ya, Len? Dua orang teman kita di kampus dulu, sekarang telah menjadi pemimpin kita. Sering dielu-elukan lagi. Seperti ksatria.” Rendi mengingatkan Leni mengenai Mijan Abdinegara dan Sarmo Wibowo. Dua sahabat mereka yang kini telah menjadi presiden dan wakil presiden.

“Iya, Ren. Di kampus dulu, mereka saling bersaing untuk menjadi nomor satu. Tapi kini mereka bersatu untuk memajukan negeri tercinta ini,” ujar Leni. Matanya menatap jauh ke atas. Memandangi langit cerah ibu kota. Hati kedua sejoli itu sedang berbunga-bunga. Mereka bergandengan tangan berjalan menuju kantor.

***

Suasana macet ibu kota benar-benar membuat Susi gerah. Baru saja  ia kembali dari Amerikasetelah sekian lamanya tinggal di sanatapi ia malah disambut dengan kemacetan yang panjangnya luar biasa. Susi melirik jam tangan klasiknya. Sudah hampir setengah jam ia terjebak macet.

“Pak, apa tidak ada jalan lain?” tanyanya pada supir taksi.

“Ada sih, Mbak. Tapi jaraknya dua kali lipat. Lagian gak ada jaminan bebas macet juga,” ujar sang supir. Susi mendengus kesal. Ia menatap keluar kaca mobil. Di luar ribut sekali. Ternyata ada demonstrasi besar-besaran yang sedang dilakukan para mahasiswa. Mereka beramai-ramai menggotong sebuah spanduk bertuliskan kalimat dalam huruf-huruf besar: “SELAMATKAN INDONESIA DARI CENGKRAMAN ASING"

***

“Ren... bangun Ren. Itu Susi teman lamamu datang jauh-jauh dari Amerika.” Bu Lastri menggedor-gedor pintu kamar anaknya yang masih tertidur pulas, meski waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang.

“Maaf  ya, Sus. Rendi memang suka gini kalau libur kerja. Ia tidur sampai lupa waktu,” ujar Bu Lastri tak enak. Susi hanya tersenyum kecil. Ternyata sifat pemalas Rendi ketika maasih SMA belum hilang juga. Ia jadi terbayang saat-saat ketika masih bersama Rendi dulu. Rendi pernah menembaknya berkali-kali. Tapi bagaimana pun juga, ia tidak bisa menerima cinta sahabatnya itu. Tentu saja. Tubuh pendek Rendi kelihatan sangat tidak cocok bila dibandingkan dengan perawakan Susi yang tinggi. Ia ingat, perkataan Rendi yang berjanji akan menaikkan tinggi badannya meski dengan cara apa pun. Susi jadi senyum-senyum sendiri mengingat kisah konyolnya dengan sahabat sejak kecilnya yang satu itu.

“Rendi! Cepat bangun!” suara keras Bu Lastri membuyarkan lamunan Susi.

“Apa sih, Bu? Pagi-pagi udah ribut.” Suara parau Rendi terdengar dari dalam kamar.

“Pagi gundulmu! Ini udah jam sebelas!” timpal Bu Lastri kesal. “Ini Susi teman lamamu datang. Lagian, sebentar lagi kamu harus ikut terapi sama Dokter Zaki, kan?” sambung Bu Lastri. Susi terkesiap. Dokter Zaki? Setahunya Dokter Zaki adalah psikiater paling dikenal di kota itu. Ia ingat, dulu pernah membawa sepupunya yang mengalami depresi berat padanya. Alhasil, sepupunya itu berangsur pulih. Tapi kini ia bingung. Apa Rendi juga mengalami depresi? Jangan-jangan penyebabnya adalah ia yang pergi meninggalkannya jauh ke Amerika? Berbagai tanda tanya terbesit di benak Susi. Ia jadi ragu untuk bertemu Rendi.

“Memangnya Rendi sakit apa, Bu?” akhirnya Susi bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya.

“Lho? Nak Susi tidak tahu?” Susi menggeleng-geleng kepala.

 “Rendi menderita skizofrenia semenjak lulus SMA..."

 

 

Rudi Fahrizal Putra Photo Writer Rudi Fahrizal Putra

Pemalas yang ingin menjadi penulis https://rudymemorize.blogspot.co.id/

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya