[CERPEN] Sepenggal Cerita Di Paginya Asmu

Demi keluarganya. Demi Asmu.

 

Hujan dan malam. Dinginnya ternyata tak mampu membuat demam di sekujur tubuh Piyan meredam.

“Pak, kita ke bawa ke rumah sakit saja.” Mina khawatir bukan kepalang. Melihat kaku tubuh kerempeng si kecil, membuat nyeri di segala bagian.

Asmu tetap bergeming di tempat. Menunduk. Merunduk.

 

“Pak!”

“Tunggu sampai besok.”

“Dan bagaimana jika besok dia mati?”

“Itu urusan Tuhan.”

Mina tersenyum kecut. Pipinya sudah basah sejak Isya tadi. “Tuhan hanya akan menertawakan kita yang bahkan tak bisa berbuat apa-apa!”

Lelah. Entah untuk yang ke berapa kalinya Asmu harus berusaha mendengar kalimat sama yang Mina ucapkan berulang-ulang. Dari sejak kematian Saman, anak  pertamanya yang mati kelaparan. Lalu Maryam, anak keduanya yang juga mati. Bukan karena kelaparan. Tapi sakit demam lantaran minta dibelikan mainan.

 

***

“Pak, pak. Bangun,” ucap seorang lelaki tambun. Menepuk pundak Asmu beberapa kali. “Tolong jangan tidur di depan toko saya.”

Dibantu hawa dingin yang menusuk, serta panggilan-panggilan dari pemilik toko, Asmu memaksa matanya terbuka dengan sempurna. Menegakkan bahu yang semula nyaman bersandar pada rolling door dan mengumpulkan kesadaran-kesadarnnya.

“Maaf, Pak,” tuturnya sopan sembari mengangkat sebuah kotak. Pintu rezekinya. Lalu segera meninggalkan tempatnya rehat beberapa jam lalu.

 

Jakarta masih sekeras dulu. Atau bahkan lebih keras.

Asmu berjalan dengan perasaan gamang. Dipikirkannya terus menerus keadaan Piyan. Anak satu-satunya yang masih tersisa. Ada perasaan takut untuk kehilangan yang kesekian. Dia tetaplah seorang ayah, bagaimanapun. Yang hidup diselimuti rasa bersalah sebab tak mampu memberi kehidupan layak bagi istri dan anak-anaknya. Jangankan memberi kebahagiaan.

 

Aku tak akan pernah menikah, jika tahu hidup akan sekeras ini.

Lagi-lagi Asmu menyalahkan diri sendiri. Pendidikan Sekolah Dasar tak cukup memberinya banyak pengalaman pekerjaan. Apalagi di usia yang hampir menginjak setengah abad. Siapa yang masih membutuhkan tenaga serta keterampilannya yang tak seberapa?

Jika ada sesuatu yang bisa membawanya kembali ke masa lalu, maka yang akan dia lakukan adalah tidak pernah bertemu Mina, tidak pernah jatuh cinta, dan tidak pernah menikah. Sebab hidup yang paling menyedihkan bukan ketika dia tak menemukan makan di hari ini. Tetapi menyaksikan istri dan anak-anaknya kurus kerempeng karena terlalu sering menahan lapar.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Jika aku tak salah lihat, kau Asmu. Benar?” Seorang tukang bubur menghentikan langkah Asmu sambil terkekeh. Yang ditegur hanya mengulas senyum. “Mirip seorang bujang yang baru putus cinta. Jakarta masih sangat pagi, Bung.” Tukang bubur itu terkekeh lagi.

“Hahaha. Bisa aja.” Asmu tertawa berusaha membungkus segala resahnya.

Namanya Jono. Tukang bubur pengkolan yang sudah dikenal Asmu sejak lama. Bukan pertemanan yang merangkul keduanya. Tetapi pagi hari dari waktu ke waktu yang akhirnya membiasakan mereka jadi bertegur sapa.

“Mau bubur?” Asmu berpikir sejenak atas tawaran Jono. Merasa berat jika harus sarapan sepagi ini. Bagaimana jika Mina dan Piyan masih menahan lapar di kontrakannya?

“Makasih, Jon. Tapi aku sudah sarapan,” dustanya menolak dengan halus.

“Kalo gitu ambil ini buat Piyan.” Entah sejak kapan Jono membuatnya. Tiba-tiba sebungkus bubur sudah disodorkan dalam mangkuk plastik yang akhirnya Asmu terima dengan riang.

“Makasih, Jon.”

Jono hanya mengangguk lalu memberi semangat yang disertai khas guyonanannya.

Belum sampai lima jam, Asmu sudah bertemu dua orang sepagi ini. Dia harap orang ketiga yang ia temui adalah pelanggan yang minta dibuat mengkilat sepatu-sepatu kantornya.

Dengan kain selembar cukup untuk duduk serta mengeluarkan beberapa peralatan semirnya. Asmu membuka lapak lebih pagi dari biasanya. Lima menit berlalu, belum ada orang yang berminat mendatanginya lapak usahanya. Tiba-tiba perutnya berbunyi nyaring. Dan tiba-tiba dia merasa lapar. Dipandanginya sebungkus bubur pemberian Jono, lalu tangannya mengusap-usap perut.

 

Kalo dibawa ke rumah juga buburnya udah pasti jadi cair. Ah, Piyan. Bapak janji ganti dengan yang baru nanti, batinnya.

Baru juga bubur hendak turun dari tenggorokannya, seseorang tiba-tiba datang.

“Tolong semirkan sepatu saya, Pak. Cepat ya. Sedang buru-buru,” kata seorang pelanggan. Seperti seseorang yang berpengaruh besar di perusahaan. Pakaiannya yang bicara demikian.

Perasaan bahagia menyeruak. Senang bahwa dia mendapat pelanggan sepagi ini. Buru-buru Asmu mengeluarkan kursi kayu setinggi tak lebih dari dua puluh senti. Yang dipersilakan duduk malah tetap berdiri. Justru menaruh satu kakinya di atas kursi tersebut. Asmu mendongak tak percaya. Pelanggannya malah sibuk bicara di sambungan teleponnya.

 

Seharusnya Bapak bilang tolong semirkan kaki saya. Bukan sepatunya.

Asmu hanya mendesah pasrah. Demi Mina. Demi Piyan. Lalu dikeluarkannya sikat dan semir untuk melayani pelanggan yang minta disemirkan sepasang kakinya.

“Sudah, Pak,” ucap Asmu memberi tahu. Sang pelanggan masih sibuk dengan teleponnya sambil mengamati hasil kerja Asmu pada sepasang sepatunya. Ralat. Sepasang kaki, lebih tepatnya.

Menunggu ongkos semir dengan perasaan bersedih, Asmu kembali kedatangan pelanggan keduanya. Orang keempat yang dia temui sepagi ini.

“Permisi, Pak. Bisa tolong semirkan sepatu saya?” Seorang anak perempuan berpakaian polisi membuka sepasang pentofel dan menyerahkannya kepada Asmu. Didampingi seorang ayah di sisi  kanannya.

“Eh? I-iya. Bisa, dek. Bisa.”

Asmu tergugup lantaran mendapat perlakuan yang berbeda dari pelanggan sebelumnya. Bukan saja Asmu, lelaki yang sedari tadi sibuk dengan ponsel, juga sibuk merogoh beberapa saku baju, jas, celana serta isi dompet demi mencari uang receh untuk ongkos semir sepatunya, dibuat tertegun. Menghentikan aktivitas telepon, juga gerak-gerik tangannya yang menyisir segala tempat untuk membayar ongkos semir sepasang kakinya. Sejenak terlihat mukanya memerah, semerah kepiting rebus.

 

Rosyi Munawar Photo Writer Rosyi Munawar

Wanita biasa yang bermimpi besar.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya