Kenangan Rasa Syukur dari Ayah

Hargai setiap apa yang orang tua kerjakan.

Tepat tanggal 27 Juni, 10 tahun lalu, ayahku kembali dari rutinitasnya yang padat. Bukan seperti orang kantoran. Ayahku bekerja sebagai penjual dawet. Seharian ia menjajakan dagangannya di depan supermarket. Tanpa lelah, ia menawari setiap orang yang lewat.Meski peluh membasahi kaos oblongnya, ia tak pernah mengeluh. Aku hanya bisa menungguinya di rumah, sepulang sekolah. Setiap hari, aku berharap dagangan ayahku laris manis dan bisa membelikan baju Lebaran untukku. 

Tahun sebelumnya, keluargaku mendapat rezeki dari seorang yang tak ku kenal. Ibuku bilang dia adalah utusan Allah yang datang memberiku hadiah karena bisa berpuasa sebulan penuh. Saat itu, aku hanya seorang siswa kelas 3 SD, berusia 8 tahun. Jelas, girang aku menerima hadiah tersebut. Akhirnya aku bisa berlebaran dengan baju baru, pikirku waktu itu.

Suatu sore menjelang Lebaran, ayah mengajakku berdagang. Supermarket sedang ramai, sehingga tak butuh waktu lama untuk menunggu es dawet habis. Mungkin juga itu karena usahaku teriak sana sini menjajakan es dawet ayahku. Bukan lelah, aku justru kegirangan diajak berjualan. Aku senang bisa membantu ayah, sekedar berbagi letih. Sebab, ku tahu, ayah selalu pulang dalam keadaan letih. Meski sekuat tenaga ia menyembunyikannya. Dia tak ingin aku murung.

Tak selalu laris. Kadang es dawet ayah juga masih banyak. Sepi, entah pada ke mana para pembeli itu. Meski dagangan masih banyak, ayah mengajakku pulang. “Rima, ayo pulang. Sudah mau buka puasa ini," katanya. Padahal aku masih bersemangat berjualan. Aku ingin pulang dengan gerobak kosong.

“Rezeki kita hari ini cuman segini, Rima. Allah telah memberikan kita rezeki ini kita patutnya bersyukur. Setelah ini ikut ayah ya,” kata ayah.

Aku tak bisa menebak mau ke mana ayah akan membawaku. Sepanjang jalan, kami tak banyak bicara. Barangkali ayah sedang kelelahan. Ya, aku bisa merasakannya. Hingga sampai di ujung gang kecil, ia membagikan es dawet yang masih banyak. Aku tak percaya. Modal untuk menopang kebutuhan kami sehari-hari justru diberikan kepada orang lain.

Setibanya di rumah, ayah menjelaskan kepadaku tentang pentingnya berbagi. Dia berpesan kita harus peduli dengan sesama. Sebab, banyak manusia yang semakin acuh, tak peduli satu sama lain. Ada yang kesusahan, dibiarkan. Ada yang sekarat, tak dipedulikan. Bersyukur menjadi kunci penting menjalani hidup, katanya. Dengan bersyukur, kita tak pernah merasa kekurangan. Bersyukur membuat kita lebih bahagia dan berarti.

Keesokan harinya, sehari sebelum Lebaran, ayah kembali berjualan. Ia berangkat sore hari. Meski juga harus menjadi kuli panggul di pengepul beras dekat rumah, ayah menjalaninya dengan telaten. Tak seberapa honornya. Tapi, prinsipnya bisa jadi tambahan penghasilan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Baca juga: 14 Ilustrasi Menyentuh Ini Bikin Kamu Ingin Bilang "Terima Kasih, Ayah"

Hingga akhirnya, ayah jatuh pingsan saat berjualan. Orang-orang sekitar langsung membawanya ke puskesmas terdekat. Panik? Jelas. Aku dan ibu tergopoh menyusulnya. Wajah ibu bermandikan keringat hingga memucat. Apalagi saat dokter menyatakan ayah menderita serangan jantung akut. Seakan petir menyambar ujung kepala hingga kakinya. Kami berpelukan sambil tersedu.

Sepanjang dirawat, aku menunggui ayah. Sedangkan, ibu tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai buruh tani. Ia harus lebih keras mencari nafkah untuk pengobatan ayah. 

Sempat lega ketika ayah akhirnya sadar. Jantungku terasa ikut copot ketika ia kembali tak sadarkan diri. Ayah dilarikan ke rumah sakit karena keterbatasan alat di puskesmas. Di rumah sakit, ayah dibawa ke ruang gawat darurat. Sejumlah dokter sedang mencoba membangunkan ayah lagi dengan alat pemicu jantung. Hingga akhirnya terdengar bunyi "tut" berkepanjangan. Sembari menggelengkan kepala, para dokter meminta maaf kepada aku dan ibu.

Mereka tak bisa menolong ayah. Ya, ayah telah pergi. Aku bisa apa? Jangan ditanya bagaimana perasaanku kala itu. Mungkin juga seperti orang yang hampir gila, tak tahu harus berbuat apa, tak tahu apa arti semua ini. Aku tak bisa membayangkan menjalani hari-hari tanpa seorang ayah. 

Tapi, kenyataan tetap kenyataan. Aku harus menjalani sisa hari tanpa belaiannya, tanpa kasih sayangnya. Jangankan berharap baju Lebaran lagi, berharap berjualan es dawet bersama lagi pun mustahil. Hanya ajarannya yang masih bisa ku genggam sampai detik ini. Bersyukur dan berbagi menjadi hal yang paling ku ingat dari sosok paling berharga dalam hidupku itu. 

Ayah, semoga kau selalu berbahagia di sana. Meski ruang dan waktu telah menjadi pembatas kita.

Baca juga: Puasa Pertama Tanpa Ibu itu Rasanya...

 

Rizqi Catur Risnandi Photo Writer Rizqi Catur Risnandi

Indahnya Berbagi

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Dewi Suci Rahayu

Berita Terkini Lainnya