[CERPEN] Copet

Gobar merasa hari itu adalah hari paling sial dalam hidupnya.

 

Gobar merasa hari itu adalah hari paling sial dalam hidupnya. Pendek kata, ia menikmati hidupnya sebagai pencopet. Pekerjaan yang telah bertahun-tahun digelutinya. Tapi hari itu Gobar meringkuk lemah. Mukanya pucat seperti mayat. Tak berdarah.

Di kursi peron stasiun, Gobar berusaha agar tetap tenang, boleh jadi orang tak menaruh curiga kepadanya. Nyatanya tak tergambar raut tenang di wajah Gobar. Tangannya gemetar saat sebungkus kretek ia seluk dari dalam saku. Disisipkannya sebatang di bibirnya. Selagi ujung kretek itu disulut dengan pemantik―api memercik, kontan dikibas-kibaskannya tangan seraya mengusir tembakau yang terpelanting ke celananya itu.

“Babi!”

Ia mendengus. Sorot mata lelaki berambut ikal itu tajam. Urat berdenyut-denyut di pelipisnya yang biru memar.

“Biar mampus aku tak sudi diringkus sebagai copet,” gerutunya penuh kekesalan. Kembali dicucupnya kretek itu―lalu dihembuskannya dengan kasar. Asap berpulun-pulun, sebentar menyebar ke udara. Sesekali matanya menyorot waspada. Masih terngiang di benaknya kejadian beberapa menit lalu.

“Dasar copet busuk!”

“Gebukin biar mampus!”

“Jangan kasih ampun!”

“Mati lu monyet!”

Plakk... plakk... plakk... keringat mengucur membanjuri wajah hingga merembet ke pakaiannya yang telah koyak. Gobar tak berdaya. Seorang lelaki berbadan legam kemudian merangkul erat lehernya, sementara beberapa orang membabi buta melayangkan bogem ke wajah Gobar. Maka dengan gesit lelaki itu menggiringnya ke pos jaga sebelum masa mengamuk-ngamuk di tubuh kurus Gobar.

Terik matahari siang itu mulai terasa menyengat. Cahaya yang jatuh menggasak wajah Gobar yang biru memar membuatnya kian limbung. Ia melirik, berpuluh pasang mata menentang tajam penuh gairah, seolah hendak menelan tubuhnya bulat-bulat. Maka sesaat sebelum mencapai pos jaga―Gobar mengisarkan leher, sehingga wajahnya kini sejajar dengan ujung siku si lelaki, dan tekanan pada leher tengahnya dapat diperkecil.

Ia bisa sedikit bernapas. Semenjak lengan besar itu membelit di sana, napasnya sesak. Sejurus kemudian, tangannya masuk ke ganggang siku si lelaki. Lelaki itu terkesiap kala menyadari sambutan dari Gobar. Ia terus menggencet leher Gobar dengan lengannya yang jenjang.

Tapi Gobar tak putus akal, ia akan merasa terhina andaikata berhasil digelandang ke pos jaga, alih-alih menggelontor di sel tahanan. Dengan begitu nama besarnya sebagai tukang copet akan lenyap, dan berganti jadi bahan olok-olok para cecunguk ketika mabuk. Gobar tak menginginkan hal itu terjadi.

Maka dihentakkannya siku kanannya ke belakang sekuat tenaga, sehingga tepat mengenai ulu hati si lelaki. “Hekk” terdengar bunyi napas tersendat. Gobar meleloloskan diri, kemudian lari menjauh. Sekilas ia menoleh, jelas lelaki besar itu ambruk dengan napas tersenggal-senggal. Ia terus berlari, tak dihiraukannya napas yang kian memburu. Ia terus lari dan lari, maka sampailah ia di sebuah stasiun, tak jauh dari lokasinya biasa mencopet. Pasar.

Gobar meringkuk. Di jarinya terselip sisa kretek--sesekali disorongkannya ke bilah bibirnya yang hitam dan pecah-pecah.

“Benar-benar sial!”

Ia bersungut-sungut. Dikeruknya sapu tangan dari dalam saku celana, lantas disekanya keringat yang masih menempel di wajah. Dahinya mengernyit menahan perih bekas terkena pukulan.

“Anjing!”

Gobar memaki, seorang wanita muda menoleh, kemudian berlalu. Di sisi kiri bangku tempat ia meronggok, lelaki gaek komat-kamit mengobrol di telepon seluler. Di sisi kanan arah ke ujung, anak perempuan gendut menyantap sepotong sandwich dengan lahap. Mulutnya menganga lebar saat memotong roti dengan geliginya. Mendadak lambung Gobar terasa perih.

Gobar masih terhitung piawai dalam mencopet. Gerakannya yang gesit dan lincah saat menyorongkan tangan ke saku dan tas sasarannya sangat terampil, dan seantero tersiar dikalangan pencoleng kelas teri dan kelas kakap. Lebih-lebih ketika beraksi, ia selalu bermain tunggal.

Tukang copet yang biasa bermain tunggal (sendiri), sudah tergolong berpengalaman di kalangan pencopet. Siapa saja bisa menjadi korbannya. Lansia sekalipun tak ambil peduli.

Para cecunguk pasar tak ada yang tak tahu dengan Gobar. Pencopet yang licin. Barangkali itulah gelar yang dapat menggambarkan sosoknya. Tapi bagaimanapun, siang itu ia telah gagal.

Gobar terpaku di bangku peron. Pikirannya menyeruak, menerawang jauh. Pandangannya kosong. Di bawah lengkung atap peron orang-orang mulai berdatangan. Saat sore, stasiun kian padat oleh pengguna Kereta. Angin berhembus sepoi, terik matahari siang tadi terasa memanggang perlahan meredup. Kursi peron satu-satu terisi penuh.

Gobar masih meronggok di sana. Seorang ibu gemuk duduk di sebelahnya, menggendong bayi. Bayi itu tampak diam saja dalam gendongan. Gobar melirik, matanya penuh selidik. Nalurinya sebagai copet seketika muncul. Matanya liar menggeledah si perempuan gemuk. Sebuah tas merah mencolok―terapit di lengannya yang mirip bantal kapuk. Sesaat, perempuan itu menoleh dan melempar senyum.

“Kenapa mukanya kok bonyok begitu?”

Gobar sedikit terkejut. Ia tahu perempuan yang seperti ini adalah jenis perempuan yang membuka diri di lingkungan sosial, lebih tepatnya perempuan yang suka bicara. Orang seperti ini tak ada gunanya diladeni pikir Gobar. Pasti bakalan ada saja pertanyaan yang meloncat dari bibir tebalnya. Bisa-bisa kedoknya malah bisa dicurigai.

“Habis berkelahi,” jawab Gobar sekenanya. Ia ingin segera menjauh dari perempuan itu. tapi sekonyong-konyong pandangannya tertumbuk pada seorang lelaki―berdiri di sisi lain peron. Potongannya persis pekerja kantoran. Rambunya klimis, sepatu mengkilat, dan jas yang menggantung di tubuhnya terkesan perlente.

“Parlin?”

Ia menajamkan matanya, memastikan lelaki yang ia lihat adalah Parlin, teman lamanya. Tapi ia tak begitu yakin, sebab lelaki itu sama sekali tak menggambarkan sosok Parlin.

“Jaman sekarang kok masih kelahi, Mas?” perempuan gemuk masih menyanggah. Sementara Gobar terus menyelidik, lalu menoleh dengan senyum dipaksakan. Dari kejauhan terdengar bunyi terompet menjerit petanda kereta datang. Orang-rang mulai merapat ke pintu kereta. Sementara Gobar masih menajamkan matanya.

“Parlin! Benar, itu memang Parlin.”

Diamatinya Parlin melangkah menuju pintu kereta, rasa penasaran terus menyeret kakinya. Matanya tak beralih menyorot. Di dalam kereta, orang-orang telah bermunculan.

Sebagian merangsak keluar. Dari belakang ia terus mematai Parlin. Apa yang dilakukan seorang bekas copet itu di dalam kereta?

Instingnya memang tak meleset. Dilihatnya Parlin mepet pada seorang lelaki berumur--berdiri di dalam kereta yang mulai disesaki penumpang. Tangan kiri Parlin menggenggam seutas koran.

Sreett… dengan gerakan tubuh dan tangan yang lincah, sebuah telepon genggam hanya hitungan detik meloncat dari dalam saku celana ke tangannya.

“Sekali kunyuk tetap kunyuk,” sahut Gobar. Tapi nyatanya ia terkesima menyaksikan seorang copet di hadapannya itu. Parlin beringsut ke kiri. Seorang perempuan muda dengan tas yang terapit di lengan, mengalihkan perhatiannya.

Koran di genggamannya kemudian tersibak menutup pergerakan tangannya saat menerobos tas si perempuan. Ketika jari jemari lincah Parlin menyuruk masuk, perempuan itu mendelik ke arahnya.

Parlin tampak tenang-tenang saja, ia sedikit menekukkan leher dan membuang senyum seperti meminta maaf, lantas pergi begitu saja.

Gobar tersentak kaget kala terompet tanda kereta berangkat menggema di cuping telinganya. Ia menghambur keluar, tak yakin dengan apa yang telah dilihatnya. Sebagai pencopet ulung dan sudah ternama di kalangannya, Gobar merasa ditelanjangi oleh sosok Parlin, teman lamanya sesama pencopet, lebih tepat bekas kaki tangannya.

Ia tak habis pikir bagaimana mungkin bekas kaki tangannya itu menjelma seorang copet yang amat berpengalaman. Terlebih caranya mencopet begitu bersih dan apik. Cara menyiasati korban yang gagal ia copet terbilang cerdik.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Siapa yang menyangka orang berpenampilan rapi dan terkesan elegan seperti Parlin adalah seorang copet? Sekonyong-konyong membayang di kepalanya kejadian tadi siang berujung babak belur. Gobar merasa dirinya tak ada apa-apanya.

Dipandanginya gerbong kereta yang mulai menjauh, sekilas tampak meliuk seirama mengikuti bentangan rel. Tumpukan kerikil yang selaras menutupi badan jalan bergetar saat roda baja itu melindas jalur kereta.

Parlin yang dikenalnya dulu memang berbeda, saat itu Parlin masih bocah ingusan yang terjebak di lingkungan kriminal. Seorang bocah tengik. Kerjaannya menjambret ibu-ibu pulang dari pasar. Suatu kali, ia menjambret tas dari tangan ibu-ibu muda, tetapi si perempuan tak melepaskan genggamannya.

Sementara Parlin terus membabi-buta memberentang tas si perempuan, sampai-sampai perempuan itu rebah terseret-seret. Caranya yang terbilang nekat menarik perhatian Gobar. Bagi Gobar bocah seperti Parlin bisa ia jadikannya kaki tangannya―alih-alih penghasilannya bisa sedikit melejit. Di tangan Gobar, Parlin diasuh dan diajarinya cara mencopet. Kata Gobar suatu kali.

“Bila tetap ingin bersamaku, kau harus mencopet! Kau tak perlu menyakiti korban-korbanmu lagi. Mencopet itu bukan perkara mengembat barang lalu pergi. Copet pekerjaan yang mengandalkan keterampilan. Indera penglihatan dan peraba yang kau miliki harus dipergunakan dengan baik.

Karena pencopet yang handal adalah pencopet yang berhasil mendapatkan barang incarannya tanpa meninggalkan getaran sekecil apapun pada tubuh korbannya.”

Apa yang disampaikan Gobar sedikit banyak tertanam dalam diri parlin. Tapi apalah yang dilakukan seorang copet di dunia ini selain mencopet. Alih-alih mabuk sempoyongan sampai pagi. Hari-hari ia lewatkan dengan mencopet dan mabuk saban malam. Siang mencopet, malam teler. Betapa nikmat hidup sebagai tukang copet, pikirnya.

Siang itu Parlin tengah asyik mengintai seorang ibu-ibu di pasar tempat ia biasa mencopet. Tapi caranya yang gegabah dalam bertindak malah dipergoki si ibu―dan Parlin tetaplah Parlin. Meski ia tak menjambret selayaknya dulu ia menjambret, namun kelakuannya tetaplah kelakuan Parlin.

Sejurus kemudian ditodongkannya sebilah belati, sehingga perempuan itu gelagapan menyerahkan dompetnya. Kejadian itu diketahui oleh Gobar dan membuatnya marah besar. Jika Gobar berang, Parlin hanya diam.

Kasus serupa berlanjut saat ia mencopet remaja lelaki. Bagaimanapun Parlin masih terbilang amatir. Kecerobohan dan tingkah yang menggebu-gebu menjadi bumerang pada dirinya. Dompet mencuat dari saku celana si lelaki.

Parlin yang telah lama mengintai, ingin segera menyelesaikan aksinya dengan cepat. Tapi caranya yang tak pakai perhitungan membuat anak itu mendelik ke arahnya. Sebilah pisau berkilat-kilat mencacak dari balik baju Parlin―tapi tak membuat korbannya bergidik ketakutan, malah balik menyerang Parlin hingga babak belur. Selepas kejadian itu Gobar tak pernah lagi melihat batang hidung Parlin.

Di langit barat, matahari tinggal separuh. Cahayanya menyeruak―membiaskan warna kuning keemasan pada daun-daun kayu. Angin senja yang bertiup lambat, meluruhkan beberapa helai daun-daun tua. Sebentar melayang sebelum jatuh melumpuk ke atas bentangan rel.

Gobar telah meninggalkan stasiun. Pikirannya masih melayang-layang. Bagaimana mungkin Parlin yang dulu ceroboh dan gegabah, telah menjelma tukang copet yang licin dan lincah. Wajah bocah Parlin seketika membayang di benaknya, Parlin yang sering ia tonjok, Parlin yang sering ia tendang, Parlin yang dulu sering dimakinya karena selalu gagal mencopet. Pikirannya berkelebat, seketika ia merasa ditampar oleh sosok Parlin.

Sore itu udara sedikit berembun, sejak pagi, langit tak henti-henti menjatuhkan jarum-jarum air. Di emperan stasiun hanya tampak sedikit manusia. Sebagian duduk di bangku peron, sebagian tegak memandang ke kejauhan bentangan rel. Angin yang sesekali berhembus, membawa udara yang lembap menempel di permukaan wajah mereka.

Itu sudah kali ke tiga ia di sana. Ia ingin bertemu Parlin. Sudah tiga hari berlalu setelah terakhir kali ia melihatnya di stasiun itu. Namun Parlin tak pernah ada di sana. Seandainya ia bertemu dengan Parlin, ia berjanji akan menjadikan bekas kaki tangannya itu sebagi rekan kerjanya. Tidak! Bukan rekan kerja, barangkali bos besar lebih pantas. Ia yakin Parlin akan merasa senang bergabung kembali dengannya. Semenjak terakhir melihatnya, wajah Parlin terus membayang.

Malam membentang. Tak ada geriap bintang di keluasan langit―hanya tampak suram dan gelap. Dari dalam sebuah gubuk reyot, sayup-sayup terdengar alunan lagu Mabuk Judi dari pesawat radio.

“Kalau ada cewe pasti enak ya, bang?”

“Jangan membacot terus! Tuangkan semua untukku!”

“Tapi kalau ada cewe pasti lebih enak.”

“Kalau mau cewe sana pergi melonte!”

“Kalau ada, di sini lebih asik, bisa mabuk sambil goyang.

“Hahahahaha…”

“Hahahahaha…”

“Tiga hari lalu aku melihat Parlin.”

“Parlin?”

“Ya, tapi aku tak sempat bertemu dengannya.”

“Mimpi kali lu bang.”

“Mimpi kepala mbahmu. “

“Kalau ngga mimpi lalu apa? ”

“Lalu apa ?”

“Parlin udah ga ada bang.”

“Tapi aku masih ingin bertemu dengannya.”

“Jadi lu kepingin ketemu Parlin bang? Bisa.”

“Bagaimana caranya?”

“Susul ke neraka! Hahaha...”

Bangke! asal ngebacot lu setan.”

“Parlin udah lama mampus digebukin orang kepergok ngejambret.”

Malam merangkak seperti waktu yang bergerak lambat. Dua ekor cicak merayap di dinding papan bekas terbakar. Keduanya tampak saling pagut dan mengejar. Trakk!! seekor cicak menanggalkan buntutnya―menggelinding jatuh sejengkal di kaki si bocah lelaki.

 “Tambah lagi minumnya bang?”

Hening. Dalam mabuknya, wajah Parlin terus membayang.

**

Rizkia Hasmin Photo Writer Rizkia Hasmin

Aku bergegas menuju antrian panjang, sedang sakitku mesti menunggu kedatanganmu; untuk disembuhkan.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya