[CERPEN] Hukum Karma Kekasih Gelap

"Kau menuntut saya memahami, memaksa pemahaman yang tak mudah dicerna secara logis."

 

Kamu datang seumpama petir yang menyusup di langit gelap, menggelegar dahsyat, membawa muntahan kengerian yang pada sesungguhnya tak berkaitan sama sekali terhadap saya.

Pada malam manakala dua jari tangan ini berpaut, tertunduk duduk di kursi dekat ranjang kau terbaring di rawat dalam shalter, perempuan.

Sayang, saya pernah memanggilmu, "sayang." Namun sayang sekali, itu dulu... dulu, dulu sekali. Sebelum mengenal siapa dirimu sesungguhnya, sebelum segala peristiwa menyakitkan hadir ke tengah kita, berikut segala apa yang ada padamu.

"Kau menuntut saya memahami, memaksa pemahaman yang tak mudah dicerna secara logis."

“Selangkah kaki saja kamu meninggalkan bilik kita, Reg! Kau akan menemukan mayat sekembalimu!” Kamu mengancam dengan bilah belati di ujung urat leher. “Aku mati, sayang! Di depanmu! Saat Ini!”

Lelaki yang berjumpa bersamamu di masa lalu, sempat membuat dirimu tersungkur, lalu ia pergi. Entah siapa yang salah, mungkin untuk kebaikanmu....

“Dan kau datang membalut lukaku, Regan.” Kau tersedu. Mengenangkan betapa kehadiran saua pernah membersamaimu, melewati masa-masa memilukan antara kau dan dia.

Saya tidak akan beranjak dari berdiri, menatapmu meratap di atas pembaringan, merangkul seperti di keadaan masa lalu. Benak ini membaca sejarah perjumpaan kita di waktu lampau, takkan lagi nak mengulang kesalahan serupa, terpedaya oleh segala permainanmu sebagai korban. Kau pelakunya sayang, dan sayalah sebagai korban.

“Saya mencintaimu.” Kau terseguk, menderaikan air mata, yang sepertinya kau tak memahami maknanya apa. Cinta kah? Yang benar saja.

"Saya tidak tahu, sayang..." sayang sekali, sepertinya saya tidak peduli. Tapi sungguh, saya mengasihani kemalanganmu, sendiri dan terabaikan. Tapi, saya tidak bisa berbuat apapun akan hal itu, maaf!

“Aku telah meninggalkan suamiku, keluargaku, demi kamu, Regan!” Dalam ratap kau menudingkan serangkaian pledoi, bahwa dalam hal ini saya lah yang berperan atas kehancuran hidupmu yang runtuh kini.

Seperti saya memintanya sahaja?

Kau datang melimpahkan urusanmu kepada saya, seolah sanggup sahaja menanggungnya.

Kalian telah lama saling menyiksa diri, dan saya datang sebagai sahabat, mendukung dan memberikan ketenangan bahasa, agar kau merasa berharga, lalu bangkit dari keterpurukan itu.

Sayang, sayang sekali, saya tidak mengenalimu lagi.

***

Sedikit saya kisahkan sama kamu, sayang. Kemarin lusa, dia... “Iya, dia!” Suamimu! Sempat menemui saya, di bilik berjabat, sebagai tamu. Sampai-sampai, saya lupa mempersilahkan ia duduk, barangkali terkesima, tak paham mesti berbuat apa.

“Regan Farma?”

“Saya!”

Ada jeda, yang mana dia pun sama diam, saling memandang. Keheningan sesaat, kendati berasa sekian peristiwa terlampaui, hingga sampai pada keadaan, baik dia, pun saya, memahami. “Kita tidak berada di posisi yang tidak benar dalam hal ini.”

“Kamu mencintainya?” Tanya suamimu.

Pertanyaan menjebak, seumpama dijawab jujur, akan sangat melukai harga dirinya sebagai lelaki, juga suami. Bahwa, istrinya berpaling. Bilamana berkata tidak? Itu akan sangat menghina keberadaan istrinya yang telah mengorbankan kehidupannya untuk saya. Sungguh, apakah ini terdengar menjijikan?

Suamimu berbicara lebih lanjut, “Saya khawatir tuan Regan tidak memahami terlibat dengan hal apa.”

Saya diam saja, dan waktu. Oh, cepatlah berakhir. Saya sungguh tidak menginginkan keadaan ini. Percakapan dua orang dewasa yang tengah berselisih, seformal dan sesantun apapun, sungguh melelahkan batin.

Kamu yang tidak tahu apa yang terjadi, tuan! Tidak saya katakan semacam itu terhadapnya, tetap duduk, diam tak ada selera berkonfrontasi. Sementara suamimu, menjulang berdiri mematung, kendati tak ada pandangan menuding, tetap dengan ketenangan terkontrol, sama halnya saya terhadapnya, berusaha sebisa mungkin terkendali.

“Dia bahagia?” Tanya suamimu, namun seolah kalimat yang baru saja terlontar, ingin ia tarik atau ralat kembali, bukan! Mungkin bukan itu maksudnya, tidak bertanya apakah selama ini kamu bahagia bersama saya, sayang? Tepatnya mungkin, “Sepertinya ia lebih merasa aman bersamamu, tuan Regan.”

Seulas senyum terbesit, kering dan satir, seperti percikan air mata amukan yang tak boleh ia ekspresikan sebagai lelaki. Barangkali suatu ungkapan penyesalan, tentang mengapa hal ini menimpanya, kekasihnya berpindah ke lain hati. Lalu menuding, apakah saya lebih baik dari dirinya selama ini, dalam hal yang tak sanggup ia lampaui?

Ini bukan tentang superioritas, atau siapa paling jantan di antara suamimu dan saya sebagai kekasih gelapmu, sayang. “Ini tentang melangkah secara keliru, saya pahami dan saya minta maaf.”

Suamimu tertawa, tanpa suara… satir!

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Mungkin pula saya berbuat serupa jauh di lubuk hati terdalam, semua ini terasa begitu kekanak-kanakan. Seumpama sekumpulan insan saling mengisi celah kosong dalam jiwa-jiwa mereka, merana, menyedihkan.

“Saya tidak datang guna menghakimi anda, tuan.” Kalimatnya membentuk interval, sebelum menjatuhkan vonis, “Dan tidak pula bertujuan memastikan istriku bahagia bersamamu, tuan. Saya bertanya sejauh mana tekad tuan mengupayakan ia mencapai yang tak bisa ia capai bersama saya, suaminya.”

Di perhentian kalimat, suamimu membalik badan secara enggan, namun tiba-tiba bermetamorfosa mengambil bentuk exocoetidae atau ikan terbang yang melesat dari samudera Atlantik, sirip dadanya membesar, membantuk sayap-sayap membentang, memungkinkannya meluncur terbang secara singkat di udara, di atas permukaan air, untuk lari dari pemangsa, menyisakan saya sebagai gantinya.

Bayangan lelaki ikan itu melintas di balik pintu, lekas luput, meninggalkan saya seorang diri, dengan mengikat sebuah janji secara sepihak, untuk menjaggamu. Lalu lelaki ikan menukar ingsang dengan paru-paru yang mana dengannya ia bernafas di udara setelah tenggelamnya ia di samudra kalian berdua.

Ia menaruh bebannya untuk dipikulkan ke pudak saya, demi membahagiakanmu, atau membabaskan diri.

Iya, suamimu meminta saya membahagiakanmu, sesuatu perbuatan membela diri sendiri, bahwa ia tak sanggup lagi dengan semua kekhilafan yang sudah kamu perbuat bersama saya. Kendati saya sendiri tak menyakini apakah hubungan ini akan berhasil, nyatanya tidak! Kau semakin kehilangan dirimu, bahkan kini tubuhmu terkulai pasrah, dalam keadaan jiwa yang terenggut dari kesadaran hakiki.

Saya telah gagal, parahnya tak dapat mengucapkan selamat tinggal. Benar kata suamimu, “Barangkali saya memang tidak tahu sedang terlibat dalam hal apa?”

Dan kamu diam, kehilangan semua daya kemampuan menjelaskan, serupa hukum karma, kau terkutuk dan saya turut terjebak di dalamnya, parahnya mengapa saya bersedia? Menjadi kekasih gelapmu.

Maaf jika saya kejam! Dirimu, diri saya ini, tak lagi saling memandang, sebaliknya saling memunggung, menyesal.

Kau tahu bukan saya tidak peduli, "Kamu yang tidak peduli akan semua ini." Kau dengan semua penilaianmu yang mengganggu dan menyiksa diri. Seolah dunia hanya berputar di bawah kakimu, sahaja. Kau ingin melibatkan dunia, agar tahu keberadaanmu, rasamu, siksamu.

Untuk apa?

Namun, tidak kah kau sedar, mengapa selama ini saya membiarkanmu? Itu Karena bilapun menjelaskan sesuatunya, tak memberi perbezaan yang berarti. Kau hanya ingin terlihat terluka, dalam doa kepada para malaikat di lapisan-lapisan langit nun jauh di sana, berharap hadir menyelimutkan sayap-sayap hangat, lalu berbisik, “Semua akan baik-baik saja.” Penuh simpatik, serupakan wahyu nan kudus.

Saya yang tidak baik-baik saja, sayang. Saya kacau! “Kau terus sahaja melukai diri sendiri, lagi, lagi dan lagi.

Tidak ada yang dapat kita perbuat, selain tak lebih sebatas ini. Bagi saya saya sekalipun, bahkan.

Akan tetapi, saya tidak akan beranjak, tetap di sini, menyertai, tidak seperti mereka yang telah meninggalkanmu, tak menengok lagi. Pun saya mengasihani. Namun maafkan, bukan mengasihi seperti yang selama ini kau pahami, layaknya lelaki kepada perempuan, melainkan sebagai insan, kau patut dikasihani.

Apakah ini berkesan menyedihkan, atau mencemooh, menchabar kejatidirian? Dalam diam, pada ruang-ruang hening, bayang-bayang perempuan termangu, menatap gelap, saat langit hitam tak berpenerangan, tak ada bulan, pun bintang, pula matahari yang kelak masih bersedia berbagi terang membelah gelap sanubari yang diliputi sesuatu yang meliputinya.

“Mari saya bacakan sesuatu buatmu, sayang.” Saya berbisik, mata ini nak sembab, menyaksikan kau terikat ke atas ranjang, getis, dalam bilik berdinding pucat. Gerakan reranting pohon mendayu di hembus bayu. Cuaca sedang tidak baik petang ini, nampak meliuk di balik jendela-jendela.

Petir menggurat di kejauhan langit. Gemuruh menggelegar, memendarkan cahaya ke dalam ruang-ruang kebersamaan kita, absurd. Mungkin moment ini akan panjang, ....panjang dan sangat melelahkan, jatuh ke kedalaman tak bertepi.

Saya duduk membuka buku, membacakan kisah yang sama. Kamu sudah pernah mendengarnya. Setidaknya kau perlu mendengar suara-suara yang sama, suara saya. Sementara kau terbaring menatap langit-langit ruang. Jasadmu berada di sana, namun tidak pada jiwamu, seperti diculik, tak dikembalikan lagi.

Saya... (kata-kata ini lekas terputus sebelum sanggup berlanjut, mengurai kalimat) hanya, ...saya.

Saya telah kehilangan segala definisi untuk mengurai peristiwa. Telah lelah, dan tetap masih hidup untuk menyaksikan semua ini, ibarat penghukuman, kerana telah lancang melangkah di jalur yang bukan, bukan... bukan saya sekali.

Lelaki sepertiku, seperti suamimu, dan lainnya siapapun ia, akan kesulitan bercengkrama dengan air mata, dan ini menyiksa.

**

Dokter masuk melampaui ambang pintu, melangkah ke ruangan. Tersenyum di balik wajah ramah, walau kami sama-sama tahu apa makna di baliknya, hanya ramah-tamah. Dokter berkata, “Kami akan menanganinya, tn. Regan.”

Isyarat saya sudah boleh meninggalkan ruangan, melangkah ke balik pintu, setelah sebelumnya membungkuk ke ranjang kau terbaring, mencium keningmu, mengucapkan, “Sampai jumpa sayang” dan berlalu.

Malam membawa selimut kabut tebal usai hujan jatuh dari gumpalan awan hitam, dingin, hingga tiap hela nafas menghembuskan asap-asap yang samar.

Langkah kaki ini lengang di trotoar jalan kota, saat lampu-lampu merkuri mulai menyala, terus melangkah demi sebuah kewajiban atau tak punya pilihan selain menjalani karma ini?

Tak ada jawaban, atau memang sedang tak sedang mencari jawaban. “tolonglah, bicara sesuatu....” Saya mohon. Keheningan ini…. Sungguh, menakutkan.

Karma! Sang Kekasih gelap, melangkah di pekat jalan lengang yang tiada siapapun di dalamnya, selain senyap dan kesendirian.***

 

Regan Farma Photo Writer Regan Farma

life is journal

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya