[CERPEN] Kontrak Cinta

Ini tentang membangun komitmen

 

Pada senja yang berpendar cahaya oranye, tak pula saya mampu mencegah Hanna berlari dari flat, pergi. Kedamaiannya terusik oleh ketidak-pastian cinta, memutuskan hubungan yang selama ini telah terbina.

Secercah harapan yang pernah direnda bersama melewati musim demi musimnya, seolah lenyap menguap ditelan pilu. Nampak kemudian, kami berlarian di tangga darurat gedung apartment. Bahkan tak terpikir menggunakan lift. Hanna tak peduli, saya yang peduli supaya ia tetap tinggal.

“Jangan pergi Hanna,” saya membutuhkanmu lebih daripada yang kau sadari. Karena, “Saya tak ingin sendiri….”

Di tengah tangga gedung melingkar, tangani ini meraihnya, menggenggam dan mencegah ia pergi. Saya memohon. Dan ia berkata, "Untuk apa kita bersama, jika tak tahu akan ke mana!" Kalimat itu menyinggung kebersamaan kami selama ini tanpa ikatan resmi, pernikahan.

“Pada akhirnya kita hanya punya satu kalimat demi merangkum semua ini, Reg!” Selamat tinggal….

“Semua telah berlalu.”

“Bukankah selama ini kita bahagia?” Tukas saya, membela diri. Saat kalimat itu terucap, lidah kelu dan merasakan kekosongan makna di dalamnya, terhempas! Seumpama buih diombang-ambing gelombang.

“Kaulah yang tak mengerti perasaan saya, Reg!” Sambutnya, seraya menepis pegangan tangan saya atasnya, “dan apa yang bisa kau perbuat, seumpama saya harus tinggal?” Kau mengatakan seolah keputusasaan klimaks di titik nadir. “Kau diam, artinya tak ada…”

Bukan diam karena tak ada, (tak ada kata tepat untuk dibicarakan saat ini, demi mempertahankan kebersamaan kita). Dengan memilih diam, artinya tak paham mesti mengatakan atau bersikap semacam apa, sayang. Tangan Hanna terlepas, seolah melepas kepergiannya.

Perempuan berlalu, menuruni anak tangga gedung dalam keadaan pilu, menyesali pernah membuat keputusan paling bodoh, hidup bersama seseorang lelaki paling pengecut dalam cinta. Ia pernah berkata, “Kita takan selamanya muda, Reg… segala sesuatu itu ada akhirnya.”

Maafkan saya, Hanna. Saya membuat keputusan paling memilukan karena membuat keputusan tidak membuat keputusan. Dan lebih jahat telah membuat sosok mahluk indah seumpama kau, beranjak lalu diliputi kesedihan.

Sebagaimana yang kita pahami, Ini tentang membangun komitmen, ialah kendala dalam suatu hubungan yang awalnya berdasar atas sesuatu yang dangkal, kesenangan semata. Barangkali, karena kita bertemu di saat dan waktu yang keliru, sehingga saya tak meyakinimu, sebaliknya kau pun begitu terhadap saya.

Apa maksud dari ‘bertemu di saat dan waktu yang keliru?” Kau tersinggung akan kalimat itu, oleh sebab pertemuan kita di nightclub, bukan di Gereja, pertemuan keluarga, atau resepsi entah itu apa yang mana kita sama-sama merasa sahih untuk saling memperkenalkan diri ke masing-masing keluarga besar kita.

“Tidak pernah akan ada suatu peristiwa paling tepat dalam hidup manusia. Namun, hanya ada keputusan yang tepat, dan orang itu membuat keputusannya, Reg!”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Iya, pada akhirnya kita semua akan menuntut dalam suatu hubungan, sedangkal apapun itu awalnya, “Karena seorang perempuan butuh kepastian. Sementara kau merasa punya cukup banyak waktu membuat keputusan atau memilah mana yang lebih tepat, atau ini hanya bagian petualangan cintamu, Reg!”

Akhirnya pertengkaran-pertengkaran kita mengenai komitmen, telah meruntuhkan kehangatan di antara kita, sayang. Pernahkah kamu ingat, segala sesuatunya tak perlu dipikirkan besok, kala malam pertama kita bertemu, tak ada yang lebih penting dari kebersamaan, selain kebersamaan kita, apa pun bentuknya itu. Lalu tiba-tiba, kau berubah. “Semua orang berubah, Re!”

Saya tahu, namun tak ke arah yang kita pahami di awal. Berulang-kali saya merasakan betapa pasangan tak dapat mengerti. Ini tentang kesiapan mentality, tak mesti juga dipaksa… “Atau kau memang kekanak-kanakan, Re!”

“Mungkin!”

“Bukan mungkin lagi, Re. Itulah dirimu!”

Saya cinta Hanna, mestikah ada akta hukumnya? Cinta itu tentang kasih, bukan sekadar surat tertera di Catatan Sipil. Tak berarti kah perasaan saya bagimu, Hanna? Bila kau cintakan saya ini dan saya pun begitu, itulah cinta, “Sesederhana itu, Hanna.” Kalimat itu kosong, melayang-layang di benak, lalu hilang dalam kesendirian ruang-ruang hampa.

Lepas senja berlalu di flat, saya tak sanggup melepas cemas, bilamana mana hari merambat kelam semakin pekat merangsek malam, suatu fakta salah satu di antara kita menemukan diri, sendirian.

Mata ini terbuka menatap langit-langit putih, di balik selimut tubuh tengah terkulai, dan aroma malam mati rasa tercium di kehampaan emosi. “Saya cintakan kau, dan kau pun seharusnya begitu.” Seharusnya ini bukan tentang cinta, namun saling mengisi satu sama lain, dan jujur masing-masing kita terpenjara oleh ego kesepian diri, akan kebutuhan ditemani.

Komitmen formal telah sama kita anggap sesuatu yang membelenggu, dari suatu kewajiban demi kewajiban yang pada akhirnya kita penat dan jemu. Bukankah kita telah berpayah-payah membangun ikatan emosi, bukan sekedar legalitas formal? Namun kau justru mengingini kontrak cinta di atas secarik kertas legalitas hukum.

Pada kesekian kali, kaki ini melangkah ke dalam loby apartment, masih mengenakan setelah hitam berdasai, menenteng koper, sebagaimana kewajiban menjalani hari-harinya. Tangan ini menekan angka pintu lift. Saat pintu elevator terbuka, lalu melangkah masuk, lekas pintu lift tertutup, membawa saya semakin ke atas, dan ke atas.

Nampak kemudian landscape kota yang kian temaram di lansir garis-garis gelap, bersama pendaran cahaya lampu metropolitan. Ada titik gerimis mentempias gelas dinding lift yang menerawangkan pandang ke kejauhan sana dari balik sini. Titik bifurkasi, meliuk dalam bentuk chaos pada permukaan dinding kaca.

Kau bisa saja sendirian, Reg. Namunkah ada kedamaian di balik ketentraman itu? Bilamana senyap menyusup sanubari, adakala kau rindukan seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di belakang, dengan merangkulkan tangan memeluk tubuhmu, berbisik, “sayang.”

Ya, saya di sini, bersamamu menghabiskan waktu. Dan meyakinkan bahwa “hey, percayalah semua akan baik-baik saja.” Saat mata ini terbuka, punggung berbalik ke belahan pintu elevator, untuk menemukan sesuatu yang, … tak ada.***

 

 

Regan Farma Photo Writer Regan Farma

life is journal

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya