[CERPEN] Tikus-tikus Rakus

Aneh, koloni tikus itu tak maruk pada makanan, melainkan pada lembaran uang

 

Tikus jantan itu mengintip dari lubang plafon yang kian hari kian menganga sebab habis digerogoti koloninya. Matanya yang bulat kecil dan hitam itu tengah memandang nanar sesuatu di bawah sana. Tak lebih dari dua meter jaraknya, ia melihat seorang manusia baru saja membawa papan dengan seekor tikus malang yang telah menjadi bangkai melekat di atasnya. Ada yang bergemuruh di dadanya. Kematian kembali menjemput salah satu anggota keluarganya.

**

Pada dasarnya koloni tikus itu merupakan makhluk yang bodoh, dungu, tolol, bebal dan rakus. Sebab itulah Alemana merasa bahwa koloni mereka sewaktu-waktu dapat terancam menuju kepunahan. Alemana mulai menyadari hal itu setelah di suatu pagi ada seekor tikus di koloninya yang membawa kertas berwarna dominan biru dan beraroma khas di mulutnya. Kertas itu berukuran tak lebih dari tubuh mereka.

“Aku mengambil benda ini di dekat bantal. Cobalah! Benda ini benar-benar enak!”

Si tikus berhidung pesek itu kemudian meminta tikus-tikus lainnya untuk mengendus benda yang dibawanya. Katanya, benda itu memiliki wangi yang khas. Wangi yang juga dapat tercium di benda-benda lainnya yang serupa meski warna antara benda-benda itu tak seragam.

“Aku hanya berhasil mengambil satu ini,” kata tikus itu sedikit menyesal sebelum kemudian melahapnya.

“Bendua uini,” katanya lagi sambil mengunyah, “tueksturnyua muemuang suepuerti kuertuas. Tuapui,” tikus itu berhenti sejenak. Ia berusaha menelan benda yang menyumpal mulutnya. “Tapi rasanya lebih enak!”

“Memangnya ada yang lebih enak daripada kabel?” Sela salah satu tikus. Dan entah ada keajaiban apa, tak terkecuali yang barusan ragu, para tikus yang mencicipi benda itu pun mengatakan hal serupa; “Enak!”

“Itu bukan makanan, bodoh!” sergah Alemana begitu mendekati kerumunan tikus-tikus yang bebal itu. Alemana sempat mengamati dari kejauhan sebelum kemudian memutuskan untuk mendekat. Ia penasaran pada benda yang banyak menarik minat koloninya itu. Namun begitu ia menyibak kerumunan tikus dan melihat benda apa yang betapa menarik itu, ia tahu benda itu bukanlah makanan. Ia tahu betul benda apa itu. Itu adalah benda yang dianggap sangat berharga oleh manusia. Namun koloninya tak acuh. Mereka enggan mendengarkan Alemana.

“Bilang saja kalau kau mau menghabiskan benda ini sendirian,” cecar si tikus berhidung pesek. “Lebih baik kau ambil sendiri saja kalau memang mau!”

**

Di pagi yang mendung seorang istri mendadak kelimpungan ketika mendapati uang belanja untuk tiga hari mendadak hilang setengahnya. Ia bertanya kepada suami maupun anaknya, tapi tak ada satu pun yang tahu.

“Memangnya kau taruh di mana uangnya tadi?” tanya suaminya berusaha membantu.

Dengan wajah memerah dan mata yang sudah tampak basah istrinya menunjuk ke arah tempat tidur mereka. “Tadi aku taruh di dekat bantal itu,” jawabnya cemas. “Ya, Tuhan, kok bisa hilang siiih???!!”

Suaminya bertanya lagi berapa jumlah uang yang hilang. Dengan napas sesenggukan istrinya menjawab bahwa uang yang hilang itu lima puluh ribu rupiah. Dan sekarang uang belanjaannya tersisa lima puluh ribu rupiah yang terdiri dua puluh ribu berjumlah dua dan sepuluh ribu berjumlah satu.

“Uang segini mana cukup buat makan kita untuk seminggu?” Pekik istrinya lirih.

**

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tikus itu mengaku kali pertama menemukan benda yang betapa wangi itu di bawah tempat tidur. “Tapi seingatku benda yang kumakan saat itu berwarna abu-abu,” kisahnya kepada Alemana di suatu siang.

Alemana tahu bahwa yang dimaksud tikus itu adalah uang lembaran dua ribu rupiah. Dan tikus itu pun tak menyangka kalau benda-benda itu memiliki wangi yang sama sekalipun berbeda warna. Namun rasa dari setiap uang sedikit berbeda. Ia mengaku yang dibawanya kemarin berwarna biru itu lebih enak daripada yang berwarna abu-abu.

Entah bagaimana tikus-tikus di koloninya menjelma menjadi tikus yang lebih kemaruk setelah mereka mencicipi uang yang dibawa tempo hari. Kecuali Alemana, tikus-tikus itu kini selalu kelaparan dan bagai lupa rasa kenyang. Tikus-tikus itu bahkan tak ingin memakan sesuatu selain uang. Mereka hanya ingin menyantap uang dan uang. Tiada hal lain yang mereka inginkan selain uang atau hanya akan mereka muntahkan nantinya.

Kian hari perut-perut tikus itu pun kian membulat dan membesar. Lama kelamaan mereka tampak bagai tikus yang obesitas. Dan, entah bagaimana, tikus-tikus itu kini bagai terserang virus zombie atau semacamnya. Mereka tak segan menggerogoti kayu lemari yang betapa tebal sampai kawat besi demi mendapatkan makanan yang mereka inginkan; uang. Dan mereka tak segan saling menyerang demi bisa menyantap uang-uang itu.

Keanehan pada tikus-tikus itu sebetulnya juga dirasakan oleh manusia-manusia yang tinggal di sebuah rumah kontrakan. Kini hampir setiap hari mereka selalu kehilangan uang. Jumlahnya pun tak sedikit. Tak pernah terbersit di benak mereka untuk saling menuduh. Sebab mereka sadar betul jika mereka sudah menyimpan uang di tempat paling aman.

“Aku sudah menyimpan uang di tumpukan celana dalamku, tapi tetap hilang juga!” kata salah seorang penghuni rumah kontrakan tiga pintu itu di suatu pagi sehabis menyapu rumah. Penghuni yang lain pun mengeluhkan hal serupa. Bahkan ada yang sudah menyembunyikan uangnya di sela-sela halaman kitab, namun tetap saja uang itu lenyap tak lama kemudian.

Pada akhirnya para penghuni kontrakan itu pun menyadari bahwa tikus-tikuslah yang telah mencuri uang mereka. Hal itu diketahui setelah dua tikus tertangkap basah tengah berupaya menarik lembaran uang kertas dua ribu rupiah dari sebuah celengan plastik yang betapa mudah mereka koyak dengan gigi-gigi runcing. Seorang anak yang melihat itu lalu memekik dan melempari dua tikus itu dengan sendal dan sepatu dan segala apa pun yang bisa dilemparinya. Dan setelahnya ia pun mengadu kepada bapak juga ibunya yang kemudian mengadu juga kepada pengisi kamar-kamar kontrakan di kanan kirinya.

“Tak habis pikir kenapa tikus-tikus itu bisa suka dengan uang, ya?” tanya salah satu istri penghuni kontrakan keheranan.

“Mungkin tikus-tikus jaman sekarang ketularan para koruptor yang doyan uang,” sahut suaminya.

**

Di hari-hari berikutnya, di malam-malam berikutnya, Alemana pun mulai menyaksikan satu per satu kematian tikus-tikus di koloninya. Termasuk kematian kakak ke-tiga, ke-empat, ke-lima, ke-enam dan terakhir kakak ke-tujuhnya yang sudah menjadi bangkai di atas papan itu.

Sebab tersisa ia seekor di antara keluarganya―ibunya mati di suatu pagi setelah terlindas bajai hingga isi kepala dan perutnya meledak keluar saat akan menyeberang rumah, dan ia tak pernah tahu siapa ayahnya di antara pejantan tua di koloninya―ia pun bertekad untuk tidak lagi mendengar adanya kematian karena ketololan koloninya.

Alemana kemudian bertekad mengajari para tikus-tikus itu. Saat itu, dengan sedikit kesabaran dan kegeraman yang berusaha dikungkung, ia mengajari para tikus-tikus bebal itu segala sesuatu yang diketahuinya mengenai perangkap dan racun. Ia menggambarkan dengan detail seperti apa perangkap tikus yang umum digunakan manusia dan menunjukkan aroma racun tikus yang kerap dioleskan manusia ke uang mereka.

Namun pada kisah singkat yang antiklimaks ini Alemana tak pernah tahu jika ia telah berhasil menjaga koloninya dari kepunahan sebab ia keburu mati. Alemana dijemput ajal sesaat setelah ia tergoda mencicipi uang yang ditemukannya di kolong tempat tidur saat dalam perjalanan pulang sehabis menyantap roti yang telah berjamur di bawah lemari.

Mulanya ia tak mengindahkan lembaran uang sepuluh ribu itu. Namun saat itu rasa penasaran mendorongnya untuk mendekati uang itu. Mulanya ia hanya ingin tahu perangkap apa yang sudah manusia siapkan pada uang itu. Namun ia tak melihat tanda-tanda perangkap di sekitarnya. Masih waspada, ia pun mengendus uang itu. Barangkali ada racun, pikirnya. Namun tak ada sedikit pun aroma racun tikus tercium oleh hidungnya. Aneh, pikirnya, barangkali uang itu memang tak sengaja terjatuh.

Dan entah bagaimana, seolah didorong oleh rasa penasaran, maka ia pun menggigit ujung uang itu meski hanya sedikit. Ya, benar-benar sedikit. Dan... emmmm.... rasanya sungguh-sungguh lezat! Benar-benar enak! Betapa ia tak pernah merasakan makanan selezat itu!

Alemana pun melumat uang itu betapa maruknya. Namun, sayangnya, baru setengah bagian uang itu habis dilahapnya, tubuhnya mendadak ambruk dan ia berkelejatan dan busa pun keluar dari mulutnya.

Tikus malang itu tak tahu bahwa uang itu telah diolesi Sianida―racun yang tak berbau dan berasa dan betapa mematikan. Manusia yang mengolesinya terinspirasi oleh kasus pembunuhan di sebuah kafe yang diwartakan di televisi beberapa bulan lalu.***

 

Rahardian Shandy Photo Verified Writer Rahardian Shandy

Rutin menulis sejak 2011. Beberapa cerpennya telah dibukukan dan dimuat di media online. Ia juga sudah menulis 4 buah buku non-fiksi bertema bisnis. Sementara buku fiksi pertamanya terbit pada 2016 lalu berjudul Mariana (Indie Book Corner).

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya