[CERPEN] Pertama kalinya, Ayah Menangis

Wajahku tegang melihat sorot mata ayah yang membulat merah

Prang!

Mataku terbelalak menatap puing-puing pecahan gelas di lantai. Jemariku gemetar menopang keseimbangan tubuh pada ujung meja agar tak limbung. Bila jatuh, kepalaku pasti terbentur. Perintah otak dan gerak motorik tak sinkron.

Tanganku tak bisa refleks menahan tubuh saat terjatuh. Semua respon terlambat. Seakan sel-sel dalam darahku terputus separuh. Karenanya, aku telah berkarib dengan memar di kepala.

Sekian detik suara derap langkah menghampiriku. Aku menoleh. Wajahku tegang melihat sorot mata ayah yang membulat merah.

“Apa? Pecah lagi? Bisa-bisa habis semua gelas di rumah!”

Aku menelan ludah. Nyeri! Rasanya bagai menelan pecahan beling itu sendiri. Ayah menyeret tubuhku dengan kasar menjauhi meja. Satu pukulan dari telapak tangannya yang berurat kekar, mendarat di pantatku. Sakit. Tapi aku tak lagi merintih. Tubuhku sudah kebal, namun tidak dengan hatiku.

Aroma jahat merasuk dada, sukses menggerogoti hati tuk memandang ayah tak lebih dari ancaman yang membuat trauma. Untuknya, cinta itu terkikis hampir habis.

Usiaku sudah tujuh tahun, aku tak ingin terus bergantung pada ibu. Minimal untuk sekedar mengobati hausku. Kulihat, tadi ayah tengah berkutat dengan motor rongsokannya, dan ibu pastilah tengah mengambil air dari sumur belakang.

Ku sandarkan tubuhku yang belum bisa berdiri stabil pada meja, menggeser gelas dan teko yang teronggok, lalu tanganku susah payah menuangkan air.

Namun saat kedua tangan mengangkat teko, lututku gemetar. Payah! Badanku goyah hanya karena bobot teko. Spontan, tanganku beralih mencengkram meja kuat-kuat. Benjolan di kepala saban lalu saja belum kempes, aku tak ingin mendapat memar yang baru.

Namun, teko yang dilepas tiba-tiba itu menyenggol gelas. Meniupkan bunyi mencekam makian ayah yang terdengar hingga keluar.

Ibu datang tergopoh-gopoh, beristigfar. Sekilas saja ia menatapku penuh iba. Ibu membungkuk, tangannya segera memunguti puing-puing gelas yang terserak.

“Kalau gak bisa ambil minum, panggil ibumu! Bisanya cuma bikin onar! Dasar anak gak tau diuntung!” umpatan ayah menggelegar kembali.

Aku menunduk. Keinginan tuk mengungkap kronologis begitu memalu-malu batinku. Kalimat pembelaan diri hanya tercekat di tenggorokan. Adakah ayah mengerti bahwa sedikitpun tak pernah kuinginkan gelas itu pecah?

Ku beralih manatap wajah ibu yang lusuh. Aku mendesah. Ah, jangankan menuturkan kalimat, bahkan untuk sekedar mengucap maafpun, aku tak mampu.

 “Sudahlah, Pak. Mungkin tadi Hamid sudah manggil, tapi ibunya yang gak dengar,”

Selalu... Ibu tak pernah jemu membelaku. Tangan ibu menyodorkan gelas baru yang sudah berisi air putih padaku. Kepalanya mengangguk lembut, tak ada gurat marah secuilpun di wajahnya. Aku segera meneguk air itu. Ku lihat Ayah berlalu meninggalkan kami, sekilas matanya memandangku penuh benci.

Entah apa salahku. Yang ku tahu kondisi ayah runyam. Cukup sering ku pandang ayah termenung dibius angin Subuh. Tatapannya kosong. Beban berat menghimpit pundaknya. Tahun ini adalah musim terburuk bagi para petani seperti ayah.

Tanaman jagung, kacang kedelai dan palawija lainnya yang  ditanam buruh tani desaku, diprediksi gagal panen. Ayah menerka musim telah kemarau, nyatanya sudah seminggu hujan tak pula reda. Serangan hama memang tak sesporadis tahun lalu, namun anomali cuaca sukses menyesatkan pola tanam.

Terlebih pertengahan tahun lalu, hasil panen padi ayah gagal total diserang hama wereng dan walangsit. Ayah terlilit hutang. Bagaimana jika kali inipun panen palawijanya gagal? Apakah faktor itu yang menyebabkan emosi ayah begitu keras padaku?

Sekeras hidup yang menghimpit batinnya? Kesabaran ayah lenyap. Kian lama, ayah kian geram dan ringan tangan menghadapi keterbatasanku.

Sering aku meratap-ratap dalam kamar memandangi tungkai kakiku yang masih belum kuat menyangga tubuh. Aku terbiasa merangkak kemana-mana. Seperti bayi besar. Bicarapun huruf vokalnya tak jelas.

Dulu kupikir semua biasa saja. Namun melihat perkembangan anak lain yang sudah pandai berlari, melompat dan menyanyi, kusadari bahwa aku berbeda.

Ku lontarkan seribu tanya pada angin. Namun ia hanya mendesau lirihku. Hingga di suatu malam, saat aku larut dalam buaian dongeng ibu dan terpejam, kurasakan hangat telapak tangan ibu menyentuh dahiku, mengusap rambutku. Dikiranya, aku telah tertidur.

 “Sudah besar kamu, Nak. Seharusnya kamu sudah masuk SD seperti anak lain.”

Kalimat ibu terjeda beberapa detik. Begitupun belaiannya. Wanita penyabar itu, pastilah tengah mengusap airmata, sebab saat tangannya kembali mengusapku, ada tetes basah dinsana.

Jantungku bergemuruh, ada hangat yang menjalar dibalik kelopak mataku yang terpejam. Aku berusaha mengatur napas agar tubuhku tetap tenang. Ingin hati memeluk ibu erat-erat, namun ku tahan sekuat tenaga agar ibu tak henti berkisah.

Cerita ibu, dalam lelapku, mengungkap kejadian yang sudah lama ingin ku tahu. Ternyata saat usiaku menginjak dua tahun, aku mengalami penggumpalan darah di otak yang diawali dengan kejang-kejang. Cerebral Palsy telah menghambat tumbuh kembangku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Keterbatasan keuangan ayah tak memungkinkan kami melakukan terapi ke rumah sakit berfasilitas lengkap. Pun sekolah bagi murid difabel miskin sepertiku, bagai mimpi disiang bolong. Orangtuaku tak mampu menjangkau biaya sekolah inklusi.

Bagaimana pula aku dapat merangkak ke gedung sekolah? Kursi roda ku tak punya. Karenanya, Ibu memilih untuk melatihku seorang diri, dari berjalan dan berkata huruf vokal. Ibu mengajariku banyak hal, tentang Tuhan dan kehidupan.

Jika ibu bisa bersabar, berbanding terbalik dengan ayah. Menuntunku saja, Ayah selalu tak sabaran.

“Ayo cepat jalannya!”

Kurasakan tangan ayah menggenggam jemariku dengan keras, bahkan meremas. Tubuhku seakan digusur paksa. Wajahku meringis, namun kutahan agar tak mengaduh. Tak ingin ayah kesal, sekuat tenaga kupercepat langkah kaki.

Namun keseimbangan badanku malah goyah. Ujungnya aku limbung dan hampir terjatuh kalau ayah tidak menahanku. Aku memang selamat dari memar, namun harus kuterima hamburan sumpah serapah yang memekakkan telinga dari mulut ayah. Posisiku sungguh serba salah dimatanya.

Seringkali, aku mengalah pada nasib. Membiarkan mereka pergi tanpaku. Lebih baik bagi ayah untuk menitipkanku dirumah nenek daripada menyusahkannya. Aku sadar, membawaku hanya menambah beban.

Ku hempaskan jeritan hati yang tersayat saat ibu mengecupku dalam salam perpisahan di rumah nenek. Sejujurnya aku ingin memeluknya. Meneriakkan rasa tak adil yang menghardik-hardik batinku.

Namun, untuk kesekian kali, hanya lambaian tangan pasrah yang kuberikan saat mereka beranjak pergi tanpaku. Ku tahan airmata agar ibu bisa damai melangkah. Barulah saat mereka hilang dari pandangan, aku menangis sejadi-jadinya.

***

Langit memulas jingga keemasan di barat sana, memayungi ayah pulang dari membersihkan perairan sawah. Di teras rumah, tanganku sibuk memaju mundurkan mobil-mobilan yang ibu buat dari kardus bekas.

Ku lihat ayah masuk ke dalam, hendak mengambil air minum di meja. Namun belum seteguk air masuk ke mulut, tiba-tiba ayah meringis kesakitan hingga tubuhnya ambruk di lantai.

Aku terperanjat melihat tubuh ayah menggelepar-gelepar seperti ikan di daratan. Tanganku  gemetar, segera saja ku panggil ibu dengan suara parau. Namun aku lupa, ibu tengah pergi ke balai desa menjajakan dagangannya. Maka tanpa pikir panjang, kakiku segera merangkak ke halaman rumah. Memanggil siapapun.

“Pa... Pa... Pa...”

Aku tergagap meneriakkan nama papa berulang kali dengan wajah panik. Ah, sial! Tak ada yang menangkap sinyal buruk itu.  Satu orang pun tak ada yang berlalu di depan rumahku.

Bahuku melorot, namun aku tak putus asa. Pemadangan ayah yang menggelinjang  menahan sakit terbayang di pelupuk mata. Aku menggigit bibir, memutar otak. Detik itu segera saja ku berbelok keluar pagar.

Merangkak secepat yang ku bisa. Tak peduli pada kerikil dan batu tajam yang menghadang telapak tangan dan menggores lutut.

Aku terus merangkak menyelusuri jalanan desa yang beraspal namun sudah retak disana-sini akibat truk-truk besar pengangkut kayu dari hutan. Seingatku, sekitar lima rumah ke utara berdiri gardu Poskamling, biasanya disana tak pernah sepi.

Benar saja, tiga orang bapak yang usianya tak jauh beda dari ayah terkejut atas kedatanganku yang banjir keringat.

“Pa... pa... pa....”

Langsung saja tanganku menunjuk-nunjuk ke arah rumah dengan wajah panik tiada dua. Ketiga bapak itu saling bersitatap dan segera merespon laporanku. Mereka sigap dan bisa mencium ketidakberesan dari wajahku. Satu orang menggendongku dipunggungnya, dan kami tergopoh-gopoh menuju rumah. Menyelamatkan ayah.

Satu minggu sudah ayah di rawat di rumah sakit. Ibu bercerita bahwa struk telah mematikan separuh tubuhnya. Aku tak sampai hati melihat wajah ibu yang begitu kenyang mereguk ketabahan. Tubuh ringkihnya telah kebal mendulang getir gurat hidup.

Kabar tentang kepahlawananku menyebar ke seantero kampung secepat buah jatuh. Sedikit saja ayah terlambat diboyong medis, mungkin cacat tubuhnya akan lebih parah.

Sejak kejadian itu, untuk pertama kalinya ayah membelaiku, meski tanpa kata maaf ataupun ucapan terimakasih. Sebab kini, ayah tak mampu berkata-kata. Suaranya direnggut oleh nasib.

Ayah harus melatih separuh tubuhnya agar tak ikut mati rasa. Berbulan-bulan ayah mencoba mengaktifkan sebelah tangan dan sebelah kakinya. Hingga akhirnya dengan bantuan tongkat, ayah bisa berjalan meski terseok-seok.

Siang itu, ayah duduk menyandar di kursi teras. Matanya menatap sendu padaku yang bermain mobil kardus bekas sendirian. Tiba-tiba ayah menoleh ke dalam rumah, mencari ibu. Barangkali ia ingin diambilkan minum. Namun yang ku tahu, ibu sedang mengambil air dari sumur tetangga karena sumur rumah kami kering akibat kemarau.

Mau tak mau ayah bangkit, lengannya menyampirkan tongkat ke ketiak. Lelaki yang tak pernah lagi membentakku itu berjalan susah payah dengan satu kaki. Ia berusaha mengambil air dengan satu tangan. Namun keterbatasan itu membuat ayah limbung dan hampir terjatuh.

Tangan ayah berpangku pada meja, dan teko yang dilepas tiba-tiba itu menyenggol gelas hingga pecah ke lantai. Ayah mengaduh. Sejurus kemudian tatapannya beralih padaku.

Detik itu ayah menghembuskan nafas panjang yang merintih. Matanya masih menatapku dalam bisu, sebisu tubuhnya. Ayah seperti ingin berkata-kata namun bibirnya tercekat. Hanya air bening yang bergerak tiba-tiba dan membuat pipi ayah basah. Detik itu, untuk pertama kalinya ku lihat ayah menangis.

Humaira Photo Writer Humaira

Happy Mom yang suka menulis sambil ngasuh anak-anak di rumah.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya