[CERPEN] Hujan dan Kita

Kenapa hujan terkesan menyedihkan

 

“Nggak apa, Ngga!” Nara menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Entah apa yang disembunyikannya di sana. Gue menunggu. Satu telepon Nara yang langsung mengirim gue kesini tidak mampu mengungkap apapun. Mungkin cewek ini hanya butuh ditemani.

Gue menatap cewek yang gue kenal dari hari pertama gue sekolah SMA. Kadang dia terlihat lucu dan menyenangkan. Tapi dalam beberapa situasi bisa berubah serius. Selalu ada cerita seru di antara kami. Mulai dari judul buku, film bioskop yang tengah diputar, gosip di sekolah, termasuk orang yg ditaksir Nara beberapa tahun terakhir di SMA. Nara tipe orang yang terbuka dan apa adanya, mengajarkan gue pentingnya berbagi cerita dengan orang yang dipercaya. Meski untuk masalah kali ini, mungkin gue nggak cukup dipercaya oleh Nara.

Nara punya banyak teman, lain dengan gue yang menghabiskan lebih banyak waktu istirahat di perpustakaan atau menyendiri di belakang sekolah ketimbang ikut meramaikan kelas dan kantin. Menyedihkan. Tapi Nara nggak melihat gue seperti itu. Dia adalah wujud kosakata bahagia, sosok optimis, dan orang paling seru diajak ngobrol banyak hal.

“Gue harus gimana, ya Ngga?” Nara menatap gue. Gue bergeming. Menerka akan seperti apa alur yang dia ceritakan. Ini permulaan ceritanya. Selama mulutnya bercerita, gue melihat matanya bening berkaca. Baru kali ini gue melihat sisi rapuh Nara. Setiap kalimat Nara membuat gue berpikir banyak hal. Seketika kepala gue terasa sakit.

Cerita selesai, Nara menundukkan kepalanya. Dia frustasi, gue tahu itu. Gue rasa sama frustasinya dengan gue. Cerita yang barusan gue dengar mematikan seluruh reaksi gue. Yang ada gue hanya menatap Nara yang mulai terisak dari seberang meja. Gue nggak ngerti dengan apa yang terjadi antara gue dan Nara.

Tanpa Nara tahu, mungkin gue bahagia dengan cerita yang barusan gue dengar. Sebut gue jahat. Tapi memang begitulah keadaannya. Nara mungkin nggak tahu apa yang gue rasakan ke dia, nggak hanya berhenti di status teman. Mungkin gue banyak menghabiskan waktu berdua Nara. Mulai dari ngajak dia nonton atau hunting buku. Bebas keluar masuk rumah dia sesuka gue. Otoriter merombak kamar Nara yang terlihat hancur berantakan. Tapi sisi diri gue yang lain menuntut lebih. Gue pengen jadi alasan dia berangkat sekolah. Jadi orang pertama yang bakal dia ajak di promnight. Dan jadi orang yang bakal dia perjuangkan seperti saat ini. Tapi kenyataannya, bukan gue orangnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Gilang. Satu nama yang berada antara Nara dan Raya, kakak satu-satunya. Satu sosok yang membuat Nara menjadi seperti di hadapan gue saat ini.

“Kenapa harus Kak Gilang, Ngga?” Tanya Nara pada gue setengah berbisik.

Itu juga yang mau gue tanyakan sama lo, Ra. Kenapa harus Gilang? Kenapa dia yang selalu lo pikirkan, lo pedulikan, lo lihat. Kenapa dia yang jadi alasan lo semangat berangkat sekolah? Kenapa dia Ra, bukan gue? Gue bertanya dalam hati. Nggak sanggup melihat Nara terisak seperti ini.

Gue mengetuk meja pelan dan konstan. Di luar hujan. Bahkan meski setiap kali kita ketemu, hujan selalu ada. Partikel paling romantis itu nggak mampu mengubah apa yang lo rasakan menjadi untuk gue.

That's why I hate rain.. It's makes me feel sad.

 

 

Nays Photo Writer Nays

Bukan siapa- siapa

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya