[CERPEN] Aku dan Para Bedebah Dunia

Para bedebah itu sudah kutangkap

 

Dari sudut kamar ratapan, kumulai renungan ini dengan segenap kekecewaan yang ku alamatkan kepada diriku sendiri dan para bedebah yang sudah datang ke dalam hidupku bersama dosa dan kebiadabannya merusak prinsip hidup yang kujunjung selama ini.

Para bedebah itu sudah kutangkap dan kuikat di ruang gelap dan lembab. Tinggal menunggu tindakan penghakiman dari peradilan yang telah kubuat sendiri dan sudah dapat kupastikan bahwa mereka semua akan mati dengan tanganku ini.

Pengampunan? Sungguh tidak akan pernah ada! Namun, jiwaku yang sudah cukup goyah karena tindak-tanduk mereka selama ini telah membuatku ragu dan menunda-nunda masa penghakimannya. Memang tampaknya para sialan ini begitu kuat meracuni jiwaku hingga aku merasa kehilangan kekuatan akan kepercayaan yang kumiliki. Parahnya, aku malah merasakan sedikit ada kesenangan dari kesan yang mereka yang torehkan. Miris.

“Engkau memang lantang dalam menyuarakan prinsip. Namun tidak garang dalam menerapkannya. Akibatnya, prinsipmu tak ubahnya seperti sampah yang terbungkus kemasan menarik!” Sebuah seruan keras memenuhi kamar renunganku. Suara yang tidak asing dan selama ini selalu seperti itu, datang secara tiba-tiba dan selalu menghardik, tanpa basa-basi sekalipun.

Namun, aku tidak pernah berontak dengan seruan itu. Mencari  si penghujat itu dan mencoba pula menghakiminya. Karena hujatan itu memang pantas kudapatkan sebab yang ia suarakan adalah kenyataan yang ada pada diriku selama ini.

Biar ku jelaskan sedikit. Selama hidup ini bergulir dan semenjak aku mengenal dengan apa yang disebutkan dengan prinsip kehidupan. Ada banyak sekali pergolakan yang ku temui dan tak jarang aku harus ikut bertarung di dalamnya. Mulai dari perkara yang berhubungan dengan cinta, hingga idealisme berbangsa yang selama ini berbenturan antara satu sama lain dan belakangan ku ketahui bahwa benturan-benturan itu terjadi karena banyak yang beridealisme namun kurang memiliki pemahaman yang benar tentang arti kehidupan berbangsa yang sebenarnya, sehingga ego akan kepentingan begitu mudah merasuki pemikirannya.

Pada saat para bedebah ini datang dan bercokol di dalam diriku memang kuakui, kehidupanku telah bergerak bersama kemunafikan yang mengelabui idealismeku. Mereka cukup lihai dalam memainkan perannya. Ia mampu membuatku semakin terpandang di lingkunganku, lantas kemudian mulai membangun kekacauan hingga banyak pihak yang dirugikan. Sungguhpun aku selama ini bisa terselematkan dari berbagai tuntutan dan bisa keluar dari berbagai ancaman. Namun, pada titik nadir-ku sebagai manusia , aku mulai merasakan ketakutan yang sangat mendalam. Ini tidak akan lama, suatu saat, cepat atau lambat, aku akan menemui kehancuranku sendiri.

Memulai pertobatan adalah langkah awal dalam memperbaiki semuanya. Engkau akan kembali sebagai manusia yang benar, sebelum semesta mengetahui keburukan-mu. Jika tidak kau lakukan dari sekarang, sudah dipastikan kau akan dipermalukan dan menghabiskan sisa hidup dengan kehinaan. Tangkaplah para bedebah itu! Dan penggal kepala mereka satu per-satu!”,

Pertobatan! Ya, aku kembali ingat dengan seruan ini.  Inilah yang sebenarnya membuatku tersadar dan mengapa aku harus memenjarakan para bedebah ini. Mengapa aku masih menundanya, jika nyatanya aku memiliki kuasa untuk melakukan apa saja untuk parasit-parasit ini. Bukankah Tuhan menjanjikan akan memberikan ganti kebahagiaan yang sejati ketika aku berani memusnahkan kesenangan semu yang diberi oleh para bedebah ini?

“Haha!!, Kau terlalu naif, tuan! Jujur sajalah, tidak ada satupun kesenangan yang dapat kau temui melainkan apa yang kami berikan!”, Renunganku dikejutkan dengan seruan lantang dari kurungan para bedebah itu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Mari kita bernegosiasi, tuan. Kami menjanjikan kesenangan yang lebih, serta kau akan mendapatkan aura kehormatan yang lebih dari saat ini. Kau tak perlu berjuang keras menempuh jalan pertaubatan itu, karena bersama kami, kau akan mendapatkan segalanya!” Para bedebah itu berseru dan mulai menawarkan sesuatu yang cukup membuatku kembali ragu.

Ah, persetan dengan semua kesenangan ini. Aku manusia yang merdeka! Sudah sepantasnya aku bisa mencapai kebahagiaan ku sendiri, dengan caraku sendiri, dan tanpa melukai prinsipku sama sekali. Aku hanya menghamba kepada yang memberikanku hidup, bukan kepada yang menawarkan kesenangan seperti bedebah sialan ini. Mungkin saja mereka bisa memberikan kesenangan yang lebih dari apa yang pernah kudapatkan. Namun, aku yakin jika aku ikuti kemauan mereka, kehancuran yang lebih besar akan mendatangiku di kemudian hari.

“Aku akan meninggalkan tempat ini. Mencari kamar renungan lain dan menjauh dari kalian. Sejujurnya, aku masih ragu untuk melakukan pemenggalan pada kepala kalian satu-persatu. Namun...”

“ Hahaha, kau memang lemah, tuan! Sudahlah! Akui saja, kau membutuhkan kami. Tidak usah berlagak sok suci ingin bertaubat segala. Nyatanya kau sendiri masih ragu untuk memenggal kepala kami. Mau kemana kau? Menjauh dan melarikan diri? Seruan kami akan terus terngiang di pikiranmu dan kau akan kembali lagi menemui kami," salah satu di antara mereka memotong pembicaraanku. Menghujatku.

Aku terdiam sejenak, menatap mereka yang sudah menyeringai di dalam penjara. Terlihat sekali bahwa mereka sedang memperolok-olok kondisiku yang tampak menyedihkan karena diselimuti keraguan. Namun mereka salah.

 “Aku akan tinggalkan kalian di sini, dan sejenak setelah aku meninggalkan kalian. Silahkan nikmati proses kematian kalian upacara pembakaran yang akan dipimpin oleh kamar renungan ini. Memenggal kepala kalian bukanlah cara yang ampuh untuk memusnahkan pengaruh kalian di dalam hidupku. Biarlah tempat ini ikut menghukum kalian dan aku bisa menjalani proses pertobatan tanpa sedikitpun diganggu akan ingatanku kepada lain!”

Tanpa banyak bicara, aku segera meninggalkan kamar renungan bersama penjara yang telah kutempatkan di dalamnya. Sejenak kemudian, kubakar semuanya, dan biarlah para bedebah itu menikmati penghakimannya sendiri. Sekarang aku bebas, bebas sebebas-bebasnya. Aku akan merangkai kembali kehormatan hakiki yang sudah kucerai-beraikan selama ini dan memurnikan prinsip hidupku kembali.

 

 

 

 

 

Mohammad Aliman Shahmi Photo Writer Mohammad Aliman Shahmi

Seorang anak bujang yang tengah berusaha untuk bertaubat demi pengokohan prinsip yang senantiasa digoyahkan oleh perubahan zaman.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya