[CERPEN] Sekotak Cokelat Senyuman

Akhirnya aku bisa menemukannya.

Katanya cinta itu bisa datang karena terbiasa, tapi kurasa itu tdak berlaku pada setiap waktu. Buktinya aku telah berusah membuka pintu kepada orang-orang yang aku rasa ingin memasuki kehidupanku. Tapi nyatanya tidak ada seorangpun yang mampu membuat jangtungku berdebar saat melihatnya. Seperti saat apa yang pernah aku rasakan pada Daniel lima tahun lalu. Mereka bilang aku tidak bisa move on,  sebenarnya aku hanya belum menemukan seorang pengganti sesuai dengan keinginanku, aku memang pemilih tetapi perasaanku juga tidak bisa kubohongi. Sebenarnya sempat beberapa kali ada lelaki yang membuat jantungku berdebar saat melihatnya, sayangnya dia sama seperti Daniel terlalu banyak yang menyukai, karena itu aku berusaha agar getaran ini tidak akan berlangsung terus-menerus.

“Kamu mau minum apa fatma? Es jeruk?” Tanya Violla saat aku berkunjung ke rumahnya, aku memberikan jawaban dengan anggukan. Violla pergi ke arah dapur, tidak lama kemudian membawa segelas es jeruk untukku.

“Hari ini Rina akan datang juga, kita jadi ada tambahan teman mengobrol.” Ujar Violla ketika meletakkan es jeruk di atas meja dan duduk di sebelahku. Deg! Jangan-jangan Rina yang Violla maksud adalah calon kakak ipar dari tunangannnya Daniel saat ini.

“Assalamulaikum, halo Violla.” Suara seorang perempuan tiba-tiba mengagetkanku dan benar saja dia adalah Rina yang kumaksud, aku tahu tentangnya karena entah dari mana kami sudah saling follow di instagram dan Rina sering memposting foto-foto tentang Rini dan Daniel di instagramnya.

“Walaikumssalam, itu dia orangnya dateng, Rina kenalin ini Fatma, temenku.” Aku mengulurkan tangan pada Rina saat Violla memperkenalkan kami berdua. Rina lalu duduk diantara aku dan Violla.

“Permisi, assalamualaikum.” Kali ini suara seorang lelaki yang terdengar, kami melihat ke arah pintu secara bersamaan. “Hallo Violla, boleh aku masuk?” tanya lelaki yang masih berdiri di depan pintu rumah, “walaikumsalam, oh ya silakan.” Balas Violla. Aku spontan pindah ke sofa kecil di sebelah kiri yang hanya muat diduduki oleh satu orang. Lelaki itu duduk di sofa yang ku duduki tadi.

“Hallo Fatma.” Lelaki itu tersenyum padaku, keningku mengkerut, bingung.

“Dia dulu seniorku di IPB, aku sengaja mengundangnya untuk konsultasi mengenai paper yang sedang aku persiapkan. Aku pernah cerita tentan kamu sama dia.” Jelas Violla, aku mengangguk tidak terlalu peduli dengan laki-laki tersebut. toh dia tidak tampan, pikirku.

“Tapi Fatma kenal aku juga kok.” Seru lelaki tersebut

“Eh? Maaf, mungkin Anda salah paham.” Aku tidak ingin terlibat percakapan dengannya.

 “Masa kamu lupa Ma, ini foto-fotoku dulu.” Dia mengeluarkan sebuah album foto dari tasnya dan menunjunkkan album tersebut kepadaku. Aku menerima album tersebut dan mulai melihat foto-foto di dalamnya.

 “I, Ini mas Panji? Kamu mas Panji? Ko sekarang jerawtan sih beda banget sama dulu.” Aku kaget sekaligus senang. Aku masih terus membandingkan sosok lelaki yang baru aku ingat namanya itu dengan foto-foto di album keluarga kami. Ya aku juga termasuk keluarganya, karena mas Panji adalah saudara sepupuku.

Lelaki itu tersenyum sambil menggangguk, sorot matanya terlihat indah saat mata kami bertemu “akhirnya kamu ingat juga Fatma.”

Deg! Lekali yang yang beberapa detik tadi kuanggap biasa saja, tiba-tiba terlihat begitu menawan saat tersenyum dan jerawatnya yang merah serta cukup banyak itu seketika terlihat seperti bintang-bintang yang menghiasi langit malam, indah. Cukup lama kami saling menatap, dan rasanya aku tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.

“Eh mas Panji ini saudaranya Fatma ya?” Tiba-tiba Rina medekatkan tubuhnya ke arahi mas Panji, dia terlihat seperti ingin menggoda lelaki itu. Aku sebal, kualihkan pandanganku dari mas Panji kearah Violla yang sedang memandangiku dan menggerak-gerakkan kepalanya ke arah pintu keluar rumah seperti berkata, “ajak mas Panji keluar, kali ini kamu tidak boleh mengalah.” Sepertinya Violla tahu aku mulai menyukai mas Panji.

“Mas kita keluar yuk, jalan-jalan!” aku menarik lengan mas Panji, sedikit memaksanya. Ia mengikutiku. Sepertinya mas Panji senang aku ajak keluar karena mulai risih dengan prilaku Rina yang sok akrab dengannnya.

“Maaf ya, aku harus pergi dengan Fatma.” Ujar mas Panji pada Rina. “Tunggu sebentar Fatma.” Mas Panji melepaskan tangannnya dari genggammanku dan membawa sebuah kotak jingjing cukup besar yang tidak aku sadari sudah terletak di atas meja.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ini untuk kamu.” Ujar mas Panji sembari memberikan kotak jingjing tadi padaku ketika kami tepat berada di depan pintu keluar rumah.

“Eh, apa ini mas?” tanyaku.

“Itu bekal makan siang, tapi di dalamnnya ada yang lain. Kamu buka saja.” Aku membuka kotak jingjing itu. Di dalamnnya terdapat dua kotak, yang satu ukurannnya hampir sama dengan kotak jingjingannnya kira-kita sebesar 25x25 centimeter, diatasnya ada sebuah kotak kecil berukuran 10x10 centimeter. Aku membuka kotak kecil itu, isinya beberapa bungkus coklat.

“Makasih ya mas.” Seruku, “ayo kita jalan.” Kami pun pergi berjalan kaki, aku tidak tahu sebenarnya ingin mengajak mas Panji kemana. Yang penting saat ini aku bisa besama dengan mas Panji yang sepanjang jalan tidak henti-hentinya memberikan senyuman manisanya padaku.

“Kok mas Panji bisa ke sini?” tanyaku benar-benar heran dan penasaran. Sebenarnya aku heran juga kenapa bisa kami langsung akrab begini, padahal aku dan mas Panji sejak kecil tidak pernah main bersama, bahkan bertegur sapa pun jarang jika tidak benar-benar ada keharusan. Keluarga kami memang termasuk keluarga besar, nenek kami adalah termasuk orang yang cukup berada, anak-anaknya pun hampir semuanya terbilang sukses dan berada, kecuali mamahku yang menolak dijodohkan dan memilih menikahi ayahku yang berasal dari keluarga biasa saja. Setiap lebaran atau ada acara keluarga, keluargaku pasti diperlakukan seperti pembantu selalu disuruh-suruh dan identik dengan pekerjaan dapur. Sementara keluarga yang lain cekakak-cekikik di ruang tamu. Ibu pernah menyuruhku untuk bergabung dengan para sepupuku yang lain, tapi aku selalu merasa tidak nyaman mereka hanya melemparkan senyum saja padaku tidak ada yang berusaha mengajakkku mengobrol. Mereka sibuk dengan obrolan mereka sendiri. Rasnya memang seperti ada jarak diantara kami, mungkin karena keluargaku tidak sekaya keluarga sepupuku yang lain.

“Eh, kita mampir ke sana yuk.” Mas Panji tidak menjawab pertanyaanku, ia malah pergi ke sebuah toko yang menjual eskrim dan cokelat.

“Ini sepertinya enak.” Mas Panji mencicipi sebatang kecil cokelat dari etalase toko.

“Aku kira mas Panji mau beli eskrim, kalau cokelat kan ini ada.” Seruku menunjukkan sekotak cokelat pemberiannya tadi.

“Itu kan punyamu, lagian tenggorokanku sedang tidak enak.”

“Lho bukannnya kalo lagi sakit tenggorokan juga gak baik makan cokelat?”

“Oke deh, saya pesen satu cup eksrim saja. Tapi sayan minta diatasnya di kasi susu kental manis cokelat ya pak.” Pinta mas Panji pada penjaga toko. “Susu cokelat baik untuk tenggorokan.” Ujarnya padaku sambil tersenyum. Meski sedikit sebal karena lagi-lagi pertanyaanku tidak dijawab, aku tertawa mendengarnya, rupanya ia sedang bercanda. Setelah mas Panji membayar eskrim tadi, kami kembali jalan-jalan. Sepanjang jalan aku terus memperhatikannnya. Dulu mas Panji sangat tampan dengan wajahnya yang mulus, rambutnya juga selalu pendek dan rapi. Sekarang sebenarnya juga masih tampan dan rapi, kulitnya masih tetap kuning cerah hanya saja wajahnya jadi penuh jerawat dan rambut lurusnya sedikit panjang sampai menutupi telinga. Deg! Tiba-tiba tubuhku merinding dan seperti ada yang bergetar di dalam diri.

“Kamu masih belum berubah ya Fatma, kamu masih saja tidak percaya diri.” Ujar mas Panji tiba-tiba, langkahku terhenti.

“Maksudnya mas?”

“kamu kuliah jurusan komunikasi kan? Kamu sudah belajar teori transaksional komunikasi antarpribadi? I am ok, youre ok. Jangan merasa minder ya Fatma, kamu itu memang punya kekurangan tapi juga memiliki kelebihan. Kamu cantik.” Mas Panji tersenyum lagi, kali ini senyumannnya benar-benar sangat manis adan indah. Aku tidak tahu harus berkata apa untuk membalas perkataannya. Tapi aku mulai yakin bahwa aku bisa melupakan Daniel dengan mudah jika aku bersama sosok lelaki sepertinya, untuk pertama kalinya aku merasa telah menemukan apa yang aku cari.

“Te, terima kasih mas.” Ujarku kaku.

Mas Panji membalikkan badannya tepat menghadapiku, “Fatma, kira-kira jika kita menikah apakah tidak apa-apa?”

“Eh?!!” Aku kaget, mataku terbuka seketika, rupanya aku baru saja bermimpi.

Melia Rosalina Photo Verified Writer Melia Rosalina

Menulis untuk belajar.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya