[CERPEN] In Heaven

Karena bagiku, hidup tanpamu adalah sama seperti kematian itu sendiri

 

Dalam balutan cahaya matahari senja, pemuda itu berdiri di ujung jembatan. Sepertinya, dia sedang mengamati suatu hal. Ya, memang benar, pemuda berambut hitam itu tengah menatap jalan yang ada di bawah jembatan. Pikirannya melayang pada satu masa. Sebuah masa yang jika dia bisa, ingin diulangnya kembali. Namun, yang namanya takdir tak mungkin dapat diubah.

Pemuda itu menengadah, ekor matanya menatap langit. Hanya satu hal yang mengisi pikirannya: rasa penyesalan. “Andai saja,” ucap pemuda itu, masih menengadah. Dia terlihat seakan sedang berbicara pada langit. Lama-kelamaan, kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. Refleks, ia menundukkan kepalanya. Tak ingin seorang pun melihatnya dalam keadaan seperti ini.

**

Warna langit yang tadinya gelap, mulai berganti terang. Kicauan merdu burung camar telah terdengar. Rerumputan sedikit demi sedikit menjadi basah akibat tetesan embun. Kabut yang sedari tadi menyelimuti bumi, berangsur-angsur sirna. Kini, sang fajar merangkak keluar dari persembunyiannya. Memberi tanda bagi dirinya membuka mata.

Perlahan, dibukanya sepasang matanya itu. Dia segera bangun dari tempatnya beristirahat. Perlu sedikit waktu untuk mengumpulkan nyawanya kembali. Akhirnya, setelah waktu yang cukup lama, tenda berwarna biru itu, terbuka. Pemuda bermata coklat itu keluar dari tempat penantiannya. Entah sampai kapan, dia bisa bertahan dan tinggal di taman itu.

Meski dirinya terlihat seperti pemuda biasa, namun sebenarnya tidak. Dalam hatinya tersimpan duka. Hal itu terlukis jelas di wajahnya yang menyiratkan kerinduan, serta matanya yang memancarkan kesedihan mendalam. Bisa dibilang, kehidupannya saat ini sama sekali tak berwarna. Hidupnya penuh “keabu-abuan”, karena pemuda itu tak jua memulai hidup baru. Dia terjebak dalam lautan penyesalan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Pemuda itu melangkahkan kakinya, sekadar untuk berjalan-jalan mengelilingi taman. Matanya memandang sekeliling. Pemuda itu baru sadar, bahwa taman yang ditinggalinya indah juga. Seutas senyum tipis terlihat di bibirnya. Pikirannya melayang kembali ke satu masa. Namun, baru sesaat pikiran itu melintas, dia langsung menolak mentah-mentah pemikirannya itu. Seakan dia tak mau mengingat kembali memori masa lalunya.

Lelah berkeliling, pemuda itu menghentikan langkahnya. Dia lalu duduk di bangku taman. Dirinya hanyut dalam kesendiriannya. Dipejamkannya kedua matanya, mencoba merasakan kesejukan udara pagi. Belum sampai kesejukan itu dinikmatinya, tiba-tiba ia membuka matanya. Dia mengingat suatu hal. Bukan masa lalunya, namun mimpinya.

Mimpi itu, sebuah mimpi yang terasa nyata. Pemuda itu berdiri, seraya berlari ke arah jembatan. Kembali lagi ke tempat itu. Tempat dimana semuanya bermula. Tempat dimana dirinya kehilangan kekasih yang dicintainya. Seluruh kehidupannya sekarang, berawal dari tempat itu, jalan yang ada di bawah jembatan.

Sampailah pemuda itu di jembatan. Dengan sigap, dituruninya anak tangga yang ada. Matanya memandang ke depan. Seakan-akan, di depannya ada sesuatu yang teramat berharga baginya. Ternyata, dalam bayangannya, wajah gadis itu muncul. Entah itu halusinasi atau bukan, namun pemuda itu benar-benar merasakan kehadiran kekasihnya yang telah lama tiada itu.

Sepasang mata coklat itu masih terus menatap ke depan. Tanpa ada keraguan sedikit pun, ia membiarkan kedua kakinya melangkah dengan cepat. Bahkan, kendaraan yang sibuk berlalu lalang tak dihiraukannya. Dia ingin mendapati kekasihnya kembali. Meski harus mengorbankan segala yang dimilikinya, tidak masalah baginya. Asal dirinya dapat mencintai gadis itu sama seperti sedia kala.

Pemuda itu terus berlari, mengejar bayangan kekasihnya. Sampai akhirnya, bayangan gadis itu tinggal beberapa senti lagi jaraknya. Ia mengulurkan tangannya, hendak mengambil lengan gadis yang ada di depannya. Namun, saat tangan pemuda itu hampir menggapainya, suara klakson mobil terdengar. Matanya terpejam, tubuhnya terjatuh. Sekarang, jiwanya sudah tak lagi ada di dunia. Pemuda bernama Dio itu menyusul kepergian kekasihnya.

“Kalau memang aku ditakdirkan untuk tidak bisa bersamamu di dunia, maka akan lebih baik bila aku pergi ke surga bersamamu. Karena bagiku, hidup tanpamu adalah sama seperti kematian itu sendiri.”

 

Landrita Bertyiski Photo Writer Landrita Bertyiski

Just an ordinary girl who loves writing. Find me on instagram: @landritabertyiski

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya