[CERPEN] True Love

Apa itu cinta sejati?

 

Semilir angin musim semi membelai lembut rambut hitam panjangku. Aku yang kala itu tengah berjalan, secara otomatis berhenti. Aku berdiri diam di tempatku berpijak. Sejenak, aku menutup kedua mataku, sembari menghirup nafas dalam-dalam. Ah, udara musim semi selalu terasa indah untukku.

Dari keempat musim, aku paling menyukai musim semi. Bagiku, musim semi bukanlah musim biasa. Musim semi merupakan musim yang istimewa. Di musim semi, bunga-bunga bermekaran dengan indahnya. Tumbuhan yang sempat membeku, akhirnya mencair. Adanya musim semi membawa kehidupan bagi yang sempat mati. Akan tetapi, bukan karena itu saja aku mencintai musim semi. Aku memiliki satu alasan lagi; sahabat. Mungkin terdengar klise, namun itu memang alasanku.

Sahabat yang aku maksud bernama Ariana Dewi. Namanya tak terdengar seperti nama Jepang bukan? Sungguh berbeda dengan namaku—Fujiyama Akina. Itu karena Ariana memang bukan orang Jepang. Dia berasal dari Yogyakarta—salah satu kota di Indonesia—yang tentunya jauh dari tempatku tinggal, Kyoto. Ariana bisa berada di Kyoto karena program pertukaran pelajar. Kebetulan, sekolahku menjadi tempatnya belajar selama mengikuti program tersebut.

Pertama kali melihat wajahnya, aku menganggap Ariana sangat berbeda. Wajahnya tidak bulat seperti kebanyakan orang Jepang, matanya tidak sipit, dan kulitnya tidak seputih kulitku. Jujur saja, Ariana tidak terlalu cantik. Akan tetapi, senyumannya manis nan ramah, begitu mempesona.

Tidak hanya memiliki senyuman manis, peringai Ariana sangatlah sopan. Dan lagi, aku yakin bahwa dia pasti siswa yang pandai. Buktinya, dia fasih berbahasa Jepang, baik dalam lisan maupun tulisan. Semakin aku mengetahui tentang dirinya, semakin aku kagum padanya.

**

 

Aku adalah salah satu dari beberapa siswa yang suka mempelajari kebudayaan. Meski begitu, aku tak pernah berharap, apalagi bermimpi, dipilih sebagai perwakilan sekolah dalam festival musim semi. Sungguh suatu mukjizat bagiku memperoleh semua ini. Entah apa yang sekolahku lihat dalam diriku, dan mengapa aku yang dipilih, bukan orang lain. Padahal aku tahu betul ada orang-orang yang sangat ingin berada di posisiku ini.

Kedekatanku dengan Ariana bertambah sejak aku dinobatkan sebagai perwakilan sekolah. Aku ternyata dipilih untuk mengajari Ariana tentang kebudayaan Jepang, terutama Kyoto. Sebagai gantinya, Ariana mengajariku budaya Yogyakarta. Hal ini dilakukan agar kami dapat bertukar budaya satu sama lain.

“Salah satu tujuanku berada di sini adalah untuk mengenalkan budaya Indonesia—khususnya Yogyakarta—kepada masyarakat Kyoto, Jepang. Selain itu, aku juga tertarik dengan kebudayaan Jepang, apalagi yang tradisional. Oh, I love it,” seutas bibir itu membentuk senyuman, yang terlihat begitu tulus.

Aku membalas senyumannya, seraya berkata, “Aku juga penasaran dengan kebudayaan daerahmu, Ariana. Jujur, yang aku ketahui dari Indonesia hanya Tari Pendet-nya.”

Kedua pupil mata milik Ariana membesar, sepertinya dia terkejut. “Tari Pendet? Kamu suka menari, Fujiyama-san?”

Aku sedikit menundukkan kepalaku, “Iya, aku suka menari.” Ya, aku memang agak malu jika menyebutkan hobiku yang satu ini. pasalnya, aku menganggap skill menariku tak sebaik teman-temanku.

“Kenapa menunduk, Fujiyama-san?” tangan kanannya meraih daguku, lalu dia berusaha untuk menegakkan daguku yang semula menghadap ke bawah. “Aku tahu kamu pasti bisa. Oh iya, aku mau menyanyikan sebuah lagu dari daerahku. Boleh kan?”

Senyum terlukis di wajahku. Sepertinya, berteman dengan Ariana akan membuatku lebih sering tersenyum. “Tentu saja,” jawabku singkat.

Ariana mengangguk senang, kemudian mulai menghirup nafas. “Yo prakanca dolanan ning njaba, padhang bulan padhange kaya rina. Rembulane sing ngawe-awe. Ngelingake aja padha turu sore,” suara Ariana mengalun merdu. Meski aku tidak mengerti itu bahasa apa, namun aku dapat merasakan feel-nya. Aku terpana dengan caranya bernyanyi. Bukan hanya suara indah dia miliki, kemampuannya mengekspresikan lagu, berada di atas rata-rata.

Secara refleks, aku langsung bertepuk tangan usai Ariana bernyanyi. “Kamu bernyanyi dengan baik. Meski aku tidak mengerti artinya, aku bisa merasakan perasaannya.”

“Ah, benarkah? Kamu obyektif kan? Oh iya, jika kamu mau, aku bisa mengajarkanmu Tari Pendet.”

Mataku seketika membulat, aku begitu terkejut. “Benarkah?”

“Aku tidak pernah berbohong,” ucapnya sambil berkedip sebelah mata.

**

Persiapan festival musim semi terus berlanjut. Aku berencana menarikan Tari Pendet yang diajarkan Ariana. Sedangkan Ariana menampilkan Tari Kipas Odori. Aku yang mengajarkan tarian itu padanya. Meski sebenarnya, tanpa aku ajari pun, Ariana sudah menguasai tari tersebut, karena dia pernah membawakannya dulu.

Akulah yang jadi masalah. Aku tidak punya percaya diri. Aku sering hampir merasa putus asa dan ingin lari dari segalanya. Akan tetapi, Ariana selalu berkata, “Jangan menyerah. Kesempatan tak selalu datang dua kali. Jika ada kesempatan tetap di depan mata, masa kamu tidak mau mengambilnya?”

Sekarang, aku masih bertahan di sini, semuanya berkat ucapannya yang memotivasiku. “Aku akan melakukan yang terbaik!” ucapku dalam hati.

**

Akhirnya, tibalah hari dimana festival musim semi sekolah dimulai. Penampilan demi penampilan telah ditunjukkan. Hingga namaku pun disebut. Ketakutan jelas menyelimuti batinku, namun aku tidak memedulikannya. Aku sudah berlatih keras sepanjang satu bulan ini. Tidak akan kubuat satu bulan latihanku sia-sia.

Aku menaiki panggung. Ternyata penontonnya memang banyak. Aku menghirup nafas panjang, mencoba menenangkan hatiku. Dentuman musik mulai mengalun lembut. Aku pun menari sesuai apa yang aku pelajari selama ini. Usai penampilanku, aku turun panggung. Saat itulah, aku menyadari, berdiri di panggung adalah sesuatu yang membuat bahagia.

**

Aku terus dekat dengan Ariana, bahkan setelah festival selesai. Beruntungnya, homestay yang ditempati Ariana tak jauh letaknya dari rumahku. Alhasil, aku sering berkunjung ke sana dan mengajaknya keliling Kyoto. Sayangnya, waktu berlalu begitu cepat. Usai tiga bulan singgah di Kyoto, mau tak mau, Ariana harus kembali ke daerah asalnya, Yogyakarta. Aku merasa sedih, namun aku tidak bisa mencegah Ariana pergi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Fujiya- maksudnya Akina-san, senang berteman denganmu. Aku akan kembali ke tempat tinggalku. Jangan sedih, kita masih bisa mengobrol di media sosial. Atau mungkin, aku mengunjungimu suatu saat. Jadi tenang saja. Wasurenaide, Akina-san,” ucap Ariana sembari memelukku erat. Aku tak bisa berkata apa-apa padanya. Hanya lambaian tangan dan senyuman yang aku berikan untuknya.

Usai perpisahan itu, aku masih sering berbicara dengannya lewat media sosial. Seperti facebook, twitter, atau e-mail. Akan tetapi, akhir-akhir ini, aku sudah tak berhubungan dengan Ariana lagi. Entah kenapa, setiap kali aku mengiriminya pesan, dia tidak membalas pesanku. Aku sempat berpikir bahwa dia telah melupakanku, tapi aku buang pemikiran itu jauh-jauh. “Pasti Ariana sedang sibuk,” ujarku dalam hati.

Kini, aku terdiam di bawah pohon sakura yang sudah mekar bunganya. Saat-saat seperti ini, membuatku semakin merindukan Ariana. Akhirnya, aku mengambil ponselku. Aku membuka Facebook dan menulis di wall Facebook miliknya.

Hai Ariana, aku sedang duduk di bawah pohon bunga sakura. Kamu pasti ingat kan kalau sekarang musim semi? Sekarang, bunga-bunga telah bermekaran. Indah sekali. Namun, aku merasa kosong, karena kamu tidak ada di sini. Kemana kamu selama ini? Aku merindukanmu.

Pesan yang baru saja aku ketik langsung aku kirim. Aku tak peduli harus berapa lama aku menunggu balasan dari Ariana. Aku juga tak peduli kalau sebenarnya Ariana sudah melupakanku. Yang terpenting aku rindu padanya. Aku membutuhkan kehadirannya di hidupku.

Ponselku berbunyi; Facebook notification. Aku membuka kembali Facebook-ku. Aku tercengang. Ariana membalas pesanku.

Akina-san, maaf aku tidak membalas pesan-pesanmu. Tapi aku tidak melupakanmu, aku hanya sibuk kuliah. Oh iya, aku di Kyoto sekarang. Aku mengantarkan nenekku yang sedang sakit. Jika Akina-san tidak sibuk, datanglah ke rumah sakit... Ah, aku tak tahu namanya apa, yang jelas ada di Kyoto. Sudah dulu ya, Akina-san. Sampai berjumpa.

Aku terharu sekaligus senang saat membaca kalimat yang ditulis Ariana. Ternyata benar, dia tidak melupakanku. Baiklah, sekarang aku harus mencari rumah sakit itu. Aku pun berjalan cepat, sambil memikirkan rumah sakit mana yang Ariana maksud.

**

“Permisi, apakah orang asing dirawat di sini?” tanyaku pada petugas rumah sakit, sembari mengatur nafasku yang tidak terkontrol akibat berjalan cepat tadi.

“Ada. Silakan ke kanan saja, kemudian belok kiri. Nah, di sana ada beberapa orang asing. Mungkin itu yang Anda cari,” jawab petugas tersebut sambil menunjukkan arahnya.

Aku tersenyum bahagia dan hampir bergegas pergi. Namun, aku ingat untuk berkata, “Terimakasih.” Setelahnya, aku langsung berlari.

Tidak lama, aku tiba di sana. Aku mencari keberadaan Ariana, namun tak ada. Di tengah pencarianku, aku melihat beberapa orang dengan wajah asing. Aku menghampiri mereka, lalu bertanya, “Apa Anda kenal Ariana?”

Ketika aku bertanya, raut wajah mereka menjadi bingung. Aku tebak, mereka tak bisa bahasa Jepang. Setelah itu, seorang pria tua mendekatiku. Beliau berkata dalam bahasa Jepang, “Saya ayahnya Ariana. Ariana sakit jantung. Dia perlu pendonor jantung, tapi tidak ada. Sekarang, nyawanya tidak bisa bertahan lama. Oleh karena itulah, kami membawanya ke sini, untuk menemuimu, Fujiyama-san.”

Tanpa terasa, air mata mengalir membasahi pipiku. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Bagaimana mungkin Ariana pergi secepat itu?

**

Beberapa bulan kemudian..

Gadis manis berambut hitam itu sudah memakai pakaian lengkap. Dirinya siap untuk pergi ke kampusnya. Akan tetapi, sang ayah meraih lengannya, “Ariana, jangan pergi dulu. Ayah ingin bicara sebentar.”

Gadis bernama Ariana itu menoleh, “Apa Ayah?”

Sang ayah memperlihatkan sebuah amplop berwarna biru—yang adalah warna kesukaannya—sambil berkata, “Ini, ada surat untukmu.”

Ariana sedikit terkejut. Tak biasanya dia memperoleh surat. “Surat? Dari siapa?”

Ayahnya menggeleng, “Bacalah saja, Ariana.”

Anggukan kecil adalah respon dari Ariana. “Ya akan kubaca nanti malam, Ayah. Sekarang, aku pergi kuliah.”

“Baiklah, hati-hati di jalan, anakku,” sang ayah melambaikan tangan pada anaknya, yang dibalas dengan lambaian tangan dan senyum cerah.

**

Ariana merebahkan dirinya ke kasur tercintanya. Sungguh melelahkan hari ini, harus kuliah dari pagi sampai malam. Rasanya Ariana ingin langsung tidur saja. Kedua matanya sudah tertutup, namun seketika membuka kembali saat dirinya ingat suatu hal. “Oh ya, surat itu, isinya apa ya?”

Tak lama berpikir, Ariana langsung bangkit dari tempat tidurnya, lalu meraih tas yang dipakainya kuliah tadi. Sebuah amplop biru berada di genggaman tangannya. Ditemani cahaya bulan purnama, Ariana membuka amplop tersebut. Dibacanya dengan serius surat yang diberikan ayahnya tadi pagi itu.

Hai Ariana, bagaimana kabarmu? Baik saja kan? Aku merindukanmu, sungguh. Tapi aku tidak bisa terus ada di sampingmu. Maafkan aku..

Ariana, tahukah kamu arti nama Akina? Akina artinya bunga musim semi. Oh iya, masih ingat arti musim semi yang kita buat? Ya, musim semi membawa kehidupan bagi yang sempat mati.

Pertemuan kita bukanlah kebetulan, namun takdir. Aku hidup sebagai bunga musim semi. Jadi, aku pun harus sama seperti musim semi itu sendiri, membawa kehidupan bagi yang sempat mati. Karena itulah, aku mengorbankan milikku yang berharga ini padamu. Jaga baik-baik apa yang telah kuberikan padamu ya.

Salam kasih, sahabatmu

 

 

Fujiyama Akina

Tetesan air mata tak lagi dapat ia bendung. Dengan kedua mata yang berkaca-kaca, Ariana membuka jendela kamarnya. Dia menatap jauh ke angkasa, seraya berkata, “Arigatou, Akina-san.”

***

Landrita Bertyiski Photo Writer Landrita Bertyiski

Just an ordinary girl who loves writing. Find me on instagram: @landritabertyiski

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya