Jogja Sore Itu...

Aku menyesal mengapa bertemu kamu disaat yang tidak tepat. Itu saja.

Hari ini cuaca begitu cerah, libur sekolah membuatku rindu dengan murid-murid. Mereka rajin sekali sudah datang pagi, mengingat dulu aku sangat malas untuk masuk sekolah setelah libur panjang.

“Hallo, selamat pagi.” Sebuah suara terdengar sangat dekat dengan mejaku. Aku mengangkat kepala, sosok perempuan dengan kulit putih, tinggi, rambutnya lurus tergerai ke belakang punggungnya, postur tubuh yang cantik.

“Ya? Ada apa?” aku berusaha menguasai diriku kembali.

“Hmmm…tidak ada apa-apa sih, hanya mau menyapa saja, saya guru baru disini.” Wanita itu berkata anggun.

“Chris.” sahutku sambil mengulurkan tangan.

“Vena.” selebihnya aku hanya bisa memandang senyumnya dan dia berjalan menuju meja guru lain.

Hari pada saat perkenalan guru itu menjadi hari yang membuatku semakin bersemangat setiap kali berangkat ke sekolah.

“Bu Vena!” hampir saja aku tersandung.

“Ada apa, Pak?” walaupun tidak terlihat jelas, tapi aku tahu ada senyum tertahan di bibirnya.

“Maaf, Bu membuat kaget. Sebelumnya mengajar dimana, Bu Vena?”

“Oh, saya kira ada sesuatu yang penting. Dulu saya mengajar di Sokola Rimba di Flores, Pak. Sudah pernah dengarkah?”

“Hmmm…pernah tapi tidak tahu bagaimana detailnya mengenai sekolah itu.” jawabku menutupi bahwa sebenarnya itu terdengar asing ditelingaku.

Jogja Sore Itu...sggreendrinks.wordpress.com

”Sokola Rimba itu dirintis oleh Butet Manurung untuk mengajar baca tulis dan menghitung di Hutan Jambi. Sekolah itu untuk suku anak dalam, supaya mereka bebas buta huruf dan tidak mudah ditipu orang sewaktu mereka berdagang dengan orang luar. Lama-kelamaan sekolah itu berkembang sampai ke Indonesia.”

“Ohh... begini, Bu. saya hanya berpikir mungkin Ibu di sana pernah mengajarkan mengenai kesenian Indonesia, salah satunya wayang suket dari daerah Ibu sendiri. Apa Ibu tahu tempat yang menjual bahan-bahan untuk membuat wayang suket?”

“Saya tahu tempatnya.”


Hari itu, seusai kami mencari bahan-bahan wayang suket, aku mengajaknya melihat laut sambil mendengarkan lagu Sandi Sandoro yang berjudul End of the Rainbow. Kami tidak tahu mengapa seolah-olah alam mendekatkan kami berdua. Kami sering pergi bersama sekadar nongkrong di kucingan, nonton konser biola, lihat sunset dari halaman rumahku, dan melukis bersama di sebuah panti asuhan. Satu hal yang aneh dari kami berdua adalah kami sering berkomunikasi melalui email, padahal sebenarnya setiap hari juga bertemu.

Vena, guru bahasa Indonesia yang sangat menyukai seni, suka puisi, suka musik jazz, dia tidak suka budaya pop, tidak suka pergi mall seperti kebanyakan cewek lain, dan satu lagi yang aku tahu setelah dia pesan minuman adalah, dia penyuka kopi. That’s very good! Aku semakin menyukai dan mengagumi cewek itu, andai saja tidak ada Yuda, fotografer itu!

“Sampai sekarang masih sendiri aja, Chris?” aku menatap Vena, menerka mau kemana arah pembicaraan kami ini.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Iya, masih belum menemukan seseorang yang tepat.” jawabku asal.

“Seseorang yang tepat? Belum bertemu?”

Apa dia menginginkan aku menjawab bahwa dia perempuan yang aku suka? Aku telah menemukan dia tapi dia telah bersama orang lain.

“Ya, sudah bertemu, tapi dengan kondisi yang tidak memungkinkan.”

“Siapa?”

Pertanyaan itu membuatku terjepit, “Perempuan yang ada bersamaku sekarang.”

“Tapi itu tidak mungkin.” dia menambahkan, dan ini yang aku takutkan, dia memilih Yuda!

“Ya, aku tahu dan tadi aku sudah bilang, bahwa aku dengan perempuan itu ada di kondisi yang tidak memungkinkan.”

“Aku juga merasakan hal yang sama sepertimu, aku tahu apa yang kita lakukan salah, aku tahu semuanya masih bisa diperbaiki tapi kita tidak pernah mau untuk memperbaiki. Kita seperti pecandu narkoba dan kebersamaan kita adalah narkoba itu sendiri, jadi kita terus-menerus kecanduan ingin bertemu dan bersama-sama, untuk menguranginya saja rasanya susah sekali.”

“Kamu menyesal?”

“Tidak, aku tidak pernah menyesal, aku menyesal mengapa bertemu kamu disaat yang tidak tepat. Itu saja.” Dia mengusap matanya, membersihkan dari sisa-sisa air mata yang menetes.

Jogja Sore Itu...now.uiowa.edu

Hari libur kenaikan kelas aku nikmati dengan membereskan barang-barang yang akan aku bawa ke Bangka dan meninggalkan semua pengalaman yang ada disini, termasuk Vena. Rencananya hari ini aku akan berkunjung ke Jogja, ke rumah Vena dan yang sangat gila adalah dia tidak memberikanku alamatnya, hanya dengan berbekal nama orang tuanya dan nama desa saja. Dengan bantuan google earth akhirnya kutemukan juga rumah itu.

Seharian kami habiskan dengan melihat pameran seni, nongkrong di kucingan dan setelah langit menjadi gelap, kami berdua menuju ke Cafe Milas. Kami duduk berhadapan menikmati makanan ringan dan kopi yang masih hangat.

“Kamu merelakanku bersama Yuda?”

Aku menatap matanya, mengingat lekat-lekat dalam memori otakku setiap liku bentuk wajahnya.

Amare Est Gaudere Felicitate Alterius, mencintai itu mengusahakan kebahagiaan orang yang kita cintai, kalimat itu dari buku Kahlil Gibran. Jika bahagiamu bersama Yuda, ya ini usaha terakhirku untuk membahagiakan kamu.”

Aku melihat tetes air matanya, dia tidak bisa berkata apa-apa. Aku tersenyum, mengusap lembut punggung tangannya. Malam itu menjadi malam terakhir perjumpaan kami. Kami pun berpisah di persimpangan jalan.

Jogja Sore Itu...jogjasewamobil.com

Beberapa bulan kemudian setelah aku di Bangka, aku mendapat email darinya, dia bercerita bahwa Yuda telah tahu hubungan kami, karena semua email kami yang lalu-lalu terbaca oleh Yuda. Tapi Yuda tidak sekalipun menyentuh aku. Dia dengan dewasa menyelesaikan masalah itu bersama Vena. Dari situ aku yakin, Yuda orang yang hebat.

 

Mau karya tulismu diterbitkan oleh IDNtimes.com?

Jogja Sore Itu...community.idntimes.com

Yuk, tulis karya tulismu melalui IDNtimes Community! Cari tahu gimana cara submit artikelmu di sini.

Topik:

Berita Terkini Lainnya