[CERPEN] Menggantung Harapan

Kenangan itu masih saja terasa hangat walau dua tahun telah berlalu.

 

Seperti bertemu dilangit biru

Kamu dengan gaya kaku-kaku

Mengintip dibalik buku-buku

Kamu kutu buku yang beku

 

Seperti bertemu dilangit biru

Tingkah lakumu yang lucu

Menggugah perhatianku

Menjadi wanita yang lugu

Seperti bertemu dilangit biru

Langkah-langkahmu yang malu

Membuatku candu ingin mengenalmu

Membuatku rindu cinta satu

Seperti bertemu dilangit biru..

Awalnya aku tak pernah menyangka bahwa pertemuanku dengan Angga akan mengaduk-aduk rasa di dadaku setiap waktu. Mendidihkan perasaanku agar terus senantiasa hangat. Dan selalu teduh oleh tatapan hangat yang ia tancapkan ketika matanya menjepit mataku di sela waktu. Kenangan itu masih saja terasa hangat walau dua tahun telah berlalu.

Kenangan di kantin itu akan selamanya menjadi saksi perjumpaanku dengannya. Bagaimana bentuk wajah segi tiga terbalik miliknya, matanya yang sipit menyempit, bercampur dengan rona putih kulitnya, rambutnya yang dibiarkan terurai sebatas telinga membuatnya kental menjadi manusia oriental. Hanya saja tubuhnya sedikit kurus dan nampak seperti perempuan dari belakang. Tapi bagiku, angga selalu terlihat tampan.

Dari segi fisik, banyak persamaan yang membuat kami terlihat sama, bedanya aku wanita berhijab dan dia seorang pria yang hobi gondrongin rambut. Keseluruhan ciri fisiknya hampir mendekati fisikku, membuat orang lain berkata bahwa kami mirip. Itulah salah satu yang membuatku berharap bahwa akulah kelak yang akan melengkapi tulang rusuknya.

Harapan selalu dibarengi dengan usaha. Hanya saja kami menutup mata rapat-rapat kepada takdir buruk yang mungkin saja terjadi.

Kadang ibu menasihatiku dengan bijak. “Nirmala, boleh saja kalian saling mencintai begitu banyak, tapi selalulah serahkan kepada yang kuasa”.

Aku mengangguk-angguk tanpa benar-benar merenungi perkataan Ibu. Sampai pada akhirnya kami dihadapkan dengan sebuah perbedaan yang nyata setelah masa saling mengagumi berakhir.

Usai masa saling mengagumi berkabung. Aku adalah manusia yang begitu berlainan dengan Angga. Bisa dikatakan aku adalah sebuah abjad A dan dia sebuah abjad B. Beda ladang beda pula ikannya. Tentu, asal mengidentifikasi bahwa kami memiliki budaya, ras, suku yang beda.

Berkisar dua tahun lebih, kami menyamakan perbedaan itu dengan sebuah emosi, cemburu, salah paham, dan segala jenis rasa sakit yang ada di muka bumi ini. Tapi tidak ada pelajaran yang tidak membuahkan hasil. Kami menemukan satu titik temu yang membuat kita sama. Yaitu cinta itu sendiri. Kami bukan abjad A dan Z, melainkan kami adalah kita. Kita yang mengalah, memahami, melengkapi dan segala hal positif yang ada di muka bumi ini.

Angga adalah seorang animator, yang pandai membuat secercah goresan menjadi hidup layaknya kehidupan manusia. Kadang tidak jarang ia menghadiahkan aku sebuah lukisan ketika aku bersikap layaknya wanita yang diinginkannya. Karena keras kepalaku sebagai seorang anak pertama selalu menjadi sisi pahit hubungan kami. Dan dia, seorang bungsu yang selalu ingin dimanja adalah sebuah perioritas, terutama keunggulannya sebagai seorang lelaki yang ingin dihormati.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tak terasa hubungan ini telah mencapai usia 3 tahun. Keseriusannya mulai kupertanyakkan. Jika tidak serius, belum terlalu terlambat untuk berpisah, daripada hanya buang waktu saja. Di umur 3 tahun ini sangat sulit membedakan mana rasa sayang atau rasa bergantung. Keduanya samar terlihat.

Pernah kedua dari kami ingin putus karena sesuatu hal besar, namun selalu gagal. Takut kesepian adalah alasan kami rujuk kembali, melupakan lamat-lamat permasalahan agar hubungan terus survive, walaupun kami tahu, masalah ada untuk di selesaikan. Tidak jarang masalah yang sama terus menerus terulang, karena kami tidak benar-benar menyelesaikannya dengan baik karena terlampau rumit.

“Sudah jalani saja,” katanya ketika kami hendak makan malam.

“Bukan begitu, aku butuh kepastian.”

“Nanti saja bahasnya lagi, gak enak kalau ribut gara-gara ini,” Angga mengakhiri perdebatan dengan alasan sedang makan. Itu alasan favoritnya.

Kadang aku mengiyakan karena malas berdebat karena sudah tahu tak akan ada jawaban. Dia lah manusia yang menggantung harapanku tapi aku masih saja mencintainya. Entah sampai kapan.

Beberapa kali Angga ketahuan menggunakan Tinder, aplikasi cari jodoh yang sedang nge-hits, sudah satu tahun lamanya ia menyembunyikan itu padaku, akun LINE yang terkunci yang dahulu telah kucurangi terbongkor sudah. Angga bermain api di belakangku. Aku tak mampu menerimanya dan merasa jawabanku terjawab sudah. Angga tidak serius denganku.

Aku langsung pergi dari hadapannya yang kala itu sudah sangat marah, segelas air mata sudah ku tumpahkan. Angga mengaku salah dan mengejarku dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Rasanya sulit membedakan cinta dan rasa bergantung padanya. Ia melakukan apa yang harus ia lakukan. Dikliknya tombol delete akun Tinder maupun line yang di gemboknya itu.

Aku mulai menanyakan alasannya dan jawabannya sangat sepele “hanya iseng-iseng”.

Aku tidak terima tapi tidak juga mampu untuk berbuat apa-apa. Perasaanku mengalahkan logika. Bukankah akulah yang menemaninya makan setiap waktu, akulah yang menemaninya telfon dan WhatsApp di waktu jam-jam sibuknya. Hal besar yang disembunyikan mampu aku buka lebar-lebar. Nampak seperti debu, tapi siapa sangka bahwa itu bangkai yang dibungkus rapi.

Hanya dengan satu teraktiran makan di tempat yang menurutnya ia sukai telah menyembuhkan luka itu. Sangat gila memang, dalam hal ini aku mampu memaafkan sangat tulus, seharusnya aku lebih tulus terhadap orang tua ku yang sempat aku nomor dua kan karena terlalu mencintainya. Terlalu mencintai orang lain hanya akan menimbulkan sesuatu kekecewaan.

 

Irma Indah Sinarwulan Photo Writer Irma Indah Sinarwulan

Beauty person is us

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya