[CERBUNG] Reuni Merah Bag. 5

Pohon meranggas itu....

Sulit sekali rasanya memercayai penglihatanku sendiri. Mimpikah ini? Telaga itu, barisan bukit yang mengelilingi tiga sisinya, tanah landai di sebelah barat telaga tempat kami dulu mendirikan kemah, kontur perbukitannya, pepohonannya, semak belukarnya, semuanya masih sama seperti yang terekam dalam ingatanku dan tersimpan rapi selama ini. Apa maksudnya ini? Untuk apa kami dibawa kembali ke tempat ini? Siapa yang merencanakan?

Ini mimpi buruk. Dan kuharap benar-benar hanya mimpi.

Tolong segera bangunkan aku, Tuhan...!

“Reyna!” Seseorang memanggilku.

Sejenak jantungku seperti tersengat ketika orang yang memanggilku itu mendekat. Tapi hanya sejenak. Ya, hanya sejenak. Situasi ini terlalu rumit. Bahkan sosok itu, sosok yang biasanya mendominasi pikiranku, yang akhirnya mengajakku bicara untuk pertama kalinya semenjak pertemuan kami kembali dan seingatku ini juga pertama kalinya dia memanggil namaku dengan cara yang benar, tak mampu mengalihkan kebingunganku.

Segera, seperti yang orang itu lakukan, kembali kupandangi hamparan telaga di hadapan kami dengan rasa tak mengerti.

“Ini... kok bisa?”

Aku mengangkat bahu. Andai itu bukan April, tentu aku sudah bicara banyak, mengeluarkan timbunan unek-unek dan kepanikanku. Tapi kepadanya aku masih menyimpan berbagai perasaan, jadi aku hanya menunjuk saja ke sebuah bangunan yang posisinya ada di belakang kami. “Itu vilanya!”

Sama sepertiku tadi, dia pun terpana memandangi bangunan itu. Sebuah bangunan besar dan megah yang berdiri anggun menghadap telaga.

Sejak kapan ada vila di sini? Dan kenapa harus membangun vila di tempat yang menyimpan sejarah buruk ini? Otakku rasanya penuh sesak dengan ketidakmengertian dan ketakutan. Dan karena kehadiran April kuanggap tak akan membantu, kutinggalkan saja si tengik itu tanpa bicara apa-apa lagi.

“Bangun, temen-temen! Bangun!” Teriakku sesaat setelah memasuki minibus yang terparkir di pinggir jalan depan vila. Dulu jalan ini pun hanya berupa jalan setapak. Sepertinya pemilik vila membiayai sendiri pengaspalan dari tempat terpencil ini hingga terhubung ke jalan utama kecamatan. Siapakah orang itu sebenarnya? Sekaya apa dia?

“Feb, bangun Feb!”

Febri menggeliat malas saat kugoyang-goyangkan lengannya. Aku heran dengan ke-kebluk-an para penumpang minibus ini. Bagaimana bisa mereka tak terjaga sedikit pun sampai busnya berhenti sekian menit lalu? Ini pun rasanya tak wajar. Jangan-jangan mereka dihipnotis.

Ketika mereka mulai tergeragap, mengucek-ucek mata, mengumpul-ngumpulkan ingatan, memandang bingung ke sekeliling dan mengernyitkan dahi. Aku menyingkir ke bibir tebing, duduk memandangi telaga yang permukaannya merefleksikan kelabunya langit penghujung Desember.

Firasatku tak kalah kelabu. Permainan apa ini? Konspirasi macam apa yang sebenarnya tengah berlangsung? Apa yang nanti akan menimpa kami?

Satu per satu orang-orang yang kubangunkan mulai turun dari minibus. Beberapa di antaranya masuk ke minibus lainnya dan membangunkan para penumpangnya yang juga masih tertidur. Semuanya tertidur, huh? Benar-benar sulit kumengerti.

**

Aku terkagum-kagum mengamati interior ruangan utama yang memiliki langit-langit tinggi dengan plafon berbentuk segi enam artistik di bawah kubahnya. Dua belas buah kamar mengapit di sisi kiri dan kanan, berhadapan tiga-tiga, enam di lantai dasar dan enam lagi di lantai atas. Sebenarnya ini vila pribadi atau resort sih? Besarnya seperti fasilitas umum saja.

Ruang depannya pun sangat luas, lebih seperti lobi bioskop daripada ruang tamu vila milik pribadi. Di sana diletakkan sofa-sofa panjang berwarna coklat susu, permadani tebal berwarna biru tua yang nyaris menutupi seluruh lantai ruangan, sebuah TV layar datar berukuran besar, juga bantal-bantal empuk yang berserakan di mana-mana.

Sebuah lukisan pemandangan mendominasi salah satu sisi dindingnya. Jambangan besar berisi tanaman hias kering melengkapi di salah satu sudut, menambahkan kesan manis yang minimalis.

Di lantai duanya, tepat di atas ruang duduk tersebut, ruangan yang tersisa  setelah deretan kamar-kamar dibiarkan terbuka menjadi balkon luas yang sepertinya sengaja didesain untuk tempat bersantai menikmati pemandangan telaga.

Beberapa meja kayu kecil berukir, kursi-kursi rotan cantik dan berbagai macam tanaman hias diatur dengan apik. Siapa pun akan betah duduk di sana berlama-lama. Dan tak perlu berjalan memutar untuk turun ke halaman depan, ada tangga yang langsung menghubungkannya.

Bangunan tambahan di belakang memiliki lantai lebih tinggi dibandingkan bagian depannya, dibangun mengikuti kontur tanahnya yang memang sedikit menanjak. Perlu menaiki lima anak tangga dari lantai dasar untuk mencapai bagian itu, yang tersekat-sekat lagi menjadi beberapa ruangan, yaitu dua kamar untuk pengurus vila, sebuah ruang penyimpanan, dapur, kamar mandi dan tempat cuci.

Halaman depan vila tidak begitu luas, namun tertata sangat asri. Hampir setengah dari jenis-jenis tumbuhan yang ditanam di situ adalah tumbuhan lokal. Ada cemara, bonsai pinus, berbagai macam pakis, suplir, tumbuhan benalu yang biasa hidup di pohon besar, anggrek liar, bunga-bungaan hutan, juga strawberry liar. Cantik, terkesan alami namun teratur.

Belum puas melihat-lihat sekitaran vila, Ibu pengurus vila sudah mengumpulkan kami untuk mengatur pembagian kamar. Jumlah kami seluruhnya 58 orang, 30 orang laki-laki dan 28 orang perempuan. Jadi masing-masing kamar mendapatkan 5 penghuni, kecuali pada deretan kamar perempuan.

Ada dua kuota yang kosong. Harusnya dari dua kamar yang tersisa, mereka bisa membaginya rata empat-empat. Tapi dengan sendirinya Dita, Maria dan Ayu menguasai satu kamar untuk bertiga saja. Dan tidak ada yang protes untuk hal itu. Aku maklum, siapa pun tentu enggan tinggal sekamar dengan mereka bertiga, yang artinya harus menjadi minoritas.

Secara otomatis aku, Maya, Syifa, Febri dan Fatia menjadi room-mate. Kami memilih kamar lantai atas di ujung depan supaya dekat dengan balkon yang cantik itu. Ternyata kamarnya luas, sudah dilengkapi kamar mandi di dalamnya. Tempat tidurnya ada dua, diletakkan berdampingan. Yang satu berukuran king, satunya lagi lebih kecil. Ada sebuah sofa panjang juga. Intinya, kamar ini lebih dari cukup untuk dihuni berlima.

“Wah, bener-bener beruntung kita ini ya!” Pekik Fatia sebelum menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur yang lebih besar. Covernya berwarna putih, dengan bantal-bantal empuk berwarna abu-abu tua.

“Bener-bener kebanjiran harta nih yang punya vila,” sambung Syifa sambil iseng membuka pintu kamar mandi.

“Nggak rugi ya kemarin dateng ke reuni. Coba Rein kalau kemarin kamu nggak dateng, pasti nyesel,” tambah Maya berbinar.

“Aku belum pernah masuk rumah sebagus ini,” kata Febri, polos.

Sementara itu aku duduk membisu di atas sofa seberang tempat tidur tanpa melibatkan diri dalam celoteh mereka. Semua orang bersuka cita, tak ada yang merasa aneh. Padahal jelas sekali kalau segala hal di sini begitu pas dengan jumlah dan keperluan kami, seolah sejak jauh-jauh hari sebelum dibangun vila ini memang sudah dirancang untuk mengundang kami. Ya, hanya untuk mengundang kami.

Ketika tingkah polah teman-temanku semakin membuat mood-ku memburuk, aku memutuskan keluar dari kamar untuk melihat-lihat keadaan lebih cermat lagi, siapa tahu akan kutemukan petunjuk baru. Entah apa, tapi aku yakin sesuatu yang tidak beres akan terjadi di sini, sesuatu yang sudah direncanakan dengan rapi dan sistematis.

Setiba di ruang tengah, ternyata di sana telah ditata banyak meja dan kursi seperti di restoran. Ada juga sebujur panjang meja prasmanan di salah satu sudutnya. Beberapa meja lagi masih dalam proses pengusungan oleh para pekerja lelaki yang juga tak banyak bicara. Perabotan itu didatangkan dari arah luar. Aku sempat melihat satu unit bangunan terpisah semacam gudang sekaligus garasi di halaman samping, kurasa dari sanalah semua ini berasal.

Rencanaku untuk melihat-lihat tidak terlaksana karena situasi tak mendukung. Ruang tengah terlanjur ramai, makan siang sudah disiapkan.

Sebagian orang ada yang membawa makanannya ke ruang depan dan balkon atas. Aku sendiri termasuk orang pertama yang langsung membawa makananku ke atas. Kupikir dari balkon itu aku bisa lebih leluasa memeriksa sekeliling dan menemukan sesuatu.

“Hai Reyna!” Sapa Danu yang baru saja datang, langsung mendekati meja yang kutempati. Kedua tangannya membawa piring makanan dan segelas air putih.

“Hai juga!” Balasku tersenyum.

Aku menikmati makananku sambil bercakap-cakap dengannya. Lama tak bertemu membuat obrolan kami sangat panjang. Hingga orang-orang di sekitar kami menyudahi makan kemudian meninggalkan balkon, aku dan dia tetap bertahan.

“Mau ikut turun ke telaga nggak setelah ini?” Tawar Danu sembari membersit ujung bibirnya dengan tissue.

“Ke telaga? Nggak takut emangnya?”

“Takut kenapa?”

Takut kenapa? Ya, tak ada jawaban yang pasti untuk itu. Semua orang tampak normal. Pastilah hanya aku saja yang paranoid.

“Ehm, kamu tau siapa sebenernya yang punya vila ini?” tanyaku kemudian, memilih untuk mengabaikan topik sebelumnya.

“Nggak harus tahu juga, kan? Rendy kan udah bilang, orang itu nggak pengen disebut namanya.”

“Kenapa?”

“Enggan menyombongkan diri, mungkin.”

“Masuk akal. Tapi kenapa dia harus bawa kita ke tempat ini?”

“Karena vilanya ada di sini.”

“Itu dia. Dari sekian banyak tempat cantik di dunia, kenapa dia harus milih tempat ini?”

“Ini soal selera, Reyna. Apa salahnya?”

“Tapi di sini kan dulu...,” sahutku mendadak ragu. Tepatkah memilih Danu untuk mendiskusikan soal ini?

“Soal Keyla?” Tebak Danu terlihat geli.

Aku mengangguk gelisah.

Bersamaan dengan anggukanku, terdengar suara langkah kaki menaiki tangga dari arah halaman. Aku menunda ucapan yang sudah siap kulontarkan, khawatir jika orang lain mendengar kekhawatiranku, nanti akan menimbulkan masalah.

Dadaku bergejolak ketika menyadari sosok macam apa yang muncul dari arah tangga.

April!

Dia pun nampak terkejut melihat kami. Ada sorot yang aneh di matanya.

“Hei, Pril!” Sapa Danu bersahabat.

“Hai!” Balas April menyunggingkan seulas senyum yang terlihat dipaksakan.

“Udah makan belum?”

“Udah,” jawabnya datar saja dan langsung berlalu ke dalam tanpa basa-basi.

Ada apa dengannya? Setahuku biasanya dia cukup dekat dengan Danu.

“Soal Keyla,” Danu menyambung lagi pembicaraan kami sebelumnya, “hanya karena dia hilang di sini, nggak lantas bikin tempat ini jadi terlarang buat kita, kan? Lagian ‘kan itu udah lama banget. Aku ngerti kok perasaanmu sebagai temen terdekatnya, tapi cobalah untuk berpikir positif!”

Berpikir positif? Dengan mimpi-mimpi yang menghantuiku itu? Meski pun tidak dapat dihubungkan dengan semua ini secara logika, tetap saja sulit bagiku untuk menikmati begitu saja liburan ini seperti orang lain menikmatinya. Dan satu lagi, momen ini juga bertepatan dengan penghujung tahun, sama persis seperti hari ketika Keyla menghilang.

“Jadi, mau ikut nggak?” Ulang Danu memangkas diamku.

Aku menggeleng. “Aku mau mandi. Mungkin ntar nyusul.”

“Jangan parno!” Ujarnya sambil mengetuk keningku dua kali dengan ujung telunjuknya sebelum pergi.

Vila mulai sepi. Teman-temanku berduyun-duyun turun ke telaga. Kebetulan hari ini tidak turun hujan meski pun langit penuh terselubung awan.

Saat aku melintasi ruang tengah untuk menaruh piring kotor bekas makanku, Febri membisikiku sesuatu. “Lihat, Rein! April ngelihatin kamu tuh!”

Deg!

“Di mana?” Tanyaku menahan debaran tak beraturan di dadaku.

“Di koridor lantai atas. Seberang kamar kita.”

Aku menoleh ke arah yang diberitahukan Febri dengan sejuta grogi. Ya Tuhan, benar! Dia berdiri di sana dengan kedua tangan menumpu pada pagar koridor, memandangiku dengan tatapan yang sulit kumengerti.

Aku sedikit salah tingkah dan besar kepala, memang. Tapi logikaku masih dapat bekerja. Untuk apa dia memandangiku seperti itu? Setelah barusan berlagak tak acuh ketika bertemu aku dan Danu di balkon atas. Mungkinkah ada sesuatu yang perlu diwaspadainya dariku? Mengenai segala skenario ini? Karena dia tahu aku curiga?

Astaga!

Mungkinkah manusia tengik itu terlibat di dalam permainan ini?

Dikarenakan sikap April yang sepertinya mengawasi gerak-gerikku, aku jadi tidak merencanakan apa-apa sore ini. Setelah selesai mandi dan berbenah diri, aku bermaksud tidur-tiduran saja di kamar.

Sekujur tubuhku terasa letih, padahal aku tidak melakukan aktivitas fisik yang berat kemarin. Efek streskah? Dan terasa semakin menggelisahkan karena aku takut tertidur. Aku khawatir sesuatu akan terjadi saat aku tidur, sama seperti di perjalanan tadi.

Suasana vila masih saja sepi. Mereka belum juga kembali dari telaga sejak usai makan siang tadi. Apa yang membuat mereka sebetah itu berlama-lama di sana? Tak nyaman sendirian di dalam bangunan asing ini, aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke luar.

Tiba-tiba suatu ingatan mengusikku. Pohon meranggas itu. Pohon yang beberapa kali muncul di mimpiku. Sepertinya lokasi itu adalah punggung bukit sebelah timur telaga.

Kuikuti jalan depan vila yang lurus ke arah timur dengan pikiran yang mempertanyakan kewarasanku sendiri. Untuk apa sebenarnya aku memastikan keberadaan pohon itu? Itu ‘kan hanya mimpi. Mana mungkin pohon itu betulan ada? Namun entah mengapa kakiku tidak kompak dengan pikiranku, terus saja melangkah ke sana.

Sekitar sepuluh menit berjalan, di depan sana jalan yang kulalui agak menikung ke kiri. Sebelum sampai di belokan itu, aku celingukan memeriksa ke belakang. Pikiran paranoidku mengingatkan bahwa mungkin saja aku sedang diikuti seseorang dan sebagainya. Tak cukup beralasan, sih. Nyatanya toh tidak ada siapa-siapa di belakangku, tidak nampak sesuatu pun mencurigakan, yang kudapati justru pemandangan menakjubkan di telaga nun di bawah sana.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Permukaan telaga beriak halus, berwarna jernih kehijauan. Tanah landai di sebelah baratnya yang ditumbuhi pepohonan cemara jarang-jarang itu nampak ditebari sosok-sosok kecil teman-temanku. Sebelum melanjutkan langkah, kusempatkan sejenak untuk memotret pemandangan itu dengan kamera ponselku.

Hm, baru sekarang aku tersadar bahwa sejak tiba di sini tadi belum sekali pun terpikir olehku untuk mengabadikan momen, tak seperti mereka yang sudah entah berapa kali jeprat-jepret selfi. Ah, sebegitu sibuk dan ruwetkah isi kepalaku?

Selesai mengambil beberapa gambar, aku berbalik ke arah semula sambil memeriksa lagi hasil jepretan kameraku. Praktis, walau langkahku pelan, aku jadi tidak waspada dengan situasi di depanku. Tahu-tahu, sudah ada seseorang berdiri tepat di hadapanku, nyaris saja aku menubruknya.

Aku terlonjak kaget, dan semakin kaget setelah mengetahui siapa orang itu.

April lagi?

“Udah tahu ada orang, kenapa nggak minggir sih?” Omelku di antara degup jantungku yang agak kacau.

“Mau kemana?” Tanyanya kalem saja tanpa mengacuhkan omelanku.

“Bukan urusanmu.”

Aku bersiap meneruskan langkah, tapi manusia menyebalkan itu tidak memberiku jalan. “Aku tanya. Mau ke mana?” Ulangnya, entah mengapa terdengar sok protektif.

Aku malas menjawab, hanya sedikit mendengus.

“Sebaiknya kamu nggak pergi-pergi sendirian.”

“Kamu juga pergi sendirian,” balasku cepat.

“Aku lain.”

“Kenapa bisa lain?”

“Karena aku cowok.”

“Ssh, alasan yang aneh,” sinisku.

“Pokoknya jangan pergi sendirian!” Larangnya tegas.

“Terus, mesti ditemenin kamu, gitu? Makasih,” jawabku ketus, kemudian menyerobot melalui sisi tubuhnya untuk meneruskan langkah.

“Jangan keras kepala, Reyna!” Tegurnya terdengar jengkel. “Lebih baik kamu gabung aja sama yang lain, tempat ini bahaya.”

Sejenak kuhentikan langkah dan mengamatinya penuh selidik. Sejak kapan dia suka mengkhawatirkanku? Bahaya, katanya? Benar-benar aneh.

“Bahaya kenapa?” pancingku pura-pura kurang tanggap.

“Kamu inget kan apa yang terjadi sama Keyla?”

K-E-Y-L-A.

Mendengar nama itu disebut olehnya, ada yang terasa berkobar di dalam dadaku. Ya Tuhan, masih saja... Sudah tahun berapa sekarang? Kapan aku bisa berhenti berpikir konyol?

“Oh, karena Keyla toh. Tapi bukannya Keyla itu hilang karenaku? Kenapa kamu sekarang jadi mengkhawatirkanku? Kan aku penjahatnya.”

See? Masih saja mulutku menyuarakan dengan sengit sindiran menggelikan macam itu.

April tak langsung menjawab, tapi tatapnya padaku terlihat sangat aneh. Entah apa itu, yang jelas bukan karena mempersoalkan kalimatku barusan. Bukan soal itu, ada sesuatu yang lain.

“Lupain soal itu, ayo balik ke vila!” Ucapnya datar, tapi bernada memerintah. Dipegangnya pergelangan tanganku dan segera ditariknya menuju arah yang berlawanan dengan yang kutuju.

Refleks, dengan gerakan kasar, aku menghempaskan pegangannya. “Lupain katamu?” ulangku marah. Setelah semua yang dilakukannya padaku?

“Reyna, denger...”

“Aku tahu!” Potongku cepat. “Ya, tempat ini bahaya. Then what? Aku nggak akan ngerugiin kamu kok. Semua risiko kutanggung sendiri. Jangan kuatir!”

“Bukan begitu, Rey.”

“Diem! Nggak usah urusin aku dan tunggu aja sampai aku berhasil buktiin kalau Keyla hilang bukan karenaku!”

“Aku tahu.” sahutnya tenang. Sangat tenang. Tapi darahku malah mendidih dibuatnya.

“Kamu tahu?”

“Ya. Aku tahu bukan kamu pelakunya,” jawabnya tetap tenang. “Kamu nggak perlu buktiin apapun. Ayo balik ke vila!”

Ya Tuhan! Orang ini sungguh...

“Kalau emang tau, terus kenapa kamu nuduh aku?!” dampratku frustrasi.

“Aku udah berhenti nuduh kamu sejak lama, kan?”

“Apa bedanya? Berhenti nuduh, tapi kelakuanmu...”

Ah, kenapa aku malah mengajaknya bernostalgia? Ke mana perginya kemampuanku mengendalikan diri? Tidak, jangan sampai dia tahu kalau perasaanku masih sama. Cepat-cepat aku meneruskan langkah.

“Selesein bicaramu!” Seru April di belakangku.

Aku tak peduli.

“Reyna!”

Aku terus melangkah.

“Sebenernya kamu mau ke mana sih?”

Mengapa suaranya terdengar tetap dekat di belakangku? Dia menguntitku?

“Jangan ikutin aku, tolong!” Sergahku sambil membalikkan badan dalam sekali sentak.

Dia berhenti. Posisinya berdirinya sekitar dua meter di hadapanku. Ekspresi wajahnya datar saja. Tapi atas amarahku yang meletup-letup ini, sepasang mata itu malah  memandangiku lekat, dan... terlihat seperti menyimpan banyak hal.

Aku tak tahu apa itu, tapi aku merasa lemah dipandangi seperti ini olehnya. Sambil memalingkan muka, terpaksa kulunakkan intonasi bicaraku, bahkan kali ini bernada memohon. “Aku cuma mau jalan-jalan ke desa. Tolong biarkan aku sendirian.”

**

 

Jalan yang kuambil ini ternyata tidak melalui sepanjang punggung perbukitan seperti seharusnya. Atau, baiklah, maksudku adalah ‘tidak seperti yang kuinginkan’. Ya, aku memang berharap segala sesuatu di sini akan cenderung membantuku untuk menemukan hal-hal seperti yang kulihat di mimpi. Konyol sekali.

Saat jalan ini menurun ke arah tenggara, terpaksa aku naik menerobos hutan. Agak sulit medannya, semak belukarnya lumayan lebat. Jenis tumbuhannya beragam dan jarak antara satu sama lain tidak beraturan.

Setelah melalui perjuangan yang cukup merepotkan, akhirnya sampai juga aku di atas tebing sebelah timur telaga. Sisi bukit ini sangat terjal, nyaris tegak seperti dinding jurang. Sambil sesekali melongok ke bawah, kulanjutkan langkahku ke arah selatan dengan ekstra hati-hati.

Pada suatu titik, aku terhenyak ngeri. Ternyata di bawah semak-semak tebal yang menggelayut di atas tebing itu terdapat cadas yang permukaannya tidak rata, nampak licin berlumut berkilat-kilat. Jika sampai aku tergelincir ke bawah, sebelum disambut air telaga tubuhku harus menyapa tonjolan-tonjolan bebatuan itu lebih dulu. Ugh, tak terbayang akan seremuk apa jadinya nanti.

Sekelebat tanya menyinggahi benakku. Apakah mungkin Keyla terjatuh di sini? Secara logika memang tak masuk akal. Malam itu dia berjalan ke utara menyusuri jalan desa. Lagipula polisi sudah kenyang menyelidiki semua sudut di sekeliling telaga. Lantas kenapa latar belakang mimpiku tentangnya selalu memperlihatkan tempat ini?

Benar tempat ini, kah? Yakin tak yakin kuedarkan pandang ke sekelilingku untuk memastikan.

Tiba-tiba lensa mataku menangkap sesuatu. Bulu kudukku meremang. Ini sulit dipercaya.

Pohon itu... Pohon meranggas itu...

Kuatur napasku yang mendadak memburu. Keringat dingin menerobos keluar melalui pori-pori dahi, telapak tangan dan sela-sela jari kakiku. Tubuhku mulai gemetar. Aku takut. Aku merasa tak sanggup menghadapi hal absurd ini seorang diri. Haruskah aku berlari kabur?

Kuhela napas dalam-dalam, mencari-cari dan menghimpun keberanian yang seolah menyebar kocar-kacir ke seluruh penjuru tubuhku. Aku harus bisa mendekati pohon itu. Aku harus mencari tahu ada apa di sana. Entah mengapa aku begitu yakin Keyla menginginkanku memeriksa pohon itu, mengisyaratkannya melalui mimpi atas seizin Tuhan.

Pohon itu meranggas, tapi sepertinya tidak mati. Batang, dahan dan rantingnya tak secuil pun terlihat lapuk atau pun kering. Mungkin itu adalah jenis pohon yang menggugurkan daunnya pada musim tertentu, entah pohon apa namanya. Letaknya persis di bibir tebing, bahkan separuh dahan dan rantingnya menjulur ke atas telaga.

Dengan langkah pelan, aku mendekat. Dahan terendah pohon ini masih bisa dijangkau dengan tangan. Di dahan itulah Keyla duduk, di dalam mimpiku. Tapi tak mungkin dia duduk di dahan itu lalu jatuh dan tenggelam, kan? Dia tak mungkin sanggup menaiki dahan setinggi itu. Dan lagi kalau pun tenggelam, harusnya jasadnya diketemukan. Atau, jangan-jangan ada buaya hidup di bawah sana?

Cukup lama pohon itu kuamati, semuanya nampak wajar sebagaimana umumnya pohon. Hm, jangan-jangan benar apa kata penduduk desa, Keyla telah diculik sekawanan kelong wewe. Dan pohon itulah kerajaan mereka. Temanku itu masih ada di sekitar tempat ini, tapi di alam yang berbeda.

Aku bergidik. Hal-hal gaib memang tidak dapat secara nyata dibuktikan; tapi seandainya memang benar, aku pun tak sudi hilang secara konyol di tempat ini seperti Keyla. Dan semoga mimpi-mimpi aneh itu bukan berarti Keyla menginginkanku menemaninya. Aih, sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari sini.

Aku sudah hendak berbalik, tapi ekor mataku menangkap sesuatu. Ada lubang besar di pangkal pohon itu, pada sisi yang menghadap ke tebing. Pelan aku melangkah maju. Sambil berpegangan pada batang tumbuhan semak di dekatnya, kulongokkan kepalaku untuk dapat lebih jelas mengamati lubang itu.

Ternyata lubang itu menganga lebar hingga ke bawah akar tunggang. Bukan benar-benar lubang pohon, hanya semacam rongga yang terbentuk karena aliran air, namun melapukkan dan mengikis sebagian pangkal batang. Mungkin sebenarnya di dalam situ ada mata air kecil, hanya saja airnya tidak muncul ke permukaan karena langsung merembes ke bawah.

Kuamati lebih dekat rongga itu. Banyak akar berserabutan di dalamnya, juga batu-batu yang berjejal-jejal. Khawatir ada ular yang bersarang di sana, cepat-cepat kutarik kembali kepalaku.

Rongga itu bukan satu-satunya. Di sisi samping batang pohon, terdapat juga sebuah lubang dengan ukuran lebih kecil. Iseng-iseng kumasukkan tanganku ke dalamnya. Ujung jariku merasakan sesuatu, terselip di celah kecil, seperti... apa ya? Gulungan kertas?

“Ini yang namanya jalan-jalan ke desa, ha?”

Ya, Tuhan!

Suara teguran itu membuatku terlonjak kaget. Ternyata April telah berdiri di belakangku.

Huh, harusnya aku tidak heran kalau dia mengikutiku. Kenapa kupikir dia akan patuh?

“Ngapain kamu di sini?” omelku kesal.

“Pertanyaan itu punya aku!” ia balas mengomel. “Apa yang kamu lakuin di sini?”

“Bukan urusanmu!”

Kutinggalkan tempat itu sambil berpikir keras. Ada gulungan kertas di dalam lubang pohon. Dan April sepertinya mengawasiku, bahkan sempat mencegahku mendatangi tempat ini. Benarkah dia adalah salah satu dalang di balik semua keanehan ini?

Jika dipikir-pikir lagi, ada alasan masuk akal mengapa dia harus menyingkirkan Keyla. Cintanya pada sahabatku itu cenderung fanatik, sementara Keyla hanya menyukai Danu. Cinta yang tidak dewasa bisa menyebabkan seseorang bertindak nekat, bukan? Lihatlah wajahnya saat berpapasan dengan Danu di balkon tadi, sangat terlihat tidak rileks.

Tuhan, ada rahasia apa sebenarnya di balik semua ini? Dan apa yang harus kulakukan?

 

***(bersambung)

 

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya