[CERBUNG] Reuni Merah Bag. 3

Semerah masa lalu, semerah misteri itu, semerah hatiku padamu

 

Wajah sekolahku masih sama seperti dulu ketika kutinggalkan, hanya pohon-pohon filiciumnya saja yang sudah semakin menjulang. Di bawahnya tetap terhampar rerumputan tebal, tempat dulu kami biasa duduk-duduk menghabiskan sisa jam olahraga sambil menikmati es teh manis dan cemilan.

Dadaku berdebar-debar aneh sejak bangun tidur tadi. Perutku tegang. Aku merasa tak nyaman, gelisah tak karuan. Hanya karena seorang April? Menyebalkan! Semua itu sudah lama berlalu, tapi aku seperti baru saja jatuh cinta.

Rasanya usiaku bukan 22 sekarang, tapi baru menginjak 15 tahun. Aku mendadak kehilangan kepercayaan diri, kehilangan kemampuan untuk mengendalikan ketenangan, gugup bukan main seperti ABG pada kencan pertamanya.

Tadi di rumah, aku butuh satu jam lebih hanya untuk memilih baju. Aku dihantui ketakutan entah apa. Sepertinya aku...., yeah, ada ambisi yang tumbuh sendiri dari dalam diriku dan merambat liar tanpa dapat kukendalikan. Ambisi untuk menarik perhatian April. Oh Tuhanku!

Kamarku sudah berantakan, tapi pada akhirnya aku hanya mengenakan kemeja kasual motif kotak-kotak biru-putih dan jins warna abu-abu gelap. Rambut lurusku kuikat ekor kuda dan poniku yang sudah agak kepanjangan kubiarkan tergerai di dahi. Selebihnya aku tak mampu lagi merapikan baju-baju yang berserakan di atas tempat tidur saking gugup dan tegangnya. Biar nanti sajalah, toh ibuku yang suka mengomel itu sedang tidak ada di rumah.

Langkahku terhenti sejenak di depan pintu gerbang. Rasa pahit kembali terbayang manakala kuingat hari itu, hari perpisahan kakak kelas angkatan April.

Acara sudah usai, tapi aku menunggu di sini karena aku tahu para seniorku masih banyak yang belum keluar dari aula. April salah satunya. Banyak rasa yang sukar kujelaskan berkecamuk di hatiku kala itu. Aku tak siap kehilangan April, meski sesungguhnya dia memang bukan milikku.

“Makan bakso yuk di alun-alun!” ajak Syifa pada saat kami berjubel-jubel berebut keluar aula bersama siswa-siswi dari kelas lain dan para tamu undangan setelah acara usai.

Konsentrasiku yang pecah tidak langsung dapat menangkap ajakan itu.

“Reyna!” Syifa sampai harus menepuk keras pundakku supaya aku memerhatikannya.

Dari jauh kulihat Febri, Fatia dan Maya menunggu kami di bawah pohon flamboyan depan lab. komputer. “Jadi makan bakso nggak?” tanya Fatia bersemangat sembari menghampiri kami.

“Ada perayaan apa?” tanyaku sama sekali tidak antusias.

“Biasa, baru gaet cowok tajir baru,” jawab Maya mewakili.

“Harus sekarang ya? Aku nggak bisa ikut. Lagi kurang enak badan.”

“Bagian mananya yang sakit?” Selidik Fatia langsung mengamatiku seksama. Ini dia, mereka selalu ingin tahu sampai ke hal-hal paling detil, pantang ada rahasia. Kadang terlalu merepotkan mempunyai teman-teman seperti mereka.

“Mm, sedikit pusing dan mual,” terpaksa kutambahi lagi kebohonganku.

“Kalau emang lagi kurang sehat, ya udah pulang aja Rein. Perlu aku panggilin ojek?”

“Nggak usah,” gelengku cepat menolak tawaran Febri. “Kalian duluan aja, aku mau ke koperasi dulu beli minyak angin.”

Seperti yang kuinginkan, mereka pergi lebih dulu tanpa curiga pada kebohonganku. Dan di sinilah aku sepeninggal mereka, duduk  di pagar tembok rendah sebelah luar pintu gerbang, menunggu April dengan harapan yang tak dapat kuyakini.

Bukankah lebih baik mencoba daripada menyesal nanti-nanti? Walau sepertinya mustahil, aku tetap berharap April sudi merendahkan hati, mengakhiri perseteruan dengan satu kata maaf sebelum pergi.

Namun sungguh pahit, saat dia keluar belakangan seorang diri, harapanku meleleh lebur dalam tangis tertahanku. Dia melenggang begitu saja melewatiku, angkuh, bahkan tanpa melirik walau sekilas. Dan aku, maaf saja, bukan aku yang memulai, jadi tak kuizinkan dia berharap aku duluan yang mengajak damai.

Hari berlalu tanpanya. Aku tersiksa karena terus merindukannya. Perasaanku hampa. Tak ada lagi sosoknya yang biasa kucari-cari dengan sudut mataku, tak ada lagi yang kehadirannya kutunggu setiap pagi dengan dada berdebar, tak ada lagi yang kucuri pandang setiap kali melintas di depan ruang bekas kelasnya. Mataku terus gelisah mencari sosok itu, tapi dia sudah tak ada.

Di kantin, di lapangan basket, di masjid, di bangku dekat pos satpam, di tempat parkir, di perpustakaan, di mana pun tak ada. Aku masih sangat membencinya, tapi juga kesulitan melalui satu hari saja tanpa melihatnya.

“Reyna!” Pekik seseorang membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh. Di sana nampak beberapa orang teman sekelasku. Setelah heboh saling bertanya kabar, mereka mengajakku masuk. Berikutnya kami disibukkan dengan kehebohan yang sama saat satu per satu wajah yang kami kenal bermunculan.

Di rerumputan dekat jajaran pohon palem akhirnya kutemukan Syifa, Maya, Febri dan Fatia. Dan mereka langsung histeris menyambutku, berebut memeluk seperti baru menemukan anak hilang.

“Kerempeng,” ejek Fatia menyebalkan.

“Langsing,” koreksiku cepat.  

“Terlalu langsing. A.k.a. kurus kering,” bantahnya ngeyel.

“Jauh lebih baik daripada Cemplukwati.”

Semua langsung terbahak, kecuali Fatia tentu saja, yang bersungut-sungut sampai bentuk bibirnya runcing seperti mulut ikan sepat. Cemplukwati adalah julukan untuknya, yang gemar makan sampai kekenyangan hingga perutnya buncit.

Acara baru akan dimulai setengah jam lagi. Ocehan ramai mereka sejenak dapat merilekskanku dari ketegangan tak jelas itu. Obrolan hangat kami mengalir diselingi tawa berderai sesekali. Syifa menceritakan pacar barunya yang katanya adalah seorang polisi.

Fatia tak mau kalah, dia mengaku sudah menjalin hubungan serius dengan seorang anggota DPRD. Dan ketika sampai pada giliran Maya, semua tampak berekspektasi tinggi. Berhasil menggaet siapakah si pemilih berselera selangit ini?

“Cuma pegawai kantor biasa. Mantan temen kuliah,” jawabnya malu-malu.

“Ganteng?” Tanya Fatia serta-merta. Rupanya walau mereka tinggal sekota, Maya masih merahasiakan perihal kekasihnya itu.

“Sama. Aku juga pengen nanya itu.”

“Sama. Aku juga.” Febri menimpali.

Me too.” Syifa mengamini.

Maya terlihat gugup. Mukanya bersemu merah. “Nggak, biasa aja,” jawabnya salah tingkah.

“Gantengan mana sama Danu?” Todong Fatia tanpa ba-bi-bu.

“Ada fotonya?” Kejarku.

Maya belum sempat bereaksi, tahu-tahu Syifa sudah merebut ponselnya. Maya kelabakan dan berusaha merebutnya kembali, tapi tentu saja kalah gesit. Syifa dengan lincah berkelit setiap kali Maya mendekat. Dan sambil berkelit itu aktivitas mencari-cari foto di dalam ponsel Maya tak terganggu sedikit pun.

“Wah, ini dia! Mirip Herman!” Seru Syifa girang ketika berhasil mendapat apa yang diinginkannya.

“Coba lihat!” Pinta Fatia penuh minat.

Syifa menyerahkannya. Aku dan Febri segera merubung. “Ini sih emang Herman kali, udah ganti potongan rambut,” kata Febri.

Aku menatap Maya menuntut jawaban. Yang kutatap malah memalingkan mukanya yang merah padam.

“Bener, May?” Selidik Syifa.

Herman adalah kawan sekelas kami sebelum penjurusan. Sangat kebetulan, di tahun terakhir Maya dan Herman sekelas lagi. Di bangku kuliah pun kabarnya mereka tetap sekelas.

Sebenarnya Herman sudah tergila-gila pada Maya sejak awal tahun pertama, tapi tentu saja ditanggapi dingin saja oleh si ‘selera selangit’ itu. Jangankan Herman, Hendra yang jauh lebih ganteng saja ditolaknya. Di dalam list incaran Maya hanya ada Danu. Atau mungkin untuk selain Danu, dia hanya dapat menerima jika levelnya sama.

“Kalian jadian?” Todong Fatia dengan bola mata nyaris meloncat keluar.

“Emang kenapa? Herman juga manusia,” jawab Maya nampak tersinggung.

“Lho, yang bilang Herman bukan manusia itu siapa? Kok sensitif sekali ya,” sindirku sengaja menggunakan bahasa dan intonasi yang formal.

“Jangan malu, May! Kan Herman juga manusia,” imbuh Syifa menyebalkan.

“Ya, aku jadian sama dia. Emang kenapa?” Aku Maya ketus pada akhirnya.

“Gimana ceritanya?”

“Yakin itu beneran cinta? Bukan emosi sesaat karena senewen ngejomblo terus?”

“Atau sekadar pelarian?”

“Jangan bilang kalau itu cuma asas manfaat kayak yang dilakuin Syifa ya!”

Maya menutup kedua telinganya dengan telapak tangan sambil menunduk, seperti tengah berlindung dari serangan bom. “Satu-satu dong kalau nanyaaaaaa....!” Jeritnya.

Begitulah. Sangat ajaib. Seorang Maya Septiani mengaku lelah dengan standarnya yang ketinggian. Dia semakin merasa tua, semakin merasa harus nrimo dan bersyukur masih ada yang tulus mencintainya. Dan akhirnya perjuangan keras Herman tak sia-sia, Maya menerimanya.

Tapi kami berempat tersenyum geli pada bagian dia merasa tua dan harus nrimo itu. Masih saja begitu. Sejak remaja memang dia selalu merasa terbebani dengan usia; selalu merasa tua hanya karena wajahnya keibuan, selalu memaksakan dirinya bersikap dewasa, yang jadinya malah menyebalkan.

“Sekarang Febri...,” potong Maya mengalihkan topik seputar dirinya yang aku yakin membuatnya jengah itu.

Kupikir Febri akan sama jengahnya dengan Maya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dia tersenyum-senyum dengan pipi merona.

“Dia ditunangin tuh sama cowok yang selama ini diem-diem disukainya. Kalian pernah tau cowok yang punya toko di depan gang rumah kami, kan? Nah itu dia orangnya,” jelas Fatia tanpa diminta. Mereka memang tinggal di RT yang sama.

Yang lain kontan menyelamati dan menggoda Febri. Maya menjawil-jawil dagunya, aku bersiul-siul, Syifa menodong minta ditraktir sambil menggelitiki pinggangnya. Baru setelah Febri menyanggupi akan mentraktir kami makan sate kambing di alun-alun usai reuni nanti, mereka berhenti dari sifat jahiliyah itu. Dan lalu....., yeah, giliranku.

Aku membuang muka sebal saat mereka berempat menghujaniku dengan tatapan menuntut penjelasan. “Aku jomblo, tidak sedang pedekate dengan siapa pun, available buat siapapun yang berminat. Oke? Paham? Nggak ada yang perlu dipertanyakan, kan?”

Available buat siapapun yang berminat?” Cibir Maya, “Bukannya dari dulu cuma available buat satu orang doang? Dan tetep orang itu-itu aja?”

“Maaf, itu privacy,” jawabku sok dingin.

“Hei Rein, itu dia!” bisik Fatia tiba-tiba sambil menunjuk takut-takut ke arah aula. “Dia ngelihatin kamu.”

Deg!

Perutku menegang lagi, darahku berdesir hangat, jantungku berdetak cepat. Aku gugup, takut untuk melihat ke sana. Tapi penasaranku menggunung, ingin tahu seperti apa sosok itu sekarang. Dengan perasaan tak menentu, aku mengikuti ke arah yang ditunjuk Fatia.

Dan di sanalah dia, bertengger pada salah satu dari deretan motor yang terparkir di lahan khusus staf dan guru, lokasinya tepat di sebelah aula. Mengenakan t-shirt­ abu-abu, jeans biru gelap dan sepatu kets yang didominasi warna putih; rambutnya bermodel sasak ala idola KPop. Ya, Tuhan. Kenapa dia terlihat semakin menarik? Dan getaran ini..., tak ada yang berubah. Perasaanku masih sama, jarak dan waktu tak mampu mengikisnya.

“Udah sono deketin!” Saran Maya ngawur.

“Nggak ada saran yang lebih bodoh dari itu?” Sahutku sebal. Apa dia tidak melihat April sedang bersama siapa? Mantan anak-anak sok berkuasa itu ada di sekitarnya, tengah ramai berceloteh dan bergurau. Bahkan tawa keras mereka saja sudah terdengar menjengkelkan.

“Jangan jual murah ding, biarin aja dia yang nyamperin kemari!” Cegah Fatia percaya diri. Ya, percaya diri, mewakiliku. Mana mungkin April akan melakukan itu? Bodoh.

“Nggak akan ada samper-menyamper. Baik dari pihakku mau pun pihaknya,” jawabku malas.

Untunglah dari pengeras suara terdengar himbauan kepada hadirin yang masih berada di luar untuk segera menempatkan diri di dalam aula. Acara akan segera dimulai. Dengan begitu aku selamat dari hal-hal konyol yang mungkin dilakukan oleh teman-teman usilku untuk mencampuri urusanku.

 

**

Lumayan, acaranya cukup seru. Baiklah, aku tidak jadi menyesal telah hadir di reuni ini. Mengenai April..., sudahlah lupakan saja! Kuanggap saja bonus pemandangan.

“Mohon perhatian! Mohon perhatian! Kepada teman-teman yang mendapatkan undangan berwarna merah, harap tetap tinggal di dalam ruangan! Sekali lagi, yang kertas undangannya kebagian yang berwarna merah, harap tetap tinggal di ruangan! Jangan pulang dulu, karena kalian adalah peserta yang telah terpilih secara acak untuk mendapatkan doorprice dari sponsor.”

Pemberitahuan melalui pengeras suara itu menahan sebagian orang untuk tidak segera keluar dari gedung aula, termasuk aku. Doorprize? Undangan warna merah? Jadi tidak semua undangan dicetak di kertas berwarna merah toh.

“Ya, teman-teman, apa kalian sudah mengecek ulang warna kertas undangan kalian? Kalau sudah, silakan ditunjukkan undangannya kepada bagian pencatat di meja sebelah panggung untuk pengabsenan ulang.”

Aku memandang berkeliling, mencari tahu siapa-siapa saja yang mendapatkan undangan dengan warna yang sama dengan kertas undanganku. Ternyata Syifa, Maya, Febri dan Fatia bukan termasuk yang beranjak keluar. Mereka tetap di kursi masing-masing dan tampak sedang mencari-cari sesuatu di dalam tas.

“Hei, kita semua dapet!” Pekik Fatia girang melihat tiga temannya memegang benda yang sama, kertas merah itu.

“Kamu, Rein?” Tanya Febri menolehku.

Aku mengangguk datar, merasa ada yang aneh dengan pengundian doorprice ini. Terpilih secara acak, katanya? Kami berlima mendapatkannya, itu yang namanya acak? Segera aku mengamati segala penjuru ruangan. Wajah-wajah itu familiar. Dan firasatku semakin kuat, ini sama sekali bukan hasil acakan. Kami terpilih secara sengaja.

“Temen sekelas..., temen sekelas..., ketua kelas dari kelas lain..., ketua OSIS..., temen sekelas...,” gumamku meneliti dan menganalisa mereka satu per satu.

“Ngapain, Rein?” Tanya Syifa bingung.

“Jadi, yang ada di sini tuh... temen sekelas kita sebelum penjurusan, beberapa kakak kelas yang menduduki jabatan penting, para ketua kelas..., kok bisa begini ya? Nggak ada warga biasa dari kelas lain kayaknya.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Syifa dan yang lain segera mengamati sekeliling seperti yang kulakukan. Dan mereka tampak berpikir. Ya, sepertinya ini memang kombinasi yang tak asing.

“Aku tau!” cetus Febri tiba-tiba. “Pengurus OSIS. Semua ketua kelas pasti secara otomatis masuk jajaran pengurus OSIS kan?”

“Betul,” sahut Fatia.

“Tapi kita?”

“Pengurus OSIS dan kita. Kelas kita. Kelas sebelum penjurusan,” jawabku yakin. Dan bingung. Bagaimana bisa begini?

“Pengacakan yang pinter,” ujar Maya tersenyum lebar. “Yuk ke depan, yuk! Kita daftarin ulang kertas undangan kita. Dapat hadiah apa ya kira-kira?”

 

**

Siapa sih yang tidak senang menerima hadiah? Apalagi hadiahnya liburan gratis ke vila. Walau sistim pengundiannya jelas-jelas janggal, mereka sepertinya tak ingin mempermasalahkan itu. Aku yakin sebenarnya setiap orang sadar dirinya ‘dipilih’, bukan terpilih. Dipilih itu tentu mustahil tanpa alasan. Tapi siapa mau peduli? Kami dipilih untuk bersenang-senang, jadi kenapa harus ribut mempertanyakan alasan?

“Mungkin sponsornya temen sekelas kita sebelum penjurusan,” duga Fatia tak mau pusing.

“Kenapa harus sebelum penjurusan? Dia kan bisa milih temen-temennya di kelas akhir,” kejarku tak puas.

“Karena dia lebih lama bareng kita. Tentunya lebih berkesan yang dua tahun daripada yang cuma setahun.”

“Lantas pengurus OSIS sama Pramuka itu, kenapa harus ikut-ikutan?”

“Bisa jadi gebetannya ada di situ.”

“Dan dia harus merahasiakan identitasnya? Buat apa?”

“Kamu keberatan nerima hadiah ini?” Tukas Syifa dengan pandangan menegur, menyuruhku diam.

“Nikmati aja dan jangan bawel!” Tambah Maya senada.

Aku merengut sebal. “Susah punya temen ndablek. Nggak kritis. Asal dikasih enak, udah, nggak mau tau dari mana asal-usulnya. Calon-calon potensial jadi istri koruptor nih!”

“Udah selesai ceramahnya?” sergah Fatia sambil menjinjing tasnya, siap naik ke dalam minibus. “Kalau mau ikut, ayo naik! Kalau nggak mau, pulang sono! Jangan ngerusak suasana!”

Kucibirkan bibirku pada punggungnya saat dia menaiki tangga pintu minibus. Teman-temanku sungguh menyebalkan. Tidakkah mereka merasa ada bahaya mengintip dari semua keanehan ini? Siapa tahu, kan?

Aku menyempatkan diri menginterogasi Rendy, sang ketua panitia, kemarin saat mencatatkan ulang keterpilihanku. Dia hanya memberi keterangan sangat sedikit. Ada seorang teman yang tidak ingin disebut namanya, begitu menurutnya, berbaik hati menanggung seluruh biaya reuni, sekaligus memilih acak sebagian peserta untuk diberinya hadiah berupa liburan gratis di vila miliknya. Benar-benar gratis, sampai ke urusan terkecil. Tapi apakah Rendy tahu siapa orang itu? Ternyata tidak. Dia mengaku hanya menerima instruksi melalui telepon.

Aneh. Aneh. Aneh. Hanya kata itulah yang berputar-putar di dalam kepalaku sejak kemarin. Si sponsor ini jelas-jelas bukan hanya sekadar sponsor. Dia adalah dalang. Dialah yang mengendalikan semua ini, entah untuk tujuan apa. Jika tidak, mengapa harus dia sendiri yang menentukan siapa-siapa saja yang akan digiring ke vilanya? Mengapa bukan diundi di akhir acara reuni saja?

Dua buah minibus yang warnanya sama persis dengan warna gaun Keyla, merah darah, sudah terparkir di pinggir jalan depan sekolah. Bus-bus itulah yang akan membawa kami ke vila. Di mana panitia menyewa bus-bus ini? Katanya itu bukan urusan panitia, sudah disediakan langsung oleh sponsor.

Lalu di mana letak vilanya? Ternyata itu pun masih menjadi rahasia pihak sponsor. Astaga, Rendy! Berani sekali dia menyanggupi sesuatu yang penuh rahasia begini. Kalau nanti terjadi apa-apa, memangnya dia siap bertanggung jawab? Dan sama saja seperti yang lain, dia pun menggampangkan, larut dalam euforia.

Tepat jam 9 pagi, minibus mulai bergerak meninggalkan sekolah. April berada di dalam bus yang sama denganku. Karena itulah aku memilih duduk di jok sebelah sopir, untuk menghindarkan mataku dari mencuri-curi pandang ke arahnya. Sengaja kupilih Febri sebagai partner dudukku sebab dia tidak bawel. Aku sedang tidak ingin banyak bicara kali ini. Ada sesuatu yang tak biasa, aku bisa merasakan itu. Entah apa, tapi aku gelisah dibuatnya. Dan kali ini aku yakin gelisahku bukan mengenai April.

Bus meluncur tenang dalam kecepatan sedang. Suasana mulai gaduh oleh genjreng gitar dan koor tak beraturan dari mulut-mulut di belakangku. Aku menyempatkan diri melongokkan kepala mengamati pengemudi bus yang terhalang tubuh Febri. Pria kurus itu mengemudi dengan tenang, tak terusik oleh suara gaduh anak-anak di jok-jok belakang. Penampilannya tidak seram, namun sepertinya dia menghindarkan diri dari berbicara yang tidak perlu. Pasti sudah diinstruksikan begitu.

“Maaf Pak Sopir, kalau boleh tau, vilanya ada di daerah mana ya?” Tanyaku memancing reaksinya. Sebenarnya aku sudah yakin dia tidak akan memberitahu.

Benar. Sampai beberapa detik berlalu, pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku.

“Pak Sopir!” Tegurku lebih keras.

“Tolong jangan ganggu konsentrasi saya!” Dia balas menegur dengan dingin.

Hoho..., konsentrasi? Menjawab pertanyaanku yang cukup dengan satu patah kata saja, dia sebut mengganggu konsentrasi? Huh, bahkan untuk menegurku seperti tadi, dia memerlukan lebih banyak kata.

“Nggak bisa. Jawab dulu! Mau dibawa kemana kami ini? Ada di mana vilanya? Jawab dulu sebentar, lalu saya nggak akan ganggu Bapak lagi.”

“Nanti juga Mbak tau.”

“Nanti? Kenapa harus nanti untuk tau? Ini bukan penculikan, kan?”

Febri langsung menyodok pinggangku dengan sikunya, sementara sopir aneh itu memilih kembali diam.

“Apaan sih Feb?” Sungutku kesal.

Febri tak menjawab, tapi lirikannya mengisyaratkan agar aku tak mencari masalah. Masalah, huh? Sebenarnya kami ini memang sudah berada di dalam masalah. Perasaanku semakin tak enak saja dengan tambahan keganjilan dari sopir aneh itu.

Lagi, untaian syair di sampul belakang kertas undangan itu menyinggahi ingatanku.

“Kita akan mengulang kenangan

Kita akan menyingkap tabir rahasia

Percayalah, waktu tak akan mampu mengubur semuanya

Perlihatkan senyummu, maka di mataku selamanya kau adalah sahabat

Hati yang beracun bersarang di dalam diri yang bersembunyi di balik pusaran waktu.”

Hm, syair yang aneh, reuni yang aneh, hadiah yang aneh, sopir bus yang aneh. Dan... aku tahu! Syair itu pasti ditulis untuk maksud tertentu. Aku sudah merasakan sesuatu yang tidak lugas di dalam kalimat-kalimat itu sejak awal. Kita akan menyingkap tabir rahasia, rahasia macam apa yang perlu disingkap di sebuah reuni? Ini benar-benar tidak beres.

Ah, iya, undangan yang tidak merah! Aku harus mencari tahu apakah syair itu juga dicetak pada kertas undangan yang tidak berwarna merah. Maka segera kuketik sebuah pesan singkat untuk Tari, teman sekelasku setelah penjurusan. Untung kemarin aku sempat bertukar nomer ponsel dengannya.

“Ri, coba undangan reunimu tolong dilihatin. Di sampul belakangnya ada syairnya nggak?”

Pesan terkirim. Tak perlu menunggu lama ponselku segera berbunyi. Tari membalasnya.

“Nggak ada. Emang kenapa?”

Wah, ini jelas sebuah pertanda. Ada skenario besar. Skenario yang mengatur dengan rapi bagaimana supaya orang-orang yang ‘dipilih’ ini tergiring ke vila, atau suatu tempat entah apa, kami tak tahu.

“Kamu yakin? Coba cek bagian lain.”

Aku harus memastikan Tari tak salah lihat. Mungkin dia kurang teliti. Bisa jadi justru akulah yang mengada-ada.

“Nggak ada syair atau kalimat apa pun di luar hal-hal yang lumrah ada di sebuah surat undangan.”

Kalau begitu sudah jelas. Reuni kemarin memanglah murni sebuah acara reuni. Di sinilah letak keanehannya, di hadiah liburan ini. Dan syair itu adalah benang merahnya.

Paduan suara di belakangku semakin meriah saja. Sepertinya semua orang pure gembira menikmati perjalanan misterius ini tanpa dihinggapi kecurigaan dan kekhawatiran sedikit pun. Sejenak kucoba menepis pikiran-pikiran burukku. Mungkin saja teman kaya rayaku itu bermaksud memberikan kejutan. Hmph, jadi siapa sebenarnya yang tidak beres? Aku dengan paranoid akutku ini ataukah mereka dengan ketidaktanggapan situasi mereka itu?

Dalam kekacauan pikiran yang tak kunjung rapi, aku dikagetkan oleh getar ponselku. Telepon masuk dari Rian.

“Kenapa, bocah kecil?” tanyaku lesu setelah kami saling berucap salam.

“Lho, kok nggak semangat gitu sih? Aku tau nih! Pasti nggak asyik ya? Bikin bete ya suasananya?” tebaknya girang.

“Asyik kok. Tuh, emang nggak denger anak-anak lagi pada nyanyi-nyanyi?”

“Lha terus?”

“Perasaanku nggak enak. Ada yang aneh.” laporku, kali ini tak berselera berperang dengannya. Biar sajalah kali ini dia merasa menang.

“Apanya yang aneh?”

“Aku belum bisa mastiin. Kamu jangan bilang apa-apa ya sama Bapak-Ibu, tapi juga jangan jauh-jauh dari handphone, nanti kalau ada apa-apa aku telepon kamu.”

“Hei, jangan becanda ya!” tegurnya.

“Nggak. Ini serius.”

“Jangan becanda yang bikin panik orang! Ntar kalau ada apa-apa betulan baru tau rasa kamu.”

“Kubilang ini serius.” tegasku. “Ini baru menduga-duga. Tapi kalau nanti beneran, aku pasti kabarin kamu. Jangan bilang sama yang lain dulu ya!”

Febri menatapku heran. “Apanya yang aneh?” tanyanya begitu sambungan telepon kuakhiri.

“Yang aneh itu kamu. Masih aja bisa tenang dalam situasi nggak pasti begini.” jawabku sebal.

“Ah, kamu berlebihan. Selalu berpikiran terlalu jauh.”

“Ya, ya, ya.” tukasku tak acuh sambil memasang earphone pada kedua telingaku, kemudian menyambungkannya dengan ponsel. “I’ll stop it by sleeping. Do not disturb! Okay?

Setelah music player kunyalakan, kucari posisi yang nyaman kemudian kupejamkan mataku. Sebisa mungkin aku berusaha menutup pikiran. Awalnya sulit, tapi perlahan kesadaranku mengambang. Entah kapan persisnya, aku jatuh tertidur.

 

**

Suram, langit diselimuti awan tebal. Tak jelas di sebelah mana matahari kini bersembunyi. Kabut mengepung sekelilingku. Hanya samar saja bentuk gerumbul-gerumbul pohon dapat tertangkap oleh pengelihatanku. Dan hanya ada aku seorang di sini. Di manakah teman-temanku?

Aku menggigil. Dingin terasa merasuk ke dalam tulang-belulangku. Gerayangan perasaan takut juga seolah menggelitiki pori-pori di sekitar tengkukku. Tempat apa ini? Hutankah?

Ragu-ragu, perlahan aku melangkah tanpa tahu ke mana dan tempat seperti apa yang kutuju. Hanya dapat kuawasi tanah basah di dekat kakiku, berharap tidak ada lubang yang dapat memerosokkanku di antara serakan dedaunan gugur. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah... Semakin lama daratan yang kupijak semakin menanjak. Sepertinya aku tengah berada di daerah pegunungan.

Sekali lagi kuedarkan pandang ke sekeliling untuk mengamati sekitarku. Masih seperti semula, hanya kabut yang mendominasi. Baru saja aku bermaksud hendak melanjutkan langkah mendaki bukit, lensa mataku menangkap sesuatu yang membuatku tercekat. Di sana, tak jauh di hadapanku, tahu-tahu sudah berdiri sesosok tubuh bergaun merah.

Keyla!

Tubuhku serasa beku dan terkunci. Kenapa tiba-tiba ada dia? Mata sayunya memandangku lekat, wajahnya pucat. Tidak bicara apa-apa, dia hanya terus memandangiku.

“Key...” aku mencoba memanggilnya, tapi tak keluar suara apa-apa. Kerongkonganku seperti tersumbat.

Tiba-tiba dorongan kuat dari bawah melonjakkan tubuhku. Lalu kudapati Febri sudah ada di sampingku, matanya terpejam, kepalanya tersandar di pundakku. Kukerjapkan mata beberapa kali dengan perasaan bingung. Perlahan kesadaranku pulih. Rupanya aku masih berada di dalam bus yang membawa rombongan entah ke mana. Lonjakan tadi adalah goncangan bus saat melintasi jalan berlubang.

Entah berapa lama aku tertidur. Sopir aneh itu masih tetap diam dan fokus pada jalanan seperti semula. Aku enggan menanyainya lagi. Untuk mencari tahu sudah seberapa jauh minibus ini membawa kami, kulemparkan pandanganku ke luar jendela.

Deretan pepohonan pinus langsung menarik perhatianku. Sepertinya aku sudah pernah lewat jalan ini. Sambil berpikir keras mengumpulkan ingatan, mataku tak lepas mengamati kiri-kanan jalan. Semakin lama aku semakin yakin bahwa ini lebih dari sekadar de javu. Aku pernah lewat sini. Ya, pasti pernah. Jalan yang terus menanjak, udara dingin, hutan homogen...

Tiba-tiba kusadari hiruk-pikuk di dalam bus sudah mereda. Bukan hanya mereda, tapi sunyi. Bahkan suara deru minibus menambahkan kesan mencekam di sini. Kutengok teman-teman di belakang, mereka tertidur pulas. Semuanya, kecuali aku dan si sopir aneh. Apa yang terjadi? Siang yang penuh semangat ini membuat mengantuk? Tak lazim. Kalau aku sih wajar saja, semalaman aku tak tidur gara-gara minum segelas besar kopi hitam sore harinya.

Hm, mumpung semua orang tertidur, kutengokkan kembali kepalaku ke belakang untuk mengamati April, mencuri pemandangan indah selagi situasi tidak menyediakan resiko bernama malu. Rambut sasaknya yang agak sedikit gondrong itu mengingatkanku pada aktor Korea Lee Jun Ki pada saat membintangi drama Il Ji Mae. Ah tidak, dengan matanya yang tidak sesipit Lee Jun Ki, Aprilku ini masih lebih manis lagi. Dan tentu saja lebih...

Apa?? April-ku??! Astaga, Reyna!! Ini situasi genting, sempat-sempatnya kau mengakui barang yang bukan milikmu! Uhm, maksudku seseorang.

Kembali aku mengamati luar jendela. Bukit di kiri-kanan jalan kini berselimut tebal dedaunan teh. Semakin naik, pemandangan yang menyerupai permadani hijau tebal itu berganti dengan garis-garis lahan pertanian sayuran. Berikutnya, persis seperti yang tergambar di dalam ingatanku, minibus yang kami tumpangi ini melewati sebuah desa kecil. Setelah ini kalau tidak salah akan ada hutan kecil heterogen.

Jika benar, itu artinya mimpi-mimpi anehku tentang Keyla bukan tidak ada hubungannya sama sekali. Aku mulai tahu ke mana kami sedang dibawa. Ke tempat itu. Dan kami akan diajak mengulang kenangan, sesuai dengan kalimat pada syair di balik undangan. Ah, aku bisa gila kalau begini.

Dan gilaku komplit sudah saat minibus aneh ini benar-benar melewati hutan kecil seperti yang sudah kutebak. Lalu beberapa menit kemudian, terbentanglah telaga itu di depan sana, telaga yang selama ini selalu menjadi latar belakang mimpi-mimpiku tentang Keyla.

 

***(bersambung)

 

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya