[CERBUNG] Reuni Merah Bag. 2

Semerah masa lalu, semerah misteri itu, semerah hatiku padamu

 

Aku memimpikannya lagi semalam. Ini yang ke sekian kalinya dalam beberapa pekan terakhir. Gaun yang dikenakannya pun selalu sama di setiap mimpiku: gaun merah darah itu, yang warnanya sama persis seperti warna kertas undangan reuni.

Keyla Anastasia yang memang cantik nampak semakin cantik mengenakan gaun merahnya. Berlarian di sepanjang punggung bukit yang memanjang di sebelah timur telaga, dibiarkannya angin sore mempermainkan nakal geraian rambutnya. Sesekali dia berhenti, memandang berkeliling dengan gerak-gerik gelisah, seperti mencari sesuatu atau seseorang.

Aku mulai merasa terganggu. Semua mimpi itu mengisyaratkan hal yang sama; semacam kegelisahan, kesedihan dan penantian.

Penantian kepada siapa? Hal itulah yang kemudian memicu berbagai spekulasi melantur di dalam kepalaku. Sebenarnya aku sudah cukup lelah mempertanyakan sesuatu yang tak pernah ada jawabnya itu. Terlebih, semua orang terkesan melupakan dan mengubur cerita itu begitu saja. Mereka enggan memikirkan kemungkinan-kemungkinan mengerikan, tak mau pusing, apalagi sampai dicekam ketakutan.

Tapi aku, bagaimana kenangan itu dapat kulupakan jika di situlah pangkal masalahku dengan April? Aku merasa harus mencari tahu kebenarannya, untuk membuktikan kepada April bahwa aku tidak terlibat. Sayangnya tak ada yang bisa kulakukan. Aku tak tahu harus memulainya dari mana. Semua serba gelap, tak ada petunjuk. Dan sampai sekarang tetap tak ada yang bisa kubuktikan.

Sungguh, aku tak pernah dengki sedikit pun pada Keyla. Aku memang iri padanya; pada segala keberuntungan hidupnya, pada kecantikannya, pada kebaikan hatinya, pada kesempurnaannya. Tapi tak lantas aku ingin bersaing dengannya, apalagi menyingkirkannya. Terpikir selintas pun tidak. Bahkan meski cowok yang kusukai menjadi miliknya sekali pun.

Aku masih merasa berduka pada awalnya. Hanya sebentar, sebelum April merusak semuanya. Perlahan rasa kehilangan itu menguap, lalu kusadari aku mulai jahat. Keinginan untuk mencari kebenaran itu sudah bergeser tujuannya, bukan lagi karena aku peduli pada sahabatku, melainkan sekadar pembuktian terhadap April bahwa tuduhannya benar-benar lancang dan melenceng jauh dari koridor.

Sikapku yang jadi mementingkan diri sendiri macam ini, tentu saja karena aku kecewa. Aku tak percaya Keyla tega membocorkan rahasia terbesarku. Sudah berulang kali kuingatkan bahwa April tak mungkin membalas perasaanku, membiarkan cowok itu tahu rasa sukaku hanya akan mempermalukan diriku saja.  Dan dia sudah berjanji akan merahasiakannya.

Tapi nyatanya? Mulut manisnya itu dengan mudah membocorkan apa yang sedapat mungkin kusembunyikan. Akibat dari pengkhianatannya, aku harus mendapat banyak perlakuan menyakitkan dari April.

Apa yang sebenarnya dipikirkan Keyla? Mungkinkah dia berharap April akan membuka hati dan belajar menerimaku? Kalau begitu kenapa bukan dia saja yang membuka hati untuk menerima April? Andai dia tahu, semuanya berlangsung dengan buruk akibat kebodohannya.

Dan andai aku bisa menemuinya sekali saja, akan kutumpahkan pendaman amarahku yang menggunung ini. “Lihat, di mata April aku jadi orang jahat gara-gara kamu! Puas kamu lihat dia nginjek-injek harga diriku?”, paling tidak itu kalimat yang sudah kureka-reka akan kudampratkan jika dia tiba-tiba muncul.

Namun hingga belasan musim silih berganti, jangankan muncul, bahkan kabarnya pun tak pernah terbawa angin hingga singgah di telingaku. Dia pergi begitu saja meninggalkan banyak kekacauan di hidupku.

Masa lalu memang hanya cerita yang telah berlalu. Tapi detil lengkap cerita itu seolah terpatri erat di dalam ingatanku, masih menyisakan sekelumit nyeri kapan pun pikiranku menuju ke sana.

“Maaf ya, ini meja khusus untuk orang good looking.”

Aku baru hendak duduk, tapi April mendorong tubuhku ke samping dan dengan santainya menyerobot tempatku. Dan ringan sekali kalimat penghinaan itu dilontarkannya.

Seisi kantin langsung diriuhi tawa melihat perlakuan April padaku. Hari itu adalah salah satu dari sekian banyak hari sialku. Aku seperti tersesat ke planet lain, planet yang semua penduduknya bertampang ganteng dan cantik. Kuedarkan pandang ke seantero ruangan kantin.

Ada Dita, Maria dan Ayu; gerombolan senior cantik yang terkenal sombong dan sok berkuasa. Lalu Danu, the most wanted boy of the school. Kemudian Viona, Asti, Rendy, Indra, Vito, Indah dan Samuel. Kesemuanya itu adalah makhluk-makhluk paling rupawan di sekolahku.

Entah kenapa kantin paling ujung tidak didatangi makhluk bertampang rata-rata—atau sebut saja jelek—pada saat itu. Dan kebetulan aku datang bersama Maya dan Syifa, dua sahabatku yang memang tergolong dalam kategori di atas rata-rata.

Mungkin rona mukaku sudah segala rupa, tapi aku ingin menghadapi situasi sulit itu dengan sedikit elegan. Elegan? Sejenak aku geli sendiri dengan istilah itu. Tapi tak ada pilihan lain. Lari sambil  menangis hanya akan semakin merendahkan martabatku sendiri. Terlebih Maya dan Syifa malah ikut terkekeh melihat aku jadi bahan bulan-bulanan seperti itu.

Entah upayaku akan berhasil atau tidak, aku berusaha tersenyum. Ya, tersenyum sambil memandang lurus ke mata April dengan berani. Yang terpikir olehku saat itu hanyalah bagaimana caranya memberikan kesan bahwa tingkah laku April itu sungguh terlihat menggelikan di mataku.

Tak ingin kucari tahu apakah hari itu aku berhasil membuat April down atau tidak. Yang pasti, hari demi hari aku semakin dituntut untuk survive. Karena seperti yang kutakutkan, dia tak semudah itu berhenti.

Suatu hari, aku dan Fatia berbincang mengenai suatu PR yang lupa kubawa ke sekolah. Posisi kami sedang di koridor, tengah berjalan menuju kelas. Tiba-tiba saja seseorang di belakang kami menyahut sinis, “Bukannya itu emang kebiasaan kamu? Tiap hari melupakan sesuatu.”

“Melupakan apa?” tanya Fatia tak mengerti. Orang yang menyela pembicaraan kami itu ternyata adalah April.

April tersenyum tipis saja. Sambil melenggang tak acuh melewati kami yang terkejut campur bingung, dia menjawab santai, namun kejam. “Kaca.”

“Kaca?” ulang Fatia masih belum mengerti.

Kuhela napas dalam-dalam sambil memalingkan muka. “Orang gila nggak usah diurusin, Fat!”

“Tapi... apa mungkin maksudnya... kamu disuruh ngaca?”

Aku memilih mengalihkan topik, walau sebenarnya ubun-ubunku terasa seolah mengepul. Jika tak begitu, hidupku hanya tersia-sia untuk meladeni April. Sebab membuatku murka agaknya merupakan kesenangan tiada tara baginya. Setiap kali ada kesempatan, dia pasti melakukannya. Seperti suatu hari di perpustakaan.

“Wah, wah, wah! Penggemarmu ngikutin kamu ke mana-mana tuh, Pril!” celetuk Dita, teman sekelas April, tanpa perasaan.

Sial, aku benar-benar tak tahu kalau April dan beberapa kawan sekelasnya sudah lebih dulu ada di perpustakaan. Biasanya mereka tak suka menghabiskan jam istirahat di situ. Dan mulut lancang siapa pula yang menyebarkan berita tentang rasa sukaku pada April? Kalau sudah sampai ke telinga Dita cs, alamat semakin runyam urusanku. Sebab sudah bukan rahasia lagi kalau Maria, salah satu dari komplotan mereka, sudah lama menyukai April.

Demi harga diri, kukuatkan hati untuk terus melangkah ke dalam; walau pun aku merasa seperti seorang petarung yang sudah terlihat mustahil untuk menang, namun mati-matian menjaga image di depan penonton demi mencampakkan jauh-jauh cemoohan ‘Kalah sebelum bertanding.’.

Sialnya, rak buku yang kutuju terletak di sudut ruangan. Jalan satu-satunya menuju ke sana adalah melewati meja-kursi tempat April dan kawan-kawannya berkerumun. Mau tak mau aku harus memberanikan diri dan berusaha semampuku untuk terlihat kalem.

“Gimana, Pril? Masuk daftar cadangan nggak?” Tanya Theo sengaja untuk menggodaku. Sementara yang lain sudah memfokuskan pandangan lekat-lekat kepadaku dari kepala hingga kaki seperti ingin menguliti.

April cuek saja, pura-pura asyik membaca koran.

“Ambil aja! Lumayan kok. Katanya anak ini pinter.” saran Rusman terdengar penuh rencana kesewenang-wenangan.

“Suruh belajar materi kelas kita, bisa nggak? Biar kita bisa nebeng minta kerjain PR,” saran Maria dengan nada sengitnya yang begitu kentara.

Kulirik meja petugas perpustakaan di dekat pintu masuk. Tidak ada orangnya. Huh, pantas saja mereka bebas membuat kegaduhan.

“Weh, April diem aja nih! Jangan-jangan mulai jatuh cinta juga sama cewek ini,” timpal yang lain semakin menjadi. Sebuah umpan untuk memancing kekejaman April agar lekas terlontar dari bibir manisnya.

Tahu-tahu April berdiri, ekspresinya dingin. Semua tatap mata langsung tertuju padanya, tak terkecuali aku. “Sori, dengar namanya disebut aja perutku udah mual.”

Benar, kan?

Sejenak aku hanya dapat menarik napas dalam. April berlalu tanpa melirikku sedikit pun, meninggalkanku yang bahkan tak sanggup mengikutinya dengan pandangan. Bahagiakah dia melakukan itu? Senangkah? Seperti kawan-kawannya yang nampak puas menyaksikan momen tak berkutikku, menahan tawa geli seumpama tengah menyaksikan sebuah acara humor.

Tidakkah hal seperti itu dipertimbangkan oleh Keyla sebelum memutuskan untuk memperturutkan hasrat bocornya? Aku tak mengerti jalan pikirannya. Perlahan tapi pasti, amarah yang menumpuk menumbuhkan benih-benih kebencian di hatiku. Aku tak ingat sejak kapan persisnya, setiap kali April bertindak kurang ajar terhadapku, nama itu kusebut dengan geram di dalam hati. K-E-Y-L-A. Semua itu gara-gara dia.

Waktu telah jauh bergulir, kusibukkan diriku sesibuk-sibuknya agar tak ada kesempatan tersisa untuk hal-hal tidak penting. Bukan aku sombong atau sok tak butuh bertemu teman lagi seperti yang dikatakan teman-temanku, sesungguhnya aku hanya sedang berusaha meminimalkan peluang untuk teringat pada April. Setidaknya aku sudah berusaha, jadi jika pada akhirnya aku tidak bisa betul-betul melupakannya, aku tidak akan terlalu merasa bersalah pada diriku sendiri.

Sayangnya gara-gara undangan reuni itu, kini semuanya mutlak kembali. Ya, hanya karena selembar undangan. Semudah itu saja. Rasanya seperti aku masih berada di masa itu, dengan gejolak rasa yang sama. Sangat di luar logika. Inikah yang disebut obsesi? Lagi, hari-hariku berjalan dengan namanya berdengung-dengung di dalam kepalaku. Sangat melelahkan.

Mencintai sepihak seperti musim dingin yang sangat panjang. Setiap kali teman-temanku menanyakan pacar, wajah April-lah yang selalu terbayang di benak. Dan setiap kali mereka menawarkan teman lelaki untuk diperkenalkan kepadaku, aku menolak tanpa pertimbangan.

Samar, tapi terasa, hati kecilku menegaskan bahwa aku ini sedang dalam penantian. Penantian? Huh, mungkin kepalaku perlu dibenturkan ke tembok sesekali, supaya firasat bodoh itu tak semena-mena bertahta di sana dan memburamkan logika.

Baiklah, walau satu sisi diriku antipati untuk hadir ke reuni, kuakui sebenarnya aku merindukannya. Bukan hanya sekelumit, tapi sangat besar. Bukan hanya saat ini, tapi setiap waktu. Walau senyum sinisnya menjengkelkan, walau debar dadaku bercampur sakit saat bersitatap dengannya, walau ucapannya selalu mencabik perasaan, walau gaya angkuhnya meretakkan hatiku, aku tetap merindukannya. Aku merindukannya walau memandangnya hanya mengingatkanku bahwa aku menginginkan apa yang tak bisa kumiliki. Cinta memang membuat siapapun menjadi dungu.

Terlalu mudah kuyakini bahwa aku jatuh cinta pada April sejak minggu-minggu awal aku menjadi siswa baru di SMA kami. Dia bukan satu-satunya makhluk ganteng di sekolahku. Tapi kebetulan dia memiliki sifat pendiam, postur tinggi ramping dan rambut lurus yang memang merupakan kriteria yang kusukai dari teman lelaki.

Dan sejak mengenalnya, aku tak pernah tertarik pada teman lelaki mana pun lagi. Perasaanku berhenti padanya di usia yang masih semuda itu. Bahkan masih saja tertinggal di sana hingga sejauh ini langkah hidupku. Dia bukan orang pertama yang memperkenalkanku kepada cinta, tapi dia orang pertama yang membuatku tahu rasanya patah hati.

“Rein, kamu satu kelompok sama April.”

Lagi-lagi, detil kenangan menguraikan dirinya sendiri di dalam ruang ingatanku. Ketika itu adalah pendakian pertamaku, diselenggarakan tepat pada liburan kenaikan kelas.

“Apa? Siapa satu kelompok sama siapa?” Tanyaku kaget. Punggungku yang semula bersandar rileks langsung tegak begitu mendengar pemberitahuan Ninis.

“Kamu sama April.”

“Mana bisa begitu? Tahu sendiri kan, aku sama dia nggak bakalan bisa kompak.”

Ninis mendengus tak acuh. “Siapa suruh kalian nggak kompak? Jadi jangan protes kalau sekarang kalian dikompakkan pakai campur tangan orang lain.”

Dikompakkan? Dengan April? Yang benar saja!

Menurut pembimbing kami, membagi habis seluruh peserta menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga orang adalah cara paling efektif untuk mengkoordinir peserta pendakian supaya tak ada yang terpisah dari rombongan.

Dengan jumlah yang ganjil dan hanya tiga itu, kemungkinan terjadinya perpecahan dapat diperkecil. Lalu tugas masing-masing ketualah untuk mengawasi anggota kelompoknya dan memberi laporan rutin kepada pembimbing. Sistim yang praktis. Tapi kenapa aku harus satu kelompok dengan orang yang mustahil bisa bekerjasama denganku?

Tak bertentangan dengan apa kata Ninis, usulanku untuk berganti partner ditolak mentah-mentah oleh pembimbing. Alasannya jelas: salah satu tujuan kegiatan alam terbuka adalah untuk melatih kekompakan dan mempererat persahabatan. Huh, belum apa-apa saja aku sudah merasa dipecundangi. Nasibku jelas tidak akan bagus sepanjang pendakian ini.

Benar saja. Segala sesuatu yang berhubungan dengan April memang selalu sukses mempecundangiku. Bahkan ia tak berbelas kasihan meski aku tengah dalam kesulitan.

“Hei, cepetan! Lelet amat sih,” tegur Theo, anggota lain yang satu kelompok denganku, yang kebetulan merupakan salah satu kawan tengik April.

Aku diam saja, berusaha menyembunyikan rasa sakit di perutku yang melilit-lilit, sepertinya akibat masuk angin.

Waktu terasa merayap selamban siput. Theo tak henti-hentinya mengeluhkan pergerakanku yang memang kurang sigap. Sementara April membiarkannya, bahkan semenjak bertolak dari kaki gunung belum sedikit pun bicara padaku. Menoleh saja tidak. Ketua kelompok macam apa itu?

Pukul 23.15, akhirnya kami tiba di basecamp. Rombongan akan beristirahat di situ selama beberapa jam, baru kemudian menjelang subuh melanjutkan perjalanan ke puncak agar sampai di sana bertepatan dengan terbitnya matahari.

Ketika yang lain tertidur kelelahan, aku menjauh ke gundukan tanah terbuka tak jauh dari lokasi, lalu duduk sendirian di situ. Aku benar-benar merasa tidak baik-baik saja malam itu, baik pada fisik mau pun perasaanku. Salah satunya gara-gara April tentu saja.

Menjelang pukul satu dini hari, aku melihat beberapa titik cahaya melesat di langit. Itu bintang jatuh! Refleks aku teringat mitos pengabulan doa yang sering kutonton di drama-drama Asia. Dan doa bodoh itu pun terucap.

“Tuhan, buatlah April menjadi orang paling menyesal di dunia atas segala perbuatannya padaku.”

Doa macam apa itu? Making a wish yang remeh-temeh. Seperti tak ada hal lain yang lebih penting untuk didoakan saja.

Tiba-tiba seseorang sudah berdiri di sampingku, tangannya menyodoriku sesuatu. Sesaat aku terkesiap kaget. Hantukah sosok ini? Datang tanpa suara sama sekali.

“Ambil ini!” perintahnya dingin.

Sosok itu menjulang. Dalam keremangan cahaya perapian yang mulai redup, aku dapat mengenali siluet tubuh ramping dan model rambutnya. Sekujur tubuhku menegang. Aku merasa gugup, tak siap dengan kehadirannya yang tiba-tiba.

“Apa ini?” tanyaku tanpa konsentrasi.

“Minyak angin.”

Darahku berdesir. Dia tahu aku masuk angin? Padahal aku tak mengatakannya dan jelas-jelas dia tak pernah memandang ke arahku sepanjang perjalanan tadi. Berarti diam-diam dia memerhatikanku. Dadaku berdebar senang.

“Kenapa sih cewek selalu semanja ini? Manja atau bego sih sebenernya?”

Apa??

“Bego gimana?” tanyaku langsung merasa terbanting, dan kesal karena dia mengobrak-abrik momen besar kepalaku dengan tiba-tiba.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Emangnya kamu bocah 5 tahun yang tiap waktunya makan harus diuber-uber lalu disuapin? Come on, ini bukan waktu dan tempat yang tepat buat bermanja-manja! Semua orang udah repot dengan diri dan bawaan masing-masing. Kalau udah tau fisikmu lemah, mestinya kamu nggak usah sok jagoan ikut pendakian! Ngerepotin orang lain aja.”

Ya Tuhan!

Sebuah tohokan yang telak. Kepalaku yang sempat mengembang kini mengempis drastis dan layu. Ugh, bagaimana aku bisa berbesar kepala menganggap seorang April Dwi Hamdani menaruh perhatian terhadapku?

Tadi di desa kaki gunung memang kami telah diingatkan untuk makan dulu sebelum bertolak. Ninis mengajakku ke sebuah warung nasi, tapi aku hanya memesan teh hangat saja karena merasa masih cukup kenyang. Tapi tak kuperhitungkan jika beberapa jam kemudian anginlah yang langsung mengambil alih ruang kosong di perutku. Menyesal, tapi sama sekali tak berguna.

Mati kutu di depan April, aku hanya sanggup menghela napas, melarikan diri dari ketidaksanggupan menjawab kata-kata pedas itu dengan membuang pandangan ke pemukiman penduduk nun di bawah sana, yang hanya nampak berupa kelap-kelip cahaya kecil.

“Jangan bertindak bodoh lagi! Kamu pikir sekuat apa badanmu sampai ngerasa nggak perlu tidur buat nyiapin stamina besok? Aku nggak mau ya, besok kamu nyusahin kami lagi!”

April berlalu setelah ucapan tajamnya sukses merobek-robek sunyinya malam, juga merobek sebagian kepercayaan diriku. Seperti selalu, aku hanya bisa diam, tak senang dengan cara penyampaiannya yang sadis, tapi juga harus kuakui kalau dia benar.

Sama benarnya dengan keesokan paginya ketika cahaya matahari mulai menyinari kuntum-kuntum edelweiss yang baru pertama kali itu kulihat langsung di habitatnya. Aku melonjak-lonjak girang memandangi kuntum putihnya yang semarak menyembul-nyembul di sela-sela ilalang.

“Keren banget! Akhirnya kesampaian juga megang bunga ini langsung di alamnya.”

Ninis mendahuluiku memetiki bunga-bunga itu sambil memekik-mekik kecil. Aku tak mau ketinggalan, segera kupetiki kuntum-kuntum yang telah lama kukhayalkan itu jauh lebih bersemangat darinya, sebagai kenang-kenangan pendakian pertamaku. Sudah kusiapkan sebuah vas cantik di rumah, lengkap dengan kotak kaca yang akan melindunginya dari debu.

“Kamu ini pecinta alam atau perusak alam sih?”

Aku terhenyak. April tahu-tahu sudah berdiri di dekatku dengan tatapan menghakimi yang membuatku salah tingkah. “Oh, cuma dikit kok. Nanti kan juga numbuh lagi.”

Dengan sinis dia berdecak. “Kalau semua pendaki berpikiran kayak kamu, bisa hancur alam kita.”

Aku tertunduk dalam.

“Jangan malu-maluin sekolah kita deh! Di posko bawah bakal ada razia.”

Razia? Rasanya wajahku memucat seketika. Kenapa tidak ada yang mengingatkan soal itu sejak kemarin?

Seperti biasa, April berlalu dengan angkuh setiap kali selesai menjatuhkan mentalku. Aku memandang Ninis mencari tahu barangkali dia punya ide mengenai apa yang harus kami lakukan dengan segenggam edelweiss di tangan ini. Tapi Ninis pun tertunduk mematung, dan sama sekali tak terlihat lebih baik dari keadaanku.

“Halo...!” sapa seseorang riang. Tedy, teman sekelasku, menghampiri kami dengan kamera siap membidik. “Jangan pada kaku begitu dong! Yang rileks, yang rileks! Mana senyumnya?”

Bahkan kamera Tedy yang hasil jepretannya akan dipasang di majalah dinding pun tak mampu membuat kami peduli kalau pun muka kami akan terlihat jelek di foto itu.

“Ada apa?” tanya Tedy bingung, urung mengambil gambar.

Kutunjukkan segenggam edelweiss di tanganku. “Aku nggak tau kalau ini dilarang.” jelasku penuh rasa bersalah.

“Oh, itu.” jawab Tedy terkekeh. “Udah, masukin aja ke ransel! Isu razia sih cuma buat nakut-nakutin doang kali. Coba pikir, satuan tugas mana yang ditempatin di gunung-gunung cuma buat ngawasin edelweiss?”

Hm, benar juga. Kurasa April memang hanya senang membuatku jadi pihak yang terlihat bodoh saja. Walau pun sedikit banyak kuakui memang dia ada benarnya.

 

***

 

Aku sudah naik ke tingkat dua ketika itu. Secara kebetulan aku menjumpai Danu tengah memeriksa ban sepedanya di pinggir jalan dekat rumahku. Dia menanyakan padaku tempat tambal ban terdekat. Tak kusangka, ternyata dia baru saja pindah rumah ke blok sebelah.

Sejak itu kami menjadi akrab. Setiap pagi pasti aku dijemputnya untuk berangkat bersama. Dan segera setelah itu seisi sekolah mulai kasak-kusuk menggosipkan kami. Aku yang biasanya nyaris tak pernah dianggap ini mendadak jadi populer, mirip seperti pacar selebriti yang kecipratan popularitas tanpa perlu modal bakat atau pun prestasi sendiri.

Belum sampai sebulan aku sudah merasa risih. Ke mana pun aku melintas, banyak mata memandangku tak senang. Bahkan Maya, teman dekatku sendiri, juga ikut-ikutan berubah sikap. Demi kenyamanan diri, aku memutuskan untuk menghindari Danu secara tidak kentara.

Suatu siang, usai jam sekolah, seseorang menungguku di luar pintu kelas. “Ada yang nunggu kamu di deket lapangan voli. Penting katanya,” katanya.

Teman-teman dekatku berlalu sambil berdehem-dehem curiga. Aku tahu apa yang mereka curigai. Sudah kukatakan kalau aku dan Danu tidak ada hubungan spesial, namun mereka tak percaya dan sepertinya yakin kalau yang menungguku itu adalah Danu.

“Bukan Danu!” jelasku berusaha mengejar mereka, terutama Maya yang ekspresinya langsung berubah cemburu. “Aku emang nggak tau siapa orang itu, tapi aku yakin pasti bukan Danu. Jadi tolong temenin aku sebentar!”

Tak ada yang peduli. Mereka bahkan tak mau menjawabku. Aku jadi geram dibuatnya. Kuharap mereka tak menyesal jika aku kenapa-napa. Sebab yang terjadi selanjutnya tak melenceng jauh dari kekhawatiranku.

Di lokasi pertemuan itu, aku dirapatkan membelakangi batang pohon kersen di belakang semak-semak, persis di tempat April menginterogasiku dulu.

Sudah kuduga, itu pasti tentang Danu. Tindakan intimidasi mereka yang konyol itu adalah gertakan supaya aku menjauh dari Danu dengan tahu diri. Para oknumnya tak lain adalah kawan-kawan sekelas April yang sok berkuasa itu. Dipimpin oleh Dita sebagai yang punya kepentingan—dia memang diisukan sudah lama menyukai Danu, asistennya tak lain adalah dua sohib judesnya: Maria dan Ayu.

Di belakang mereka, Theo dan Rusman berpatroli, atau mungkin sengaja diikutsertakan untuk memberi gertakan lebih ekstrim jika aku membangkang, entahlah, aku tak paham.

Trio ‘sok berkuasa’ itu mencengkeram kerah bajuku, membisikkan ancaman tepat di depan hidungku, menowel-nowel daguku, dan sebagainya. Pokoknya hampir mirip dengan adegan perpeloncoan ala sinetron. Konyol sekali. Kenapa mereka tidak ikut casting saja? ‘Kan lebih bermanfaat.

Aku sedikit khawatir, tapi juga jemu bukan main. Melihat adegan macam ini di TV saja sudah terlalu malas, itu malah nyata terjadi di hadapanku. Enggan memboroskan suara, aku pura-pura menguap saja, biar mereka sadar kalau adegan klise mereka bisa bikin orang jadi mengantuk.

Ternyata reaksi bebalku membuat mereka marah besar. Mereka mengirimkan isyarat yang tak kupahami kepada Rusman dan Theo. Lalu kedua cowok itu mendekat.

Aku sudah berpikir yang tidak-tidak ketika itu. Theo dan Rusman berhasil menangkapku lebih dulu sebelum aku berhasil meloloskan diri. Sementara Dita, Maria dan Ayu tersenyum puas, lalu beranjak pergi meninggalkanku bersama Theo dan Rusman yang menyeringai licik penuh rencana.

Apa yang akan mereka lakukan padaku? Aku diseret semakin ke belakang. Tubuhku terlalu kurus untuk memberontak. Dan sialnya, Rusman membekap mulutku.

Ah, kenapa pihak sekolah membiarkan semak-semak tumbuh liar di pekarangannya? Walaupun itu memang jauh di belakang dan lahannya tidak terpakai, harusnya mereka mewaspadai bahaya perpeloncoan semacam ini. Dalam hati aku sudah memanjatkan segala doa, berharap Tuhan mengirimiku seorang pahlawan penyelamat.

“Apa yang kalian lakuin?” tiba-tiba sebuah suara terdengar menegur di belakang kami. Batinku menggumamkan rasa syukur. Dan ketika aku menoleh, April sudah berada di sana.

“Oh, ini, sedikit bantuan untuk Dita. Bocah ini kurang ajar banget, butuh dikasih pelajaran.” jawab Theo santai saja.

“Lepasin!” perintah April dingin.

“Kenapa?”

“Lepasin aja pokoknya. Kalian nggak pengin punya masalah sama aku, kan?”

Theo dan Rusman nampak heran. Kupandangi April nyaris tanpa berkedip. Ternyata si arogan itu bisa menjadi penyelamatku juga. Mungkinkah sebenarnya dia tidak sejahat itu? Kunikmati sejenak momen besar kepalaku sebelum nanti, aku yakin dia kembali menjatuhkanku.

“Ada apa sama kamu, Pril? Kenapa mendadak kamu jadi care sama bocah kecentilan ini?”

Bocah kecentilan?

“Dia milikku,” jawab April tenang.

“Milikmu?” ulang Theo dan Rusman berbarengan dengan nada bingung yang sama.

Miliknya?

Deg!

“Kamu udah mulai suka sama dia, ya?” selidik Rusman dengan pandangan menuduh.

“Mana mungkin seleraku serendah ini?” sahut April santai, seperti biasa, sekaligus kejam.

“Lantas?”

“Ada aturan dalam pertemanan kita. Nggak boleh berebut mangsa. Sejak awal kalian tau, yang ini bagianku.”

Aku kecewa mendengar itu. Tapi kemudian kutepis. Kenapa harus kecewa? Sudah bagus April membebaskanku dari Theo dan Rusman. Dengan April setidaknya aku lebih merasa aman, toh sejauh ini dia hanya kejam pada lisannya saja, tidak secara fisik.

Akhirnya Theo dan Rusman melepaskanku. “Oke, kuharap kali ini kamu nggak bikin Dita kesel.” ucap Theo sebelum mereka berlalu.

Tinggalah aku bersama April saja. Sejenak aku memandangnya ragu, ingin berterima kasih tapi tak yakin apakah hal itu tidak akan membuat sikapnya semakin tengik. Sebagai pelarian dari rasa canggungku, kugosok-gosok pelan lenganku yang panas dan memerah bekas cekalan tangan Theo dan Rusman tadi.

“Mestinya kamu nggak usah cari penyakit!” kata April tajam.

Aku tak menanggapi.

“Kamu tahu kan, deketin Danu itu beresiko? Kenapa nekat?”

“Aku nggak deketin Danu.” sangkalku masih berusaha menjaga agar kali itu tak terjadi polemik.

“Terus, Danu yang deketin kamu, gitu? Jangan ngelawak!” sinisnya.

Aku terbelalak kesal. Orang itu selalu saja mengobrak-abrik kesabaranku dalam sekejap. “Kenapa? Karena aku jelek? Kalau buktinya Danu mau bertemen sama aku, emang kenapa? Kamu nggak terima, gitu? Apa masalahmu? Danunya aja santai kok, kenapa kamu yang ribut?”

Lagi, April mendengus sinis. “Ngapain aku nggak terima? Mau deketin siapa kek, itu urusanmu.”

Aku hampir tak dapat menahan diri dari menyabeti mukanya dengan batang perdu berduri. “Terus apa maksudmu ngomong kayak tadi, ha?”

“Sebenernya aku baru mau bilang kalau aku nggak nganggep kamu sejelek itu. Tapi sayang, ternyata begomu nggak ketulungan.”

Ya Tuhan! Aku merasa sudah berada di puncak kemarahan, tapi April segera pergi usai melontarkan ejekan kejamnya. Aku hanya bisa memandangi punggungnya dengan sejuta kesal yang dengan susah payah terpaksa kupendam dan kupadamkan sendiri.

April Dwi Hamdani, entah kapan, pokoknya aku bersumpah akan kubuat dia menyesal.

Tapi sumpah itu sudah terlalu usang. Aku toh tak pernah berusaha melakukan apa pun untuk mewujudkannya. Dan sekarang? Aku hanyalah seorang pengecut yang bahkan tak berani berdamai dengan masa lalu. Menyikapi hal sesepele reuni saja aku berdiri gamang di tengah-tengah, tersesat dalam kebimbangan tak berbobot.

Datang atau tidak? Jika tidak datang, tak akan menyesalkah aku nanti? Perlukah kucari kepastian dulu tentang kehadiran April di acara itu? Tapi supaya apa?

Ah, aku tak tahu. Aku benar-benar tak tahu.

 

***bersambung

 

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya