[CERPEN] Kaktus

Kau yang hanya dapat kukagumi dari jauh. Kau yang dapat melukaiku dengan duri-durimu, jika aku berusaha menyentuh.

 

“Kenapa ngelihatin aku kayak gitu?” tanyaku risih.

Dia memandangiku dengan sorot aneh dari sepasang matanya yang hampir selalu berkilat dingin. “Barusan kamu minta tolong apa?” Seolah apa yang kulakukan adalah hal absurd, dia meminta konfirmasi dengan nada seperti berharap salah dengar.

“Oh, itu... Metikin bunga,” jawabku merasa tak enak sendiri. Demi Tuhan, saat mengucapkan permintaan tolong itu tadi, kupikir yang kuajak bicara adalah Arief, teman dekatku, bukan dia.

“Kenapa kamu minta tolong sama aku?”

“Ah, udahlah. Kalau nggak mau ya nggak apa-apa,” jawabku enggan berpanjang lidah.

“Kamu tau apa yang kamu lakuin, kan?”

“Maksudnya?”

“Minta tolong buat dipetikin bunga, itu sama aja dengan kamu minta supaya aku ngasih bunga ke kamu. And those are roses. Tidakkah kamu pikir tindakanmu itu agak sedikit lancang?”

Astaga!

“Kamu berlebihan!” geramku. “Buatku ini sekadar memindahkan suatu benda, dari pucuk yang tinggi itu, ke tanganku. Roses or anything. Sesimpel itu aja.”

“Lakuin aja sendiri, kalau emang sesimpel itu.”

Aku melirik pucuk mawar itu putus asa. Tingginya lebih dari satu setengah kali ukuran tubuhku. “Yang bener aja,” keluhku.

What’s wrong? Selama ini toh, apa sih yang nggak bisa seorang Alana lakuin?”

Oh, tidak! Bicaranya itu seolah-olah selama ini aku menyombongkan kemandirianku atau apa. Padahal dia, dia sendiri yang begitu. Seperti kaktus! Angkuh, tak ubahnya dengan menyombongkan kapabilitasnya yang dapat berdiri sendirian di tempat yang tandus, bersikap seperti tak membutuhkan orang lain.

Aku tak peduli bagaimana orang lain memersepsikannya. Yang jelas bagiku, kesan yang terbentuk dari penampakan fisik kaktus kurang lebihnya begitu. Arogan, dingin, tak acuh, dan duri-durinya akan melukai siapa pun yang mencoba menyentuhnya. Aku bahkan tak peduli bagaimana kaktus menciptakan image dirinya di mata orang lain. Di mataku, kaktus ya seperti itu, titik.

Farel begini, Farel begitu... Mereka kerap menceritakan ‘kaktus’ itu secara bertolak belakang dengan apa yang selama ini telah kulihat sendiri.

“Orangnya baik kok. Cuma, emang rada pendiam aja.” kata Nina, teman dekatku.

“Dia nggak terbiasa aktif memulai pembicaraan pertama kali. Tapi sekalinya ada orang yang berinisiatif ngajak ngobrol duluan, dia akan sangat menghargai itu.”, Arief, sahabatku semenjak SMA, juga mengungkapkan hal senada.

Omong kosong! Aku tak percaya semua itu. Aku menjuluki seseorang dengan sebutan khusus, tentunya bukan berdasarkan alasan sepele.

Baiklah, Farel memang bukan temanku secara langsung. Dia adalah teman sekelas Nina dan Arief. Hanya karena dia berteman dekat dengan dua orang teman dekatku, itu tidak lantas menjadikannya secara otomatis sebagai temanku juga. Apalagi aku memang berbeda jurusan.

TAPI, sekali lagi TAPI, dia sering sekali datang ke tempat kost Nina, di mana Nina adalah housemate-ku. Jadi tak bisakah kami berbasa-basi sekadar sapaan ‘Hai!’ saja? Atau seulas senyum tipis saja? Salahkah aku melakukannya?

Tidak salah menurut ukuran orang kebanyakan. Sebagai bangsa yang konon menjunjung tinggi ramah tamah dan sebagainya, itu bahkan keharusan. Tapi dia itu kaktus! Jadi upaya ramah-tamahku tidak pernah ditanggapi. Tidak sekali pun. Seolah dia
tak pernah menganggapku ada. Aku ini hanyalah makhluk halus tak kasat mata baginya.

Jika itu orang lain, mungkin aku bisa mengambil opsi tidak ambil pusing. Malu hanyalah perkara waktu. Seiring hari berlalu, aku pasti akan segera melupakannya. But the thing is: I like him. Yup, kaktus itu, aku menyukainya. Menyebalkan, bukan?Terutama karena suka-menyukai berada di tempat tersendiri yang tidak tersentuh oleh logika. Jadi walau pun rasa itu forbidden —oleh diriku sendiri—hal itu tetap berlangsung dengan lancar dan bebas hambatan.

Hari ini kami sedang berada di rumah Nina di Bogor. Orang tuanya sedang pergi dan dia memanfaatkan kesempatan ini untuk mengajak teman-temannya menghabiskan waktu weekend di sini. Aku tidak sepenuhnya membenci ide ini, kalau saja sejak awal dia memberitahuku bahwa kaktus itu akan diajaknya turut serta. Tapi dia membohongiku! Katanya hanya akan ada sedikit orang saja, dan tanpa Farel. Nyatanya dia mengajak orang nyaris se-RT. Dan Farel datang ke sini juga, bersama beberapa cewek yang tengah dekat dan diisukan sedang mengincarnya. Bisa dibayangkan bagaimana siksaan perasaan yang harus kutanggung selama dua hari ini. Sayangnya, Nina agaknya sama sekali tak peduli. Itulah yang membuatku berada dalam state sensitif dan siap meledak sekarang.

Aku menyingkir ke halaman belakang karena tak tahan dengan suasana gaduh di ruang tengah. Tapi tak kusangka di sini aku harus bertemu dengan kaktus itu. Dan salah mengenalinya sebagai Arief pula, meminta tolong dengan sok tahu tanpa menoleh lebih dulu untuk memetikkan bunga mawar kampung yang tumbuh tinggi tak terawat di sudut kebun. Akhirnya, beginilah nasibku, diperlakukan sewenang-wenang oleh Farel dengan sifat kekaktusannya.

“Naaa, siniii...!” Nina memanggilku sambil melambaikan tangan dari pintu belakang.

Aku menghampiri Nina sambil menggerutu. “Pohon mawar di sudut halaman itu, bisakah kamu menebangnya aja?”

“Huh? Kenapa?”

“Karena susah metiknya!”

“Gampanglah, nanti kupetikin. Sekarang kamu bikinin nasi goreng dulu buat makan kita.”

Aku memelototinya tak senang.

Tapi Nina yang memang paling jago dalam urusan memaksa itu mendorong tubuhku ke arah dapur tanpa mau mendengarkan kalimat keberatanku. “Kalau kamu nggak mau lakuin itu, perut semua orang di sini, termasuk kamu, nggak akan dapet apa-apa buat mengisinya sampai besok pagi. Pikirkan aja seperti itu.”

Huh, aku paling malas kalau Nina sudah mulai ‘memanfaatkanku’ seperti ini dengan membesar-besarkan pujian bahwa aku ini berbakat menjadi chef dan sebagainya; melemparkan padaku dengan seenaknya setiap hal yang berhubungan dengan menyiapkan makanan, seolah itu adalah kutukan yang sudah menjadi takdirku. Dia pikir kemampuan memasakku jatuh begitu saja dari langit? Bakat alam, huh? Sama sekali tidak. Ibuku membuka usaha katering di rumah dan dikarenakan budaya bermalas-malasan tidak pernah ada di keluargaku, seluruh anggota keluarga __termasuk ketiga kakak laki-lakiku__ telah dibiasakan untuk membantu. Sedangkan Nina terlalu malas bahkan untuk sekadar tahu pekerjaan rumahan, maka dari itu dia tak bisa apa-apa. Itu saja masalahnya.

Akhirnya, aku melakukan ini bukan karena patuh. Tapi memasak nasi goreng sendirian di dapur kurasa masih lebih menyenangkan daripada bergabung dengan mereka dalam obrolan dan tawa-tawa tak jelas itu.

Aku sudah hampir selesai ketika mereka datang menyerbu dengan antusiasme seperti orang yang sudah dua hari tidak makan. Berdesak-desakan masuk ke dapur, saling mendahului mengambil piring dan saling mendorong sambil tertawa hahahihi
macam kelakuan anak-anak SD. Aku menghela napas dalam-dalam untuk menyabarkan diri. Namun baru saja kubuka mulut hendak menegur, pergerakan dorong-dorongan itu keburu menuju padaku. Tubuh beberapa orang terdesak ke arahku dan mengenaiku.

Sangat tidak beruntung, tanganku sedang memegang pisau. Tekanan beban itu menyebabkan mata pisau terdorong ke telapak tanganku dan menyayatnya. Mereka baru menyadari hal buruk apa yang telah mereka sebabkan atas sikap kekanak-kanakan itu hanya setelah aku membanting pisau dan melangkah meninggalkan dapur dengan tetes-tetes darah tercecer di lantai. Dan mendengar mereka menanyakan aku kenapa dan apakah baik-baik saja, kesalku meluap.

Tempat yang kutuju untuk menenangkan diri adalah beranda depan. Sejenak setelah menduduki sebuah kursi di sebelah ujung, kuhela napas dalam berulang kali untuk meredakan kesalku.

“Aku pengin sendirian!” tegasku langsung ketika kaki Arief baru selangkah melewati pintu. “Jangan biarin salah satu pun dari mereka datang menggangguku.”

Arief mengangguk sabar, menyerahkan sehelai sapu tangan untuk menahan darah yang keluar dari lukaku. “Apa lukanya besar?” tanyanya sambil memeriksa.

“Kejengkelanku jauh lebih besar.” jawabku ketus.

“Kamu kenapa sih dari tadi marah-marah aja?”

“Karena kaktus itu ada di sini!”

“Kalau udah tau dia ikut ke sini, kenapa...”

“Siapa yang tau?” aku menyambar galak. “Nina maksa aku ke sini tanpa ngasih tau kalau dia juga ikut.”

Arief mengangguk-angguk saja, kemudian meninggalkanku tanpa komentar apa-apa lagi.

Beberapa menit kemudian, sesosok bayangan muncul lagi dari pintu. Arief lagi? Atau Nina? Ah, siapa pun itu, pokoknya aku sedang tak ingin diganggu, titik. “Jangan ke sini, tolong!”

Tapi orang itu tidak terpengaruh. Dia melangkah mendekat, lalu meletakkan sesuatu di atas meja tak jauh dariku. Sekotak kecil perlengkapan P3K.

Dan aku kaget saat melihat rupa orang itu. Farel! Ya, Farel, Si Kaktus.

“How could that happen?” tanyanya mencemooh sambil menduduki kursi di seberang meja. “Bukannya Alana itu perfect dalam melakukan apa pun?”

Aku meradang. “Emangnya kamu nggak lihat sendiri kejadiannya tadi?”

“Emangnya setiap apa yang kamu lakuin harus dilihat orang lain? Supaya ketahuan kalau kamu hebat?”

Oh, please...! Kesabaranku bisa lekas habis kalau begini caranya. “Apa kamu membenciku? Kenapa?” tanyaku langsung ke inti sasaran. Sudah lama aku merasa dibenci olehnya tanpa alasan.

Dia tidak menjawab apa-apa, hanya mengisyaratkan dengan matanya agar aku lekas melakukan sesuatu pada lukaku dengan kotak P3K yang tadi dibawanya.

Sambil berusaha menekan kekesalanku, kuraih juga kotak itu. Dari membersihkan luka sampai dengan meneteskan obat antiseptic, aku masih bisa melakukannya sendiri. Tapi saat tiba pada proses pembalutan, terutama karena yang tersayat adalah pinggiran telapak tangan kananku, hanya dengan menggunakan tangan kiri saja tentunya aku kesulitan.

Awalnya dia hanya menonton saja; seolah menikmati momen dan dalam hati bergumam, coba saja kalau bisa. Tapi kemudian secara mengejutkan, dia meraih tanganku, mengambil alih hal yang sedang kesulitan kulakukan itu.

Aku terkejut, degup jantungku kencang dan cepat, namun tubuhku serasa membeku. Aku hanya terperangah saja, tidak sanggup bereaksi dan menyuarakan kalimat apa pun, menurut dengan dungu atas apa yang dia lakukan. Dan sementara itu dia tetap kalem, menyelesaikan proses pembalutan lukaku dengan tenang, juga tanpa berkata apa-apa.

Detik demi detik bergulir sangat kaku pada pihakku. Luka di tanganku pun akhirnya selesai dibalut. Dan aku terdesak oleh keharusan mengatakan sesuatu.

“Makasih.” dengan terbata-bata akhirnya aku sanggup mengucapkan kalimat itu.

Dirapikannya kotak P3K tanpa menatapku. Sebelum beranjak, dia mengatakan sesuatu yang membuat kesalku kembali berkobar. “Mulai sekarang kamu harus belajar mengakui bahwa nggak semua hal bisa kamu lakuin sendiri tanpa bantuan orang lain.”

Oh Tuhanku...!

***

Kapan aku pernah mengatakan bahwa aku bisa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain? Bahkan sekadar berpikir pun tidak. Benar sepertinya, aku dibenci atas sesuatu yang tidak pernah kulakukan. Memikirkan itu, kesalku jadi tak
habis-habis. Mood-ku membadai, dan semakin tak ada minat rasanya untuk berinteraksi dengan mereka.

“Na, ayo!”

Bahkan tanpa perlu menanyakan mereka hendak ke mana, aku langsung menolak ajakan itu. “Aku nggak ikut.”

“Tapi kami pulangnya mungkin agak malam. Kamu berani sendirian di rumah?”

“Berani.”

Lalu mereka pergi.

Sejenak aku merasa lebih rileks tanpa mereka. Tidur-tiduran dengan tenang di atas sofa ruang tamu tanpa suara-suara ribut itu. Sampai kusadari, ada sesosok lelaki asing mondar-mandir mencurigakan di depan rumah. Kuamati sosok itu diam-diam dari balik tirai jendela. Perawakannya kurus, kulitnya kehitaman seperti terlalu banyak terpanggang matahari, rambutnya agak gondrong, dan terdapat tatto di lengan kanannya. Dia terlihat berusaha mengintip ke dalam rumah, namun juga sembari celingak-celinguk ke arah jalan, seperti takut ketahuan orang. Sayang sekali jarak rumah Nina agak berjauhan dengan rumah-rumah tetangganya.

Ketakutan menyergapku. Pikiran burukku sibuk menebak-nebak siapakah lelaki itu dan apa yang hendak dilakukannya. Tak berani menimbulkan suara, akhirnya aku hanya meringkuk saja di sudut sofa sambil dalam hati memohon-mohon kepada Tuhan agar orang itu lekas pergi.

Untungnya, sesaat kemudian, terdengar suara langkah kaki pada jalan kecil berkerikil yang membelah halaman rumah. Lelaki asing itu pun menghilang, sembunyi entah ke mana.

Rupanya salah satu temanku kembali lagi untuk mengambil jaketnya yang tertinggal. Walau pun agak disayangkan, orang itu adalah Si Kaktus Farel.

“Aku ikut.” ucapku akhirnya, memilih mengambil jalan aman, ketika Farel sudah bersiap pergi lagi.

Dia menolehku dengan tatap menyelidik. “Kenapa ikut?”

“Emangnya nggak boleh ikut?”

“Tadi bersikap kayak yang nggak butuh temen begitu. Jangan bilang..., kamu takut sendirian di sini dan baru nyadar belakangan?”

Aku memalingkan muka. “Ada orang mencurigakan di depan situ.”

“Mana? Waktu masuk tadi aku nggak lihat.”

“Dia sembunyi karena ada orang datang.”

Dia tersenyum mengejek. “Alasanmu terdengar mengada-ada.”

“Beneran!”

Tapi dia hanya mengangkat bahu dengan sisa ejekan dari senyum sinisnya yang belum memudar, kemudian begitu saja berlalu.

Aku menguntit di belakangnya dengan perasaan terpaksa. Jangan sampai berada di sini sendirian, itu saja prioritasku sekarang. Hal lainnya mengenai sikap Farel yang mengesalkan itu akan kupikirkan nanti-nanti.

Tapi di depan pintu, tiba-tiba dia berbalik dan menatapku kejam. “Kata siapa aku bersedia kamu ikutin?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku tertegun. Tatap itu serasa menggigilkanku. “Tolong...” ucapku nyaris tak terdengar. Suaraku tercekat di tenggorokan.

“Aku nggak mau nolong kamu.”

“Apa salahku?” tanyaku berusaha menahan sisa kesabaranku yang sudah hendak luruh tak bersisa. Akhirnya aku punya kesempatan juga untuk menanyakan misteri ini. Hal yang sejak dulu hanya bisa kutekan di dalam hati.

Dia berlalu dingin, tak peduli.

“Aku tanya, apa salahku!!” bentakku marah.

Dia menghentikan langkah sambil menghela napas sangat panjang, menghembuskannya keras-keras, seakan ini bukan kali pertama dan dia telah hampir sampai pada batas terakhir kesabarannya. “Kamu nggak pernah salah. Kamu selalu bener, selalu sempurna, selalu bisa melakukan semuanya sendirian...”

“Tolong!” sergahku penuh penekanan. “Kalau aku ada salah sama kamu, bilang aja! Kalau kamu merasa terganggu sama sikapku, omongin aja langsung! Kalau kamu benci sama aku, kasih tau alasannya!”

Sepasang mata itu berkilat semakin dingin. “Ya, aku benci sama kamu.”

“Kenapa? Jujur aja, aku siap denger jawabannya, apa pun itu.”

“Bukan karena kamu bersalah, tapi anggap aja situasi mengorbankanmu.”

“Apa?” tanyaku tak mengerti. “Apa maksudmu?”

“Kamu...” dia terlihat berusaha menekan suatu rasa di dalam dadanya. “mirip seseorang yang kubenci.”

Tuhanku!

Farel lalu menceritakannya. Semua. Semuanya. Tentang seorang perempuan yang memiliki wajah dan perawakan hampir sama denganku, dengan sifat-sifat yang juga sepertiku, dan kemampuan melakukan banyak hal tanpa bantuan orang lain yang
dia pikir juga sama sepertiku. Namanya Tania. Gadis itu sudah lama berada di sisinya sebagai seseorang yang lebih dari sahabat, tapi ketika dia mengungkapkan perasaannya, Tania malah pergi. Gadis itu merasa tak perlu bersama siapa pun saat itu karena dia bisa melakukan semuanya sendiri. Dia memiliki ambisi menaklukkan dunia. Keberadaan seseorang di sisinya, dirasanya justru akan menghambat langkahnya.

Dan sementara Si Kaktus bercerita, aku kehilangan konsentrasiku. Kepala dan hatiku mendadak kosong. Satu hal yang berdengung-dengung di dalam kepalaku hanyalah: aku tak pernah ada di mata Farel. Baginya, aku hanyalah bayang-bayang
Tania.

Air mataku mengalir tanpa terasa. Dengan gerak seperti robot, aku berlalu ke dalam rumah, tak peduli lagi pada lelaki asing yang tadi mondar-mandir mencurigakan di halaman, tak peduli pada Farel yang kemudian terlihat kebingungan sendiri
menyadari reaksiku.

***

Sore hari, tiga hari kemudian, Farel datang ke rumah kost kami.

“Nina nggak ada.” kataku singkat dan dingin, menghadangnya di ujung teras sebelum dia repot-repot membuang waktu dan energi untuk masuk ke dalam rumah.

“Aku bukan nyari dia kok, tapi kamu. Ada yang pengin kubicarain.”

“Apa itu?”

“Umm, itu... mengenai kejadian tempo hari di rumah Nina...”

“Forget it!” tukasku malas.

Dia menatapku lekat, sedikit murung. “I tried, but I couldn’t.”

Aku mendengus hambar. “Itu bukan urusanku. Tapi well, karena kamu ada di sini, kurasa aku juga perlu jujur sama kamu tentang satu hal.”

“Apa itu?”

Aku gantian menatapnya lekat. “Aku suka sama kamu.”

Tatapnya tertegun.

Aku juga tak membayangkan sebelumnya kalau aku akan bisa mengungkapkan pengakuan selangsung dan setiba-tiba ini, dengan ekspresi dan perasaan yang nyaris datar. Tapi entah mengapa aku begitu memiliki keyakinan untuk melakukannya. “Selama ini,” sekali lagi aku mengulanginya, “sebenernya aku suka sama kamu. Tapi kubuat statement ini bukan sebagai permintaan apa pun. Perasaan ini kuakui karena aku ingin mengakhirinya.”

Dia semakin tertegun.

“Kamu membenciku, sebagai dia. Mungkin kamu juga masih menyimpan sedikit rasa, karena itulah benci itu ada. Tapi sekarang bukan lagi jenis rasanya yang penting, tapi siapa yang kamu beri rasa. Benci atau pun sebaliknya, kamu melihatku sebagai dia. Jadi bagiku, ini adalah akhir. Karena di matamu, aku nggak pernah ada. So, good bye, Farel. Mulai sekarang, lebih baik kita nggak usah saling menganggap ada satu sama lain. Itu pasti akan lebih mudah buat kita. Dalam waktu dekat, aku akan pindah kost, supaya kita nggak perlu bertemu lagi.”

“Alana...” dia bergumam pelan, tercekat.

Aku memaksakan seulas senyum, kemudian berlalu ke dalam rumah; menutup pintu, menutup hatiku.

***

Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku akan pindah kost. Arief dan Nina mencoba mencegahku tapi aku tak peduli. Tempat kostku yang baru lumayan jauh dari kampus, jadi kupikir aku akan bisa lebih tenang dan lebih mudah untuk melupakan Farel karena tak perlu lagi melihatnya nongkrong bareng dengan Arief dan Nina di depan rumah.

Tapi yang membuatku tak mengerti, Farel malah mengejar-ngejarku semenjak itu. Tentu saja aku terus menghindar. Untuk apa lagi aku meladeninya?

Hanya saja, setinggi-tinggi tupai melompat pasti pernah terjatuh juga. Suatu sore, aku akhirnya menyerah, menghentikan langkah, ketika dia yang mulai marah itu menghadang langkahku di trotoar pinggir danau buatan di depan kompleks tempat tinggal baruku.

“Berhenti nyiksa aku, tolong!” sergahnya emosional. Kedua matanya meradang. Rahangnya yang tirus terlihat mengeras menahankan geram.

Walau degup jantungku agak kacau, aku mendesah malas, memalingkan mukaku ke arah danau. “Aku nggak ngerti apa maksudmu.”

“Dari dulu, kamu selalu, terus-menerus... main-mainin perasaanku.”

“Aku?” dengusku geli, sambil memasang tampang tak berdosa. “Kapan ya?”

“Sejak pertama kali muncul di hidupku!” jawabnya membentak. “Saat kamu terus ngingetin aku sama dia, saat kamu bikin aku terus mikirin kamu bahkan saat dia udah nggak berarti lagi buatku, saat kamu membuatku takut terluka lagi, saat kamu bikin aku berusaha membohongi diri...”, dia mengatur napas sejenak, menenangkan dadanya yang turun naik.  “Dan karena kamu udah terlanjur bilang suka sama aku, kamu nggak boleh seenaknya menghindar, paham??”

Aku menatapnya marah. “Egois!” desisku benci. “Semua yang lagi kamu bahas itu adalah tentang dirimu, tentang perasaan dan kepentinganmu. Bagaimana dengan aku? Dengan perasaanku? Kamu nggak pernah mikirin itu?”

“Bukannya aku nggak mikirin, tapi kukira aku ini nggak penting buatmu. Jadi gimana aku tau kalau sikapku nyakitin perasaanmu?”

“Alesan!” sergahku kejam. “Whatever the hell your excuse is, mengabaikan sapaan ramah-tamah orang lain itu tetep sikap yang kurang ajar!”

“l’ll make it up for you,” selanya cepat. “Aku tau kata maaf aja nggak bakalan cukup, karena itulah kamu boleh bales aku nanti. Kamu boleh bales aku sesukamu, but please, jangan dengan menghindar. Give me just one chance, please...?

“I did, so many chances!” jawabku sengit, namun tersendat. Ada gejolak rasa yang hendak meledak di dalam sini, sebagian menyumbat di tenggorokan, sebagian lagi meluap ke kedua mata dan menggenangkan rasa panas di sana. Mataku mulai berair. “Apa salahku? Aku cuma seorang cewek naif yang nggak bisa berhenti menyukai seseorang, tanpa mengerti apa-apa mengenai masa lalu orang itu. Aku nggak bisa milih untuk terlahir mirip siapa, dengan sifat macem apa. Rupa fisik ini, wajah ini, sifat ini, semuanya bukan kehendakku sendiri.”

Farel terdiam, menghela napas panjang, melarikan tatap gelisahnya ke arah lalu lalang kendaraan di jalan utama kompleks.

“Kamu tau rasanya diabaikan?” cecarku setengah menangis. “Kamu tau rasanya dicuekin sama orang yang kita sukai? Dibenci tanpa tau kenapa, dikecualikan seolah kita ini hantu yang nggak kelihatan, nggak pernah dianggap, bahkan dituduh sombong dan sebagainya. Lama aku mikir, pusing setengah mati, mengoreksi diri, salah apa sebenernya aku ini. Dan ternyata, kesalahanku hanyalah... karena aku mirip seseorang. Sangat nggak adil.”

I’m sorry,” sahutnya pelan, “Oke, aku banyak salah. Tapi sebenernya aku nggak pernah mandang kamu sombong atau apa. Kalian kebetulan mirip dan karena itu kamu jadi terus menyita perhatianku. Kamu manis, kamu pinter, kamu mandiri, tapi kamu bukan dia. Aku sadar kamu bukan dia. Rasa itu tumbuh bukan karena ada bayang-bayang dia di dalam diri kamu. Aku
menyukai kamu karena itu kamu, sebagai kamu, dan itu nggak bisa berhenti walau pun aku udah berhenti menyukai Tania.”

“Bohong!” sergahku.

“Nggak.” jawabnya tenang, yakin, bahkan kali ini menatap lurus-lurus ke dalam mataku.

“Bohong!!” aku justru mengulanginya semakin keras.

“Aku serius, Alana.”

“Kalau semua itu bener, terus kenapa? Kenapa sikapmu malah nyakitin? Apa tindakanmu masuk akal?”

“Karena..., aku begitu pengecut ingin melindungi hatiku. Karena tadinya kupikir... kamu nggak memandang cowok mana pun selain Arief. Kukira kamu menyukai dia.”

Apa? Oh Tuhan, ini sungguh membuat frustrasi. “Bodoh! Sok tau! Kalau belum jelas kenapa nggak nanya? Menyimpulkan sepihak macem itu, kamu bener-bener...” omelku kesal, sangat kesal. Bagaimana bisa aku harus mengalami semua ini, menjadi korban situasi?

Namun kebalikan dariku, segurat senyum samar malah terukir di bibirnya. “Ya, aku emang bodoh.” akunya.

“Dasar kaktus angkuh!” hasrat mengomelku masih belum habis.

Senyum yang tadinya samar itu semakin jelas kini. Manis, terlalu manis, membuat segala amarahku perlahan menyingkir, lalu terbang entah ke mana. “Apa kamu tau?” tanyanya. “Cara kamu menyebutku itu, kaktus, I like that.”

“Kamu tau?” tanyaku terkejut.

Dia mengangguk.

“Nina yang bilang?”

“Walau pun dia nggak bilang, aku pernah denger kamu ngata-ngatain aku di belakang kayak gitu.”

Oh no! Kali ini, akulah yang merasa tersudut, berharap angin menerbangkan rasa maluku. “Aku nyebut kamu kayak gitu bukan supaya kamu menyukainya.” koreksiku buru-buru.

“But I feel special.”

Ugh, damn it.

Senja turun perlahan, memantulkan paras eloknya pada riak-riak air di permukaan danau. Setelah amarah mereda, sikap kami menjadi canggung. Hanya saling menatap sekilas, lalu kembali sibuk melarikan pandangan ke pohon-pohon atau atap-atap
pertokoan. Akhirnya aku memilih mengakhiri pembicaraan ini lebih dulu, pamit pulang sebelum sikapku berkembang menjadi semakin aneh.

Dia menahanku sejenak sebelum aku berlalu. Dikeluarkannya sesuatu dari dalam ranselnya, kemudian disodorkannya kepadaku.

Aku sedikit terbelalak.

Bunga mawar!

Ya, sebuah buket yang terdiri dari beberapa kuntum mawar pink persis seperti yang tumbuh di kebun belakang rumah Nina. Aku sedikit ragu, tidak langsung menerimanya.

“Ini yang seharusnya kukasihin ke kamu, waktu di rumah Nina.” katanya.

“Hanya karena aku meminta? Jangan lupa, these are roses.”

“Ya, these are roses. And I’m giving it to you.”

“Dengan maksud tertentu?”

Of course. Dan aku akan menganggapnya sebagai maksud tertentu juga, kalau kamu terima ini.”

Belasan detik aku mematung, memandangi buket mawar itu sambil menimbang-nimbang rasa raguku. Tapi tak lama kemudian aku membuat keputusan. Aku menerimanya, atas pertimbangan bahwa seseorang berhak atas sebuah kesempatan
untuk memperbaiki kesalahannya, dan seseorang lainnya berhak atas... atas apa? Kebahagiaan?

Ah, whatever. Tidak serumit itu sebenarnya. Aku hanya ingin memiliki apa yang kusukai, itu saja.

Thank you anyway, walau agak terlalu telat.” ujarku dengan nada masih sok jual mahal ketika akhirnya kuambil buket bunga itu dari tangannya, dan tentu saja langsung buru-buru pamit karena tak ingin dia memergoki rona berbunga-bungaku.

Dia tersenyum.

Langkahku terasa ringan ketika kulambaikan tangan dan bergegas meninggalkannya. Dia tetap berdiri di sana, menunggu sampai aku berlalu. Senyumnya terpantul di langit lembayung.

***

SELESAI

 

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya