#MahakaryaAyahIbu: Sepasang Rokok dan Kopi

Terimakasih karena telah membahagiakanku.

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


“Pagi yang hangat dari malam yang dingin, tiba-tiba menyorotku pada sebuah serenade kharismatik. Serasa kemarin, masih kudengar suara adukan kopi dan sembulan asap rokok di ruang tamu. Sembari bangun dari kantuk, kudengar suara Ibu tertawa bersama pria itu.” Serasa risih dengan kebiasaan laki-laki ini yang suka merokok dan ngopi di pagi hari. Hingga pada sebuah malam yang sendu, aku merindukan sepasang kopi dan rokok itu.

Pagi yang masih terasa hangat sampai sekarang, seolah baru saja terjadi. Setiap kali kucoba menengok jam-jam yang lalu, terasa baru sedetik hari itu terlampau.

Tepat pada hari Jumat bulan penuh berkah dimana Tuhan merahmatkan sejuta keindahan. Tepat pada malam seribu bulan, “Tuhan sedang merindukan seorang pahlawan”. Pahlawan yang tak seindah sebuah kata.

Teringat masa bahagia di umur kanak-kanakku. Laki-laki dengan sepasang rokok dan kopi itu menyabarkan diri dengan setiap hari mengantarku sekolah. Kalian tahu motor Honda WIN keluaran tahun 1984? Ya, di tahun 2000 laki-laki itu masih mengendarainya untuk mengantarku kemana pun aku pergi. Mogok, ban kempes, busi tua, knalpot tua, sudah menjadi tantangan biasa baginya. Tapi, semua itu tidak menjadi alasan terlambat untuk pergi bekerja dan sekolah. Hingga aku tahu, bahwa sukses di sekolah bukan lagi soal fasilitas yang mewah, tapi soal kegigihan dan kedisiplinan yang gagah.

Masih sebuah cerita laki-laki dengan sepasang rokok dan kopi di masa aku menjalani purbetasku yang lucu. Ditengah kejamnya neraka manusia yang menundukkan semangat manusia lainnya. Laki-laki dengan sepasang rokok dan kopi berkata lain padaku. “Suatu hari, tulisanmu akan bagus sampai mengalahkan tulisan guru-gurumu”.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Jika hari itu, seribu manusia meremehkanku dengan hina, satu manusia itu membuatku yakin bahwa hidupku adalah berharga dari pada yang lain. Sejuta orang membuatku jatuh dengan satu alasan, satu orang membuatku bangkit dengan seribu alasan. Dan diantara sepasang rokok dan kopi, laki-laki itu berkata, “Ciri-ciri orang cerdas, adalah tidak bisa menyerah. Bukan tidak ‘boleh’ atau tidak ‘gampang’ menyerah, tapi tidak ‘bisa’ menyerah”.

Sampai pada masa putih abu-abu, impianku semakin liar. Imajinasi tentang dunia uar dan kampus menjadi mimpi tidur rutinanku. Sampai pada suatu hari, aku menginginkan kuliah di sebuah institute teknologi di Surabaya. Semua orang tidak percaya bahwa aku akan berhasil masuk universitas tersebut, tapi laki-laki itu berkata, “Kamu bisa diterima. Ikutlah bimbingan belajar di sekolah sebagai tambahan”. Lalu aku berkata, “Siap. Aku mau”.

Di tengah pengejaran cita-cita indahku. Kembali pada Tepat pada malam seribu bulan, “Tuhan sedang merindukan seorang pahlawan”. Shalat terakhir di raka’at ke 23, laki-laki dengan sepasang rokok dan kopi itu sujud kepada-Nya lebih lama dari biasanya. Sampai di malam itu, Tuhan benar-benar memanggilnya. Sejak hari itu, aku kehilangan sepasang rokok dan kopi di pagi hari. Sampai aku sadari, bahwa sepasang rokok dan kopi itu adalah pahlawan sejati.

“Ayah”

“Ayah, hidup ini tidak seindah ketika kita bersekolah. Jika kita terlambat, esok hari kita bisa memperbaikinya untuk tidak terlambat lagi. Tapi hidup, tidak ada kata terulang. Jika terlambat, tidak ada lagi kesempatan. Ayah, maafkan aku jika aku terlambat. Kau pahlawanku, tapi aku tidak pernah menjadi pahlawanmu. Kau penyemangatku, tapi aku selalu lupa menyemangatimu. Kau penopang impianku, tapi aku tidak pernah memperhatikan impianmu. Terimakasih atas warisan yang kau tinggalkan, kesederhanaan, kegigihan, semangat dan kesungguhan terlalu melekat dihatiku dan saudara-saudaraku."

“Ayah, hari ini, aku berhasil masuk di perguruan tinggi impianku. Terimakasih karena tak pernah lupa mendo’akanku, dan meyakinkanku di antara orang yang menjatuhkanku."

“Ayah, jangankan mahakarya, karya pun aku belum bisa menciptakannya untukmu. Jika tulisan ini telah sampai dan mengalahkan indahnya kerinduan ombak pada cahaya purnama. Maka, mahakarya ini aku sampaikan melalui tangan Tuhan yang menyayangimu.”

Dari anakmu, yang selalu kau bahagiakan, yang selalu ingin kau banggakan.

Indah Fatawiyah Photo Writer Indah Fatawiyah

Talk Less Do More

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya