[CERPEN] Tiga Tangkai Melati

Adikku, tiga tangkai melati, dan dia

 

Liburan tahun baru ini ibu mengajakku ke rumah nenek lagi. Liburan yang membosankan, mengapa tidak ke tempat lain yang lebih mengasyikan. Yang membuat membosankan adalah tidak ada hal yang bisa dilakukan disana, kejenuhan yang ada. Tapi berbeda dengan adikku yang malah senang setiap berkunjung ke rumah nenek, entah hal apa yang membuatnya begitu.

“Kakak udah beres-beresnya? Nanti kalo udah langsung masuk ke dalam mobil ya, harusnya kita sudah berangkat.” Ledek ibuku. Aku bergegas membereskan kamar dan barang barangku supaya tak kena omel ibu lagi.

“Ibu… bunga melatinya udah ada di mobil? “ Ini yang membuatku risih. Setiap keluarga kami berkunjung ke rumah nenek, adikku selalu membawa tiga tangkai bunga melati. Aku tanya untuk apa bawa bunga melati segala, dia malah mendelikkan mata, menyebalkan sekali.

Seperti biasa setelah tiba di rumah nenek ayah dan ibu ngobrol dengan penghuni rumah di sana, aku hanya mendengarkan dan mengangguk seolah mengerti demi menghindari tatapan tajam ayah dari tadi. Kami menginap di rumah nenek seminggu, tepatnya enam hari yang membosankan. Adikku tampak ceria sekali kami ada di sini, sudah aku kira. Ingin waktu cepat rasanya berlalu membawa kebosanan ini.

***

Hari terakhir kami disana, aku, ayah dan ibu bersama-sama membantu membersihkan rumah nenek. Aku kesal sekali karena adikku tak nampak batang hidungnya. Ia tidak membantu kami juga, mungkin ia sedang bersenang-senang bermain di taman belakang rumah. Penat sekali rasanya seharian membersihkan rumah.

Sore menjelang, akhirnya selesai juga pekerjaan, semuanya telah dirapikan. Saat aku sedang beristirahat di teras depan rumah, tiba-tiba adikku datang dari dalam berlari-lari kecil. Tentu aku kaget sekali karena dari tadi aku membersihkan rumah tak tampang sekalipun adikku terlihat di dalam.

“Adek? Dari mana saja?!” Tanyaku dengan heran.

“Dari dalam, emang kenapa?" Ia malah bertanya balik.

“Kakak tadi bebersih di dalem kok nggak liat adek sih?"

“Ya nggak tahu kak, dari tadi aku main terus sama laras di dalam kak.”

Eh Laras? Laras siapa? Rasa rasanya belum pernah dengar nama Laras, di rumah nenek tidak ada yang namanya Laras. Ah itu tidak penting, mungkin adikku bermain dengan teman khayalannya. Besok sudah pulang, jadi liburan yang membosankannya sebentar lagi selesai.

 

 Aku terbangun malamnya, tenggorokanku rasanya kering, haus.

“Dek, bangun, anter kakak cari minum,” kataku agar adikku bangun. Tapi beberapa saat kemudian aku sadari, adikku tidak ada di kasur yang seharusnya tidur di sampingku. Aku turun dari tempat tidur mencari adik. Tiba-tiba terdengar samar samar terdengar suara orang yang sedang berbicara. Jantungku berdebar, aku mulai takut.

Samar-samar suara itu ternyata suara adikku. Aku mulai melangkah keluar kamar untuk mencari asal suara tersebut. Suara itu berasal dari bagian belakang rumah dekat dapur, udara dingin menghembus badanku, tambah merinding. Suara itu berasal dari ruangan sebelah kiri dapur. Aku ingat, ruangan ini adalah ruangan yang ibu larang agar jangan dibersihkan tadi siang.

Suara adik terdengar semakin jelas. Dia terdengar seperti sedang berbicara, tapi tidak ada suara yang menjawabnya, ia berbicara sendiri. Pintu kamarnya terbuka, aku mencoba menengok ke dalam ruangan tersebut. Ruangannya gelap, entah mengapa adikku bisa tau letak ruangan itu. Saat kulihat, ternyata adikku sedang berbicara menghadap ke arah dinding yang gelap, eh rasanya ada yang aneh. Aku terkejut sekaligus takut, tubuhku merinding tak karuan. Adikku sedang berbicara dengan sebuah lukisan!

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

 

Lukisan seorang anak perempuan yang dibalut kebaya putih dengan bunga melati melekat di kuping kananya, bibirnya terseyum misterius.

“Adek, adek Intan…” Panggilku yang sedikit berbisik ke arahnya, dia tidak mendengarku. 

“Adek..adek...,” panggilku sekali lagi, kini adikku menyadari keberadaanku. Dia kemudian berbalik memandangku, aku terkejut bukan kepalang.

“Eh, kakak,” aku mundur dua langkah. Yang membuatku takut adalah karena adikku memandangku dengan mata yang tertutup, tapi dia jelas mengetahui keberadaanku. Ia tersenyum kepadaku.

“Sini kakak, kenalin ini Laras, Laras ini kakak aku, Andra.” Dia berbicara lagi dengan lukisan itu seolah-olah mengenalkan lukisan itu kepadaku.

 

Tubuhku gemetar hebat, kucoba mundur keluar dari ruangan itu, langkah mundurku terhenti  karena menabrak sesuatu..

Deg! Ternyata ada seseorang yang berdiri di belakangku, melangkah masuk.

“Non Intan, kasih bunga melatinya ke Laras.” Seseorang itu adalah Mbok Tia, salah seorang pembantu nenek. Sekejap dia memandangku lalu mendekati adik. Ia mengambil tiga tangkai bunga melati di tangan adik lalu menaruhnya tepat di bawah lukisan itu. Ternyata di sana banyak berserakan bunga melati yang sudah layu bunganya.

“Ayo Non,” Mbok Tia menuntun adek keluar ruangan itu.

“Mari Non Laras.” Hah? Mbok Tia berbicara ke lukisan tersebut. Aku lalu mengikuti Mbok Tia keluar dari ruangan tersebut. Tiba-tiba ada suara benda jatuh dari ruangan tersebut. Mbok Tia hanya tersenyum ke padaku sambil terus menuntun adik.

Aku coba mengintip ke dalam. Lukisan tersebut memandang lurus ke arahku, mata kirinya mengedip, suara hembusan ringan terdengar samar di telingaku, “Hai Andra…,” dengan cepat aku langsung berlari meninggalkan ruangan tersebut menuju ke kamar tidur. Tibanya di kamar, ada Mbok Tia yang baru saja menidurkan adik.

“Sini Non,” Mbok Tia menuruhnya duduk di sampingnya.

“Non ingat liburan sekolah empat bulan yang lalu?” Tanya Mbok Tia kepadaku, aku mengangguk.

“Non Intan tak sengaja masuk ke dalam ruangan itu saat sedang bermain di dalam rumah. Saat itu  Mbok lihat Non Intan bicara sendiri. Mbok tahu Non Intan bicara dengan lukisan itu. Gadis di lukisan itu sebenarnya adalah Laras. Laras adalah almarhum putri nenekmu yang telah lama meninggal dunia.  Laras meninggal dunia saat seumuran Non Intan.

Ruangan itu dulu adalah kamar Non Laras. Non Laras suka skeali dengan bunga melati, sering ia menempelkan bunga melati itu di telinganya sebagai hiasan. Mbok kasih tau tentang bunga melati tersebut kepada adekmu. Jadi, setiap Non Intan ke sini, Non Intan selalu membawa tiga tangkai bunga melati, Mbok menyesal sekali kasih tahu tentang bunga melati tersebut, karena Mbok tidah tahu mengapa Non Intan masuk ke ruangan itu selalu saat tengah malam.”

“Sudah ya Non Andra, sekarang Non tidur. Besok Non harus bangun pagi.” Mbok Tia Keluar dari kamar meninggalkan aku dan adikku. Aku terlelap dengan mudah seolah malam itu tak terjadi apa-apa.

 

Taufik Photo Writer Taufik

love writing

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya