[CERPEN] Cinta Hampir Terlambat

Tak ada yang bisa kulakukan tanpamu...

Hampir setiap saat aku tak bisa lepas darinya, mulai dari bangun tidur, kuliah, dan seabrek kegiatannya lainnya. Ia tak pernah meninggalkanku. Beberapa orang yang mengetahui ini sudah sering mewanti-wanti, “Jangan terlalu sayang, Gus. Nanti kalau ditinggal baru tahu rasa,” kata mereka. Sementara sebagian lain mengatakan jika perasaanku ini adalah fitrah.

Terlepas dari itu semua, aku mencoba terus mendekatkan diri padanya. Bahkan di malam-malam yang mengundang purnama atau sabit, aku terus berbagi banyak kisah dengannya. Tak sampai di situ, jejariku yang lumayan kekar, setiap malam memiliki kebiasaan aneh, yakni tak bisa tidur jika tidak menarikan jari hitam ini di balik tubuhnya yang sedemikian putih.

Aku dan dia bagaikan Adam dan Hawa yang menjadi manusia pertama di bumi, tak boleh terpisah, atau bisa saja berpisah, tapi ketika bertemu rasa rindu dendam langsung habis seketika.

Waktu berjalan seiring kebersamaan kami. Ia begitu setia menjadi teman terdekatku. Mengurai semua mimpi-mimpiku yang menjadi penulis.

“Kalau memang Gus pengin jadi penulis beneran mesti observasi!” katanya waktu itu memberi saran.

“Observasi? Bagaimana caranya?” aku pura-pura tak mengerti.

“Ya, tinggal menatapku. Kau bisa tahu semua perkembangan dunia.”

Aku tersenyum senang. Ia seperti menggodaku, kemudian tersenyum menang.

Kutarikan kembali tanganku di tubuhnya yang sedemikian putih. Ia bergelinjang senang. Romantis!

***

Awal mengenalnya adalah ketika seorang teman yang juga menyukai dunia menulis mengajakku ke suatu tempat. Dan anehnya melihat tubuhnya yang putih aku langsung terpesona. Kagum. Dan tanpa berkata-kata gombal apapun, kami sepakat menjalin koalisi.

Temanku yang memperkenalkan dia langsung mengucap kata, “Hati-hati.” Aku pura-pura tak mengerti. Maka, temanku yang memang lihai urusan sejenis dia langsung memberi beberapa pedoman yang harus aku kuasai seperti jangan terlalu letih menggunakannya, perhatikan kesehatan dia, dan yang terakhir jangan sampai kehadiran dia membuatmu lupa akan Dia.

Omongan rekanku itu serasa tak berguna, tak ada artinya, dan terlalu lebay di atas kelebayan yang dimiliki artis-artis ibu kota yang setiap hari masuk infotainment dalam setiap kegiatan, mulai dari makan, bangun tidur, semua aktivitasnya masuk dalam berita.

Benar-benar menyebalkan! Sudahlah, aku tak ingin berbicara artis, cukup tentang dia, dia, dan dia.

Oh, ya, sebentar lagi kebersamaan kami genap setahun! Yeeh! Betapa senangnya hatiku tak terkira. Kalian sebagai pembaca wajib tahu, sebenarnya aku sudah mengincarnya sejak lama, bahkan sejak SMA. Namun baru tersampai jelang kuliah semester tiga. Semua teman-teman yang mengetahui usahaku langsung memberi jempol.

Aku hanya tersenyum bangga.

Ya. Berkat dia aku bertambah semangat menulis. Bahkan, tulisanku kini diperhitungkan media massa. Tiga di antaranya dimuat media nasional, benar-benar sebuah kebanggaan.

 “Aku capek denganmu, Gus. Kau terlalu sering menggunakanku, tanpa mengetahui asupan makanan untukku,” ia mulai menggerutu.

Aku terdiam memerhatikan tingkah lakunya yang tiba-tiba diam seketika.

Tanpa kata, kemudian aku bertambah dekat padanya. Lalu mencium sebidang dadanya yang berwarna putih.

 “Aku harus memberimu apa agar kau tak ngambek lagi?”

 “Beri aku satu buku karanganmu, bukan lagi antologi picisan yang membuatku merasa tak berharga dimilikimu.”

Demi mendengar ia bahagia, aku pun melakukan hal tersebut. Sudah berulang kali kukirim naskah ke berbagai penerbit yang kuketahui. Tapi, tak ada satu pun yang merespon. Tekadku cuma satu, sebelum hubungan kami menjelang satu tahun. Satu buku telah ada sebagai upah dia yang menemani dan bergandang setiap malam denganku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Hari terus berlalu, tak disangka sebuah tawaran lomba terbit gratis datang. Ya. Sekalipun hanya dari suatu penerbit kecil. Aku pun langsung menawarkan naskahku. Bulan pun berganti bulan, ia terus merenggut padaku. Mula-mula merespon jemariku yang bisa memainkan tubuhnya dengan begitu lemotnya, kadang-kadang tiba-tiba ia diam beku tak bisa digerakkan.

Maka, hanya dengan memencet suatu tombol dalam tubuhnya, ia baru bisa bergairah, itu pun jika beruntung. Jika tidak, aku harus merapal mantra agar ia kembali tak mengamuk.

Memang benar apa kata orang, suatu hubungan jika memasuki satu tahun pasti banyak cobaan.

Anehnya, perihal hubungan ini diketahui orangtuaku. Mereka yang sudah setengah baya menanyaiku mengapa pertama kali tak membawanya pulang ke rumah. Sebagai mahasiswa yang rumahnya berjarak sekitar seratus kilometer dari kampus, aku sering pulang ke kampung membawanya mengenalkan pada orangtua.

Orangtua begitu senang mendengarnya, bahkan menemaniku saat malam-malam kami bercanda. Oleh karena itu, mereka (orangtuaku) merasa aneh jika aku tak membawanya ke rumah.

 “Kalian tak ada masalah, kan?”

Aku menggeleng lemah, sebab jika sampai cerita ke orangtua, bisa tamat riwayat. Dia begitu dicinta orangtuaku, bahkan mungkin melebihi aku.

Sepulang dari kampung dan kembali tinggal di kost-an yang tak terlalu luas. Kucoba membelai dia dengan manja, kulap tubunya dengan air, lalu pada sebidang dada itu kumainkan jemariku dengan lincah.

 “Jangan sekarang, Sayang. Aku belum siap,” katanya.

Aku pun menunggu aba-aba. Ya, dia memang harus sering disentuh setiap hari. Tapi ada perlakuan-perlakuan khusus yang kadang membuatku gila. Di tengah menunggu kesiapannya, aku membuka duniaku lewat dunianya, tiba-tiba secarik pengumuman pemenang penerbit kecil itu berhasil menerohkan namaku.

Aku bersorak riang! Dia ikut-ikut senang. Aku kemudian mencium dadanya begitu lembut.

 “Selamat sayang, kau berhasil menjadi penulis,” ucapnya membalas ciumanku.

Maka akibat kabar itu intensitas kami semakin bertambah, meskipun ia masih kadang-kadang merajuk. Sampai suatu ketika, aku terpaksa membawanya kembali ke tempat awal kami bertemu: tempat jual beli barang elektronik.

 “Wah, segelnya udah rusak, Gus?” Tanya temanku.

Aku mengganguk, ya segelnya memang rusak. Dan aku tak sengaja merusaknya.

 “Bahaya! Bisa-bisa garansi tidak berlaku!”

Demi mendengar perkataan temanku, aku langsung mengigil ketakutan. Maka, seorang perempuan berwajah teduh datang menghampiri kami. Tanpa banyak berkata perempuan itu memintaku menyerahkan dia yang selama ini kupunya.

 “Wah, harus dibawa ke pusat, Mas. Tempatnya Surabaya.”

Aku mengangguk pasrah. Sekalipun di Surabaya masih belum jelas nasibnya, apalagi segelnya udah kurusakkan.

Temanku yang mengetahui ini langsung berujar, “Gus, kamu kok terlalu cintamu dengan laptop putihmu toh, tapi sayangnya udah terlambat!”

Aku menyetujui perkataannya. Besok jika dia kembali dari pusat di Surabaya akan kujaga dengan jiwa dan raga.

Oh, laptop putihku.

**

Gusti Trisno Photo Writer Gusti Trisno

Gusti Trisno selalu merayakan ulang tahun setiap tanggal 26 Desember. Setelah menyelesaikan kuliah di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember, ia menjadi guru di Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Nurul Islam Antirogo Jember. Bukunya yang telah terbit: Ajari Aku, Bu (Kumpulan Puisi) dan Museum Ibu (Kumpulan Cerpen).

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya