[CERPEN] Cara Tuhan Mengembalikan Masa Lalu #2

Jangan sedih masa lalu kembali pergi karena Tuhan masih punya cara lain untuk mempertemukanku dengan masa laluku

 

Hari ini jam kuliah Kimia Industri dibatalkan, disebabkan Bu Lusi Susilowati berhalangan hadir. Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi.  Sebagian teman-temanku ada yang merasa senang dan pastinya ada juga anak yang kecewa, dialah anak pintar. Dan aku, senang karena semalaman aku memang lelah bergadang menyelesaikan laporan praktikum. Aku sampai di kostan bersama Mira, seperti biasa. Aku masuk ke kamar dan ku rebahkan tubuh di kasur. Rasanya hilang pegal-pegal yang melekat di punggung dan lenganku sejak semalam. Namun, tak lama, Mira memanggilku dan masuk ke kamarku yang memang pintunya terbuka.

                “Sukmaaaa”

                “Hmmmm” jawabku dengan mata terpejam karena masih ingin melepas semua pegal-pegal.

                “Sukma yang cantik. Temen gue yang paling cantik” seperti biasanya Mirna merayuku setiap ada maunya.

                “Hmmm mau apa lo?” mataku masih terpejam.

                “Temenin gue yuk. Hehe”

                “Aduhhh Mirna baru aja gue rebaan dikit di kasur”

                “Ahhh Sukma. Jadi gini, lu dengerin cerita gue dulu ya. Jadi...temen mamah gue yang di Jakarta itu lagi sakit, di rawat di rumah sakit”

                “Hmmm” aku masih memejamkan mata sambil mendengarkan cerita Mirna.

                “Nah terus, mamah gue nyuruh gue buat jenguk temennya itu. Lo mau kan temenin gue? Please ya Ma temenin gue, please” Mirna mencoba menggoyang-goyangkan badanku.

                “Kapan?” kataku, kali ini aku membuka mata.

                “Sekarang hehe”

                “Gak bisa sorean? Atau maleman? Gue mau tidur nih Mir”

                “Yah gak bisa Ma. Ya sekarang ya, janji deh semua ongkos gue yang bayar. Lu tinggal jalan doang. Hmmm pulangnya gue traktir nasi goreng yang di depan ya” Mirna merayuku dengan jurus jitunya.

                “Oke oke, janji ya, nasi goreng”

                “Hahahha elu, giliran gue bilang traktir lu mau. Ya udah yuk capcus siap-siap. Nanti keburu siang, panas”

                “Hahahaha. Okay bos. Eh bentar-bentar, lu kenapa gak minta tolong si Kipli aja sih?”

                Kipli adalah cowok yang sedang dekat dengan Mirna, Zulkifli nama lengkapnya.

                “Kuliah dia padat hari ini” kata Mirna sambil berjalan meninggalkan kamarku untuk bersiap-siap berangkat.

***

Kami telah sampai di rumah sakit tujuan, kami menggunakan angkot dari stasiun Tebet.

                “Lu yakin ini rumah sakitnya?” kataku.

                “Yaiyalah, ah gue udah pernah dua kali kesini keles. Udah jangan bawel lu ah”

Kami masuk ke dalam rumah sakit. Cuaca saat itu cukup bersahabat. Walaupun panas, masih ada semilir angin. Kami menghampiri bagian informasi. Rumah sakitnya cukup berkelas, gedungnya besar, fasilitasnya lengkap sekali. Wajar saja, rumah sakit internasional, kata Mirna tadi sebelum turun dari angkot. Petugasnya pun berpakaian rapih dan pastinya penampilannya menarik, tampan dan cantik. Mungkin mereka termasuk standar tampan dan cantik internasional. Buktinya mereka diterima di rumah sakit ini, rumah sakit internasional.

                “Di ruang anggrek ya mba?” tanya Mirna pada petugas bagian informasi.

                “Iya mba, ada di lantai 3. Tinggal naik lift aja mba, tidak jauh dari lift soalnya” kata petugas itu, sangat ramah.

                “Makasih ya mba”

Kami berjalan menuju lift. Lagi-lagi  Mirna sibuk dengan Hp nya. Dan lagi-lagi dia tersenyum kepada layar Hpnya. Sudah kuduga pasti itu chat WhatsApp dari Kipli. Ya begitulah kalo ada yang lagi pedekate. Sementara gue, buka Hp paling papah mamah yang sms. Tapi tetap, Mirna kalah dari gue, karena yang sms gue kan malaikat. Sementara Kipli? Kami keluar dari lift, kami menyusuri setiap kamar yang tidak jauh dari lift. Kami berhenti di depan ruangan yang bertuliskan VVIP 35. Ini kamar bukan main fasilitasnya berarti.

                “Lu yakin ini Mir? Jangan salah loh ya, jangan malu-maluin di depan orang kaya” kataku yang berusaha meyakinkan Mirna.

                “Bener kok. Temen mamah gue ini emang paling kaya di kantornya, suaminya anggota DPR coy. Yuk ah”

                Mirna mengetuk pintu dan ada yang membuka.

                “Eh Mirna ya? Ayo masuk-masuk” kata seorang cowok yang terlihat dewasa dibandingkan kami. Pakaiannya rapi seperti seorang direktur, menggunakan kemeja biru lengkap dengan jas dan dasi berwarna navy. Dia terlihat sangat ramah. Rambutnya rapih. Tapi, sepertinya umur kami tidak berbeda jauh dengan dia. Aku penasaran siapa namanya.

Kami masuk ke dalam kamar. Ya benar sekali, kamarnya sangat mewah. Fasilitasnya lengkap sekali. Kesan pertama yang ku temui adalah kamar hotel, ya seperti kamar hotel. Dimana pasiennya? Oh ternyata ada di ujung.

                “Mihh, tebak siapa yang jenguk? Kata cowok itu kepada seorang ibu yang memang terbaring di kasur dengan selang infus yang menempel.

                “Owalah Mirna ya?” kata ibu itu. Oh ibu itu temannya mamah Mirna.

                “Hehe iya Tante. Maaf tante mamah gak bisa jenguk kesini, biasa papah gak bisa ditinggal tante. Papah lagi banyak kerjaan di kantornya, jadi aku yang wakilin ya tante hehe” kata Mirna yang terlihat sudah akrab.

                “Iya gapapa Mirna. Tante seneng kok. Mirna tambah cantik aja. Eh Mirna sama siapa?” ibu itu sambil melirik ke arahku.

                “Kenalin atuh Mir” kata cowok itu, yang kuingin tahu siapa namanya.

                “Ini teman aku Tante, Kak Aji. Sukma namanya”

Oh Aji namanya. Aku balas dengan senyuman. Entahlah aku juga bingung ingin bicara apa.

Tiba-tiba Mirna meyenggol lenganku dan dia memberikan kode. Dia membisikkan di telingaku, “Bingkisan yang tadi kita bawa mana?” Ya ampun ternyata bingkisan buah-buahan untuk teman mamahnya Mirna ketinggalan. Mirna memberikan sinyal agar aku bersedia mencari dan mengambilnya. Ya sudah, karena tadi yang membawa juga aku, jadi aku izin kepada mereka untuk keluar, dengan alasan ada barang yang tertinggal di parkiran.

Aku keluar kamar menyusuri tiap sudut jalan. Mungkin jatuh saat kubawa tadi. Tapi rasanya tak mungkin, barang seberat itu jika jatuh pasti berbunyi dan kami pasti sadar. Mungkin di meja ruang informasi tadi, kata ku dalam hati. Aku berjalan sendiri menuju ruang informasi. Ada perasaan kesal, mengapa aku sampai teledor seperti ini. Begitu sampai di bagian informasi, langsung saja kutanyakan.

                “Mba, tadi ada bingkisan buah-buahan yang tertinggal gak? Kayak parsel gitu”

                “Iya mba ada. Sebentar ya mba”

                “Allhamdulillah” kataku dalam hati.

                “Ini mba” petugas itu menyodorkan bingkisan yang ku maksud itu.

                “Makasih ya mba”

                “Iya. Sama-sama mba”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Saat ku membalikkan badan, ada kerumunan orang yang berjalan masuk dari luar. Ada cukup banyak orang. Mereka berbadan kekar, seperti petugas paspampres. Tapi tak mungkin seorang presiden yang datang, kalau iya, pasti ada sterilisasi terlebih dahulu. Tapi ini sepertinya tidak. Ternyata yang datang adalah rombongan menteri, kata ibu-ibu di sebelahku. Kami diperintahkan untuk tetap berada ditempat, tunggu sampai rombongan selesai. Tapi ini rombonganan menterinya belum terlihat. Yang baru ada adalah petugas keamanan dan beberapa wartawan.

                “Aduh gimana ini bingkisannya. Mirna pasti nungguin di atas” kataku dalam hati.

Aku cukup kesal karena jalan kami dihalangi dan harus menunggu dahulu, kecuali pasien, diperbolehkan. Ya aku paham ini sidak sepertinya atau hanya peliputan biasa, aku tak paham. Akhirnya aku duduk di sebuah kantin yang kulihat tidak jauh dari bagian informasi tadi. Aku duduk dengan muka sedikit kesal.

                “Sukma” sapa seseorang yang terlebih dahulu duduk di sebelahku.

                “Gibran??” kataku yang sedikit kaget.

                “Eh ketemu lagi. Kamu ngapain disini? Siapa yang sakit?” Gibran bertanya kepadaku dengan begitu ramah.

                “Temennya mamah” jawabku yang beberapa detik setelah itu aku baru sadar, bukan temennya mamah yang sakit, tetapi temen mamahnya temanku. Ah sudahlah, Gibran pun tak tahu.

                “Oh. Eh, mau jenguk ya? Di lantai berapa?” Gibran bertanya lagi.

                “Iya mau jenguk. Di lantai tiga” jawabku yang menurutku aku masih canggung.

Gibran terlihat sedikit berfikir. Entahlah dia sedang memikirkan apa. Yang jelas aku masih tak percaya, bagaimana bisa aku bertemu dengan Gibran lagi. Sedang apa Gibran disini. Kok bisa? Siapa yang sakit Gibran?  Tapi bukan kamu kan yang sakit?

                “Kayaknya ini agak lama deh. Rombongannya aja belum apada dateng. Hmmm ikut aku yuk Sukma” kata Gibran mengajakku.

                “Eh kemana?”

                “Kamu mau ke lantai tiga kan? Kita lewat tangga bisa aja”

                “Kamu tahu?”

                “Udah nyantai aja yuk! Daripada lama nungguin”

Aku ikut kamu Gibran. Kemana aja. Ke ujung dunia pun aku ikut. Ah sudahlah, sadar Sukma. Kamu diajak sampai lantai tiga aja.

                “Nah ini tangganya” Gibran mengajakku.

 Kami berjalan menaiki anak tangga satu per satu. Tidak hanya kami, ada beberapa orang yang juga tahu akses ini. Tapi tak banyak.

                “Siapa yang sakit?” aku coba bertanya kepada Gibran.

                “Kakak kelas di kampus Ma”

                “Ohhh” syukurlah bukan Gibran yang sakit. Tapi kalau Gibran yang sakit, gak mungkin Gibran bisa jalan-jalan seperti ini. Kacau kan pikiranku ini.

Kami masih menaiki anak tangga. Cukup lelah. Wajar saja gedungnya besar, dan tujuan kami adalah lantai tiga. Aku benar-benar lelah, tapi aku harus terlihat kuat di depan Gibran. Kalau tidak, bisa-bisa Gibran meledekku seperti kebiasaan dia saat si SMA dulu. Selalu mengejekku, namun kadang aku senang diejek oleh Gibran.

                “Capek ya Ma? Yah maaf ya aku kira anak tangganya gak bakal sebanyak ini” kata Gibran dia menghentikan langkahnya dan akupun ikut berhenti.

                “Ha? Enggak kok” kataku dengan berusaha menutupi rasa capek dan sepintar mungkin mengatur nafas.

                “Aku aja capek. Mau aku gendong?”

                “Ha? Apaan sih, aku kuat kali” kataku yang sedikit kege’eran dengan tawaran Gibran tadi. Aku menjawab sambil berjalan kembali.

Gibran sedikit tertawa. Rasanya senang aku bisa mendengar suara tertawanya lagi. Tuhan, terimakasih. Kau pertemukan kami kembali. Semoga Gibran juga senang. Tak terasa kami sudah sampai di lantai tiga.

                “Yeh udah sampai” kataku berusaha tak tampak capek.

                “Hebat kamu gak ngos-ngosan napasnya”

                “Makanya rajin olahraga. Haha yaudah aku duluan ya?” kataku sambil kugerakkan telunjukku ke arah kiri.

                “Oh iya, aku kekanan”

                “Oh iya. Dah Gibran” kataku yang berusaha tak apa-apa saat akan berpisah. Masih menutupi gengsi.

                ”Dah”

Kami berjalan ke arah yang berbeda. Ya kami dipisahkan kembali. Rasanya aku ingin menoleh kebelakang, tapi aku malu. Aku malu kalau Gibran juga sedang menoleh ke arahku. Tapi kalu dia menoleh tandanya dia juga ingin melihatku. Tapi apa iya? Ah tapi aku malu. Tanpa ku sadar aku melewati kamar yang bertuliskan VVIP 35 tadi.

                “Sukma” Mirna yang keluar dari pintu memanggilku.

                “Eh kelewat” aku baru menyadarinya dan ku berjalan mundur. Aku beranikan etmembalikkan badan untuk melihat masih adakah Gibran di seberang. Ternyata tidak ada. Mungkin dia sudah masuk ke dalam kamar pasien atau dia belok ke ruangan satunya, karena ada pertigaan diujung.

                “Lu habis liat apaan sih Ma? Kok gitu?”

                “Enggak. Oh iya sorry lama tadi tuh jalannya di perboden, gara-gara ada robongan menteri katanya”

                “Oh, terus bingikisannya mana?”

                “Ha????” aku sadar bingkisannya lupa aku bawa.

                “Ketinggalan lagi? Yaampun Sukma. Hahahha. Elu mah ya, nyiksa diri namanya hahha”

                “Kok lu malah ketawain gue sih?”

                “Ya habisan elu lucu baget. Yaudah pulang yuk”

                “Loh terus bingkisannya gak dikasih ke temennnn...”

                “Gak usah kata beliau gak usah bawa-bawaan”

                “Lah terus itu gimana? Kan udah dibeli”

                “Hahaha elu sih kelamaan hahaha. Kata beliau gak usah repot-repot. Buat kalian aja di kostan, gitu katanya. Yuk ah” Mirna menggandengku berjalan pulang.

Pikiranku kacau, antara gak enak hati dengan Mirna dan kacau karena aku tak melihat Gibran lagi sepanjang jalan menuju pintu keluar. Kita belum bicara banyak Gibran. Itu singkat sekali. Sepanjang jalan menuju pintu keluar Mirna tidak berhenti bercerita tentang Kak Aji. Ternyata dulu dia pernah suka dengan Kak Aji. Aku tak menanggapi serius cerita Mira. Pikiranku masih teringat dengan Gibran yang kutemui tadi. Benarkah dia Gibran? Nyatakah? Atau aku ini sedang berhalusinasi? Apa tadi itu hanya khayalan yang kemudian orang-orang melihat aku sedang berbicara sendiri? Aku masih waraskah? Atau dia malaikat yang menyerupai Gibran yang diutus oleh Tuhan? Tapi kurasa tadi nyata.

Kami tidak lupa membawa bingkisan itu lagi, yang ternyata masih tergeletak di meja kantin tadi. Tempat aku dan Gibran bertemu. Sampai keluar rumah sakit aku tak melihat Gibran lagi. Lagi, mungkin Tuhan sudah menjawab doaku, dipertemukan walau sebentar. Aku tak boleh terjebak nostalgia terus menerus. Mungkin Tuhan mengabulkan doaku sudah cukup sebegitu saja, ya dipertemukan walau sebentar. Tapi aku senang dia terlihat ramah denganku, ya bertemu walau sebentar. Dalam hati kecilku berkata: Tuhan masih punya cara lain untuk mempertemukanku dengan masa laluku.

****

Fenny Ferdinand Photo Writer Fenny Ferdinand

Biochemist//Just wanna be a Productive person. Find me on ig: fenny_ferdinand ; line: fennydkf ; fb: fenny dewi kissmayanti ferdinand

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya