[CERPEN] Cara Tuhan Mengembalikan Masa Lalu #1

Jangan sedih masa lalu kembali pergi karena Tuhan masih punya cara lain untuk mempertemukanku dengan masa laluku.

Suasana pagi ini begitu sejuk. Semilir angin yang bertiup di kota seribu angkot ini membawa pikiranku selalu ke arah menujunya angin berhembus. Sepertinya akibat hujan seharian kemarin, air di kostan begitu terasa dingin saat aku mandi. Hari ini aku harus berangkat kuliah lebih pagi karena ada tugas yang harus dikumpulkan sebelum dosen datang.

            "Sukma! Habis lu mandi, gue ya!"

            Teriak seorang temanku yang sepertinya posisi dia tepat di depan kamar mandi. Ya, namaku Sukma.

            "Iyaaaa ini gue udah kok" Jawabku sambil keluar kamar marndi dengan benar saja temanku yang berteriak tadi tepat berdiri di depan pintu kamar mandi dengan membawa peralatan mandinya.

             "Elu baru mandi Mir? Tumben amat, biasanya lu paling awal mandinya" tanyaku.

             "Iya nih, gue kesiangan. Sukma, nanti lu tungguin gue ya, awas lo klo ninggalin'

             "Iyaaa" kataku sambil tertawa kecil.

Kami sibuk dengan aktivitas kami masing-masing. Aku sibuk mencuci piring setelah sarapan pagi. Aku memang selalu membiasakan diri untuk selalu sarapan terlebih dahulu sebelum memulai aktivitas. Terlihat Mirna masih sibuk mempersolek diri di depan cermin di kamarnya.

                “ Mirna, gue udah siap nih. Lu masih lama?”

                “ Bentar Ma, Bentar!”

                “ Ck, buruan ah udah jam berapa nih?”

                “Lu mah jahat”

                “ Hahaha cepetan gue tunggu di teras ya”

Aku menunggu Mirna di teras kostan sambil melihat-lihat Hp android yang aku ambil dari dalam tas. Pemberitahuan sms muncul dan ternyata....

                “Ayo berangkat gue dah siap” Mirna menghampiriku.

                Aku masih tertegun pada layar hp tanpa mempedulikan ajakan Mirna sedikit pun.

                “ Sukma, ayo berangkat. Lu kenapa sih? Lu dapet sms dari siapa? Oh, gue tau. Itu dari pangeran impian lu?”

                “Gue dapet undangan untuk menghadiri acara National Writer Community, Mir” kataku dengan nada yang sumringah.

                “Oh yang lu kemarin daftar itu? Yang komunitas penulis itu ya?”

                “Iya Mir, ih gue seneng banget Mir”

                “Yaudah ceritanya sambil jalan yuk, nanti telat lagi” kata Mirna sambil menggandeng tanganku.

                “Kita pulang kuliah jam satu kan Mir? Ini acaranya jam 4, di Jakarta”

                “ Iya jam satu, keburu lah kalo Pak Rudi gak ngaret. Jalan lu buruan dong Ma”

                “Iya ini gue juga udah cepet”

***

Mataku berkali-kali melihat ke jam dinding yang terpasang di bagian belakang kelas kuliah.  Berkali-kali juga ku lihat jarum jam tanganku. Aku cemas, ini sudah jam satu siang tetapi pak Budi masih belum memberikan sinyal akan mengakhiri materi kuliah.

                “Mir, ini udah jam satu. Ini kuliah kapan selesainya sih” bisikku pada Mirna yang duduk di sebelahku.

                “Lu bilang Agus aja gih, dia kan penanggung jawab mata kuliah Pak Rudi”

 Aku menoleh ke sebelah kiri karena ku tahu dimana Agus biasa duduk. Dan benar saja Agus duduk di paling belakang di sisi kiri ruang kelas. Baru saja mulut ini ingin memanggilnya dengan suara yang pelan, namun ku lihat Agus mengacungkan tangannya.

                “Maaf Pak, jam kuliahnya sudah habis Pak”  kata Agus yang memang selalu bertugas begitu setiap mata kuliah Pak Rudi.

                “Baik kalo begitu. Materi hari ini sampai slide ini. Sisanya kalian pelajari sendiri” jawab Pak Rudi yang begitu bijaksana.

Anak-anak tampak kompak menutup buku catatan dan Pak Rudi pun keluar kelas. Begitu pun dengan aku yang bergegas merapikan semua barang-barang. Aku pamit kepada Mirna dan Mirna pun selalu mendukungku setiap kegiatanku. Aku menggunakan jasa ojek online menuju stasiun karena memang ojek online sangatlah praktis disaat-saat penting seperti ini. Benar saja, aku akan dibuat kesal jika aku menggunakan transportasi angkutan kota karena jalanan macet parah.

Aku bergegas memesan tiket kereta listrik jabodetabek  dan untung saja tidak antre dan sangat beruntunglah aku karena kereta jurusan Stasiun Kota sudah ada. Sungguh dimudahkan sekali perjalan aku ini. Begitu sampai di stasiun Jayakarta, aku kembali menaiki ojek online untuk sampai ke gedung pelaksaan seminar. Sesampai di lokasi, aku dibuat tercengah dengan keramaian orang dan spanduk penyambutan.

                “Neng, ongkosnya Neng”

                “Oh iya Pak, maaf ya pak” aku lupa membayar ongkos ojek.

                “Ini katanya acara besar ya neng? Katanya orang-orang hebat ya yang dateng ke sini?”

                “Iya katanya pak” kataku sambil memberikan ongkos ojeknya

                “Makasih Pak”

                “Iya sama-sama Neng. Jangan lupa bintang nya ya”

Entahlah aku sama sekali tak menanggapi perkataan Bapak ojek itu. Aku masih tercengang dengan hati  yang sangat bahagia. Entah aku harus berjalan ke arah mana, yang pasti aku hanya mengikuti arus keramaian orang. Mereka terlihat bangga dengan pakaian yang mereka kenakan, mereka tampak orang-orang berkelas.  

                “Buat dua baris. Ayo buat dua baris” terdengar suara salah satu panitia.

 Tak peduli siapa saja mereka, aku mendesakkan badan di keramaian tersebut untuk membentuk dua baris. Entahlah siapa yang akan menjadi pasangan baris denganku. Aku masih fokus ke arah depan baris untuk mengetahui ujung barisan orang-orang ini. Tanpa ku sadar tubuhku terdorong ke arah depan. Ternyata ada sedikit kericuhan dibelakangku. Tapi masih bisa diatasi panitia. Dan sepertinya seseorang di sebelahku terdorong cukup jauh. Tapi ku tak peduli. Yang jelas aku sudah sampai di barisan paling depan dan ternyata ini antrean absen kehadiran.

                “Nama? Nama?” tanya dua panitia yang tak melihat wajah peserta sedikit pun.

                “Sukma” “ Gibran”

Gibran? Namanya tidak asing bagiku. Ku menoleh ke sisi kananku, ke sumber suara “Gibran”. Tak ku sangka dia juga menoleh ke arahku. Sepertinya kedua panitia itu memberitahu prosedur selanjutnya kepada kami. Tapi aku sama sekali tak memperhatikannya. Perhatianku masih fokus pada sumber suara “Gibran” itu, seseorang itu. Iya dia seorang pria, lebih tinggi dariku, dan mengenakan kacamata. Apakah dia yang aku kenal? Atau dia orang lain yang hanya mirip saja namanya?

                “Sukma?” dia bertanya padaku.

Aku mengangguk kecil yang masih diselimuti rasa penasaran. Anggukan kepalaku terhenti setelah ku dengar nada tinggi dari kedua panitia yang sedang mengabsen kami.

                “Silahkan ambil nomor urut duduknya. Jangan kenalan disini, antrean masih panjang”

Kami menuruti perintah kedua panitia tersebut. Kami mengambil nomor urut tersebut dan kami berdua keluar dari antrean tersebut.

                “Sukma Andriani bukan sih? Maaf klo salah orang” kata pria itu yang menghampiriku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

                “Iya”

                “Yes bener kan. Ikutan acara ini juga ternyata”

                “Iya, hmmm Gibran Ramadan?” kataku dan aku merasa canggung

                “Iyaa, gak inget?”

                “Inget-inget kok”

                “Ya emang sih sekarang makin ganteng maklum aja klo banyak yang gak ngenalin”

                “Apaan haha, kok bisa sih kamu disini?”

                “Ya kan aku daftar trus diundang, ya bisalah”

                “Gak maksud aku kok bisa kamuuuu.....”

                “Udah yuk ah masuk ntar acaranya mulai duluan lagi” Gibran menghentikan pertanyaanku dan berjalan menuju ke dalam gedung”

Aku masih diselimuti rasa tak percaya. Rasanya seperti mimpi yang membawaku ke masa lalu. Masa saat orientasi SMA dulu: saat itu kami sedang berdiri di tengah lapangan bola. Kami berdiri secara berkelompok dan setiap kelompok disibukkan dengan perintah pantia yang sedikit aneh namun masih di batas wajar.

Terdengar beberapa orang berteriak “Ayo cepet pilih mau dikasih ke siapa cokelatnya? Nanti keburu kadarluasa”. Suaranya semakin dekat dengan telingaku. Rasanya aku ingin melihat sedang apa mereka tetapi aku memang sedang diperintahkan untuk berdiri dan diam, tidak boleh bergerak sedikitpun. Ya suara itu makin dekat dan ku lihat seseorang menyodorkan sehelai bunga ke arah ku. Dia berdiri tepat di depanku. Terdengar suara riyuh “Ciyyeee”. Aku gerakkan kepalaku ke atas untuk melihat wajah seseorang itu, ya aku masih ingat wajahnya mirip dengan seseorang yang baru saja aku temui tadi, yang bernama Gibran Ramadan. Suara riyuh “Ciyyeee” makin jelas terdengar.

              “ Nomor urut kamu berapa?” terdengar lagi suara Gibran.

              “Nomor urut kamu berapa, Sukma?” Gibran kembali bertanya. Ini nyata ini bukan mimpi. Ini bukan masa lalu, ini masa sekarang.

             “ Nomor aku 221” kata yang terlihat gugup, aku sadar aku memalukan.

             “Oh sepertinya memang dipasangin dua-dua nih. Nomor ku 222. Yuk duduk”

             Aku mengikuti Gibran dan kami duduk di bagian tengah.

             “ Masih 5 menit lagi acaranya” Gibran memulai percakapan.

             “Iya untung gak telat” kataku sambil melihat-lihat sekeliling. Jujur aku masih canggung bicara dengan Gibran.

              “Kamu gimana kuliahnya? Betah?”

             “Betah” jawabku yang masih sibuk melihat sekeliling.

             “Kamu beda banget sekarang Sukma”

             “Beda gimana?” aku beranikan menatap wajah Gibran.

             “Kamu tambah cantik”

             “Apa?”

            Tiba-tiba Hp Gibran berdering. “Eh bentar-bentar” kata Gibran sambil membuka membuka Hpnya.

Aku mendengar dengan jelas apa yang Gibran ucapkan tadi. Aku ingin senyum lebar tapi aku harus bisa menahan rasa gengsi aku, jadi hanya senyum sedikit. Semoga aku tak salah mendengar.

           “Halo, ini di bagian tengah. Ha? Apa? Iya kebetulan ketemu temen. Yaudah kalian baik-baik ya hahhaha” Gibran menjawab menjawab telfon tersebut.

             “Ini temen-temen aku nyariin aku”

Aku masih gak menyangka Gibran selalu memulai pembicaraan tanpa aku tanya. “Kamu bareng temen? Trus mereka dimana?” aku mencoba melanjutkan percakapan.

             “ Iya tadi tuh bareng mereka. Cuma tadi aku ke toilet dulu eh taunya mereka dah baris duluan”

            “Kamu beneran Gibran bukan sih?”

            “ Yaelah. Masih gak percaya”

           “Percaya sih cumaaaa agak sedikit gak percaya”

           “Gak percaya gimana? Haha tambah ganteng ya? Haha”

             “Ganteng dari Hongkong. Gak, gak jaim gitu”

           “ Haha dulu aku jaim ya Ma?”

            “Banget”

             “Hahaha”

              “Sejak kapan kamu suka nulis, Gibran? Kamu kan sukanya sama angka-angka”

              “Baru. Kalo kamu sejak kapan suka nulis? Kan biasanya temennya tabel periodik yang bikin otak mumen gak jelas haha”

               “Udah lama sih”

Percakapan kami terhenti oleh suara sound yang cukup membuat gendang telinga sedikit kaget. Acara dimulai ternyata. Kami menikmati setiap rangkaian acara. Tetapi, fokusku terbelah. Siapa yang harus aku beri perhatian? Pembicara di depan atau seseorang yang ada di sebelahku? Yang sudah ku anggap sebagai masa lalu. Dia sudah ku anggap sebuah foto yang ku simpan di bagian paling belakang di album foto. Tak pernah ku buka walau hasrat selalu ingin membuka kemudian di pajang di mana pun. Pernah ku coba buka tapi ternyata sulit untuk ku buka. Rasanya seperti ada perekat yang super kualitasnya.

Acaranya tidak berlangsung lama, hanya satu setengah jam saja. Acara hiburannya tidak banyak, namun lebih fokus pada pemberian materi. Sang pembawa acara sudah memberikan kalimat-kalimat penutupan.

                  “Halo, iya kesitu sekarang” Gibran menjawab telfon.

                   “ Hmmm Sukma, aku pulang duluan ya”

                   “Iya” aku menjawab dengan nada cuek dengan maksud menjaga gengsi ku padahal aku sedih, mengapa Gibran pulang lebih dahulu. Padahal acara belum ditutup sempurna.

                    “Teman-Teman ku udah nunggu di depan. Aku duluan ya”

Gibran pergi begitu saja. Tapi dia menjawab pertanyaanku yang ku lontarkan dalam hati. Dia lebih mementingkan teman-temannya daripada aku, tapi siapalah aku ini. Aku hanya masa lalu nya, masa lalu yang tidak dia simpan di dalam album foto. Dia tidak ingin bertanyakah, aku pulang dengan siapa? Pulang naik apa? Dia tidak khawatirkah dengan ku?

Aku pulang sendiri. Masih di dalam kereta. Perasaan masih tak karuan, aku senang akhirnya aku bisa bertemu Gibran, masa laluku, seseorang yang aku kira tidak akan pernah bisa aku temui lagi. Gibran yang sudah membuat masa lalu ku berwarna, masa lalu yang membuat aku senyum-senyum sendiri di depan cermin.

Aku tak punya nomor Hp nya. Dia pun tak minta nomor Hpku. Mungkin Tuhan sudah menjawab doaku, dipertemukan walau sebentar. Aku tak boleh terjebak nostalgia terus menerus. Mungkin Tuhan mengabulkan doaku sudah cukup sebegitu saja, ya dipertemukan walau sebentar. Tapi aku senang dia terlihat terbuka denganku, ya bertemu walau sebentar. Dalam hati kecilku berkata: Tuhan masih punya cara lain untuk mempertemukanku dengan masa laluku.

Fenny Ferdinand Photo Writer Fenny Ferdinand

Biochemist//Just wanna be a Productive person. Find me on ig: fenny_ferdinand ; line: fennydkf ; fb: fenny dewi kissmayanti ferdinand

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya